Oleh: Amato Assagaf
Pencarian Kebenaran kuno dan kekal yang menjadi alasan bagi keberadaan esoterisisme di dunia Barat, dalam keenam cirinya, telah menyajikan kita dengan esoterisisme sebagai “bentuk pemikiran” tersendiri. Dan sebagai bentuk pemikiran, sejak awal kehadirannya, esoterisisme menempati ruang irisan antara filsafat, agama dan apa yang sekarang kita sebut sains.
Hubungannya dengan masing-masing ranah pengetahuan tersebut memiliki sejarah yang menjelaskan pada kita model bagi kehadiran esoterisisme Barat. Dalam model ini, bisa dikatakan bahwa esoterisisme (Barat) adalah filsafat-bukan-filsafat dalam irisan dan perbenturannya dengan agama dan sains, adalah agama-bukan-agama dalam irisan dan perbenturannya dengan sains dan filsafat, adalah sains-bukan-sains dalam irisan dan perbenturannya dengan filsafat dan agama.
Disebut seperti itu karena esoterisisme memang menempati ruang problematisasi dari ketiga ranah tersebut sekaligus melampauinya dengan melampaui apa yang dianggap oleh para esoterisis sebagai “batas” masing-masing ranah. Ia ada dalam ketiganya, mengandaikan ciri dan cara mereka dalam bentuk-bentuk pemikirannya, tapi sekaligus bukan ketiganya dalam asumsi dan problematisasinya.
Pelampauan atas filsafat…
Ketika filsafat terantuk pada logos sebagai semata pencarian rasio akan kebenaran, esoterisisme melampauinya dengan penciptaan ruang pencarian kebenaran yang disebut “mundus imaginalis” atau apa yang dibahasakan Ibn Arabi sebagai “alam al-mitsal” sebagai ruang antara yang-material dengan yang-spiritual.
Baca juga: PESONA ESOTERISISME
Henry Corbin menuliskan penjelasannya atas ruang pencarian ini dengan bertolak dari narasi Suhrawardi, seorang esoterisis Persia, tentang “land of No-where” atau sebuah wilayah yang entah dalam sebentuk kesadaran supra pada manusia. Ruang dalam diri yang mengingatkan kita akan bisikan Muse pada para magus dan penyair Yunani, pada “roso pangraos” dalam filsafat spiritual Jawa.
Kita akan membahas soal penting ini dalam tulisan yang lain. Di sini cukup kita katakan bahwa imajinasi kreatif yang dilahirkan dari gnosis –pengetahuan eksperiensial–adalah ikhtiar pelampauan esoterisisme atas batasan rasionalitas filsafat Barat. Dengannya kita menemukan Agrippa, Boehme dan ibu Blavatsky.
Pelampauan atas agama…
Demikian juga dengan agama. Pelembagaan ajaran Kristus sejak, setidaknya, konsili Nicea telah mengubah Kristianitas dari sebuah “komunitas esoteris” menjadi agama yang berpusat pada serangkaian dogma dan hukum, lengkap dengan ambisi misionaris dan kehendaknya akan kekuasaan. Hal yang sama bisa kita temukan pula dalam sejarah Islam setelahnya dan agama Yahudi sebelumnya.
Perlu dijelaskan bahwa penggunaan contoh Kristen, serta Islam dan Yahudi, di sini karena “Barat” dalam esoterisisme Barat adalah apa yang disebut Faivre sebagai Barat yang telah terserap dalam budaya Kristen dan kerap “dikunjungi” oleh tradisi keagamaan Yahudi dan Islam; Barat yang ditandai oleh sejarah Kristen itu sendiri.
Berhadapan –dan terhubung– dengan agama yang berhenti pada batas-batas dogmanya sendiri, esoterisisme melakukan pelampauan lewat identifikasinya yang sadar diri dengan “Tradisi” yang hadir lewat simbol dan narasi mitis pada berbagai ajaran esoteris dalam berbagai ruang pengetahuan. Sebentuk Tradisi primordial yang jauh lebih luas dari agama terlembaga itu sendiri.
Pelampauan ini hadir dalam praktek konkordansi yang menjadi alasan perbenturan pengetahuan esoteris dengan dogma dan ajaran agama-agama resmi. Perbenturan yang dalam sejarah ditandai oleh tuduhan heretis/bidah di pihak kaum esoterisis oleh para “penjaga iman” dalam lembaga agama-agama resmi.
Pelampauan atas sains…
Adapun dengan sains, pelampauan itu terjadi setelah sebuah sejarah panjang yang sepenuhnya bersifat unik. Kiranya pembicaraan mengenai hubungan keduanya membutuhkan uraian tersendiri karena kompleksitas hubungan antar keduanya. Dalam tradisi akademis esoterisisme Barat ada yang disebut sebagai “paradigma Yates” yang diinisiasi oleh Frances A. Yates lewat bukunya “Giordano Bruno and Hermetic Tradition” yang meneliti sejarah Hermetisisme lewat peran Giordano Bruno dan sekian esoterisis Hermetis dalam kebangkitan sains modern.
Dalam kerangka paradigma ini, sains ditunjukkan sebagai kelanjutan dari apa yang kita sebut magia alias sihir dari dunia Hermetika. Ada banyak perdebatan mengenai pendapat ini tapi satu hal yang jelas di dalamnya adalah tak terpisahkannya sejarah perkembangan sains di dunia Barat dengan esoterisisme. Jauh dari gambaran kita atas sosok ilmuwan, nama-nama yang saat ini kita kenali sebagai ilmuwan seperti, sebut saja, Isaac Newton dan Johannes Kepler, adalah kaum esoterisis, alkemis, okultis dan Hermetis.
Baca juga: Cerita Pertama Esoterisisme
Hingga cukup tepat jika John Maynard Keynes menyebut Newton bukan hanya ilmuwan pertama tapi juga mistikus terakhir. “Philosophiae Naturalis Principia Mathematica” yang ditulis Newton adalah ikhtiar untuk mengungkap rahasia kosmos dalam bahasa ilahiah, bukan sebuah risalah ilmiah dalam, setidaknya, pengertian kita saat ini. Adalah sebuah anakronisme yang memalukan untuk melihat Newton dan karyanya di luar semangat itu.
Maka pelampauan esoterisisme terhadap sains adalah pelampauan atas hubungan keduanya dengan kebenaran dari pengetahuan yang dibentuknya. Sementara sains berhenti pada hubungan-hubungan empiris yang bersifat materialis dalam wilayah pencariannya, esoterisisme terus merambah hingga ke dimensi supra-empiris dari sensualitas astral; kesadaran akan keterhubungan segala sesuatu dalam beragam cara yang mengatasi batasan indrawi dan rasio kita.
Setelah pelampauan…
Apa yang disebut sebagai pelampauan esoterisisme atas filsafat, agama dan sains sesungguhnya adalah cara sederhana bagi kita untuk mengidentifikasi kehadiran esoterisisme Barat sebagai bentuk pemikiran tersendiri di luar ketiga ranah itu. Namun, yang lebih penting lagi, pelampauan itu juga menandai keunikan posisi esoterisisme Barat dalam irisannya dengan ketiga ranah itu.
Model triquetra berikut kiranya bisa memberikan gambaran mengenai posisi esoterisisme Barat dalam kaitannya dengan filsafat, agama dan sains:
Artinya, pelampauan harus dipahami sebagai metode esoterisisme dalam menghadapi persoalan yang ditemukan dan/atau dibentuk olehnya dari posisinya dalam irisan dengan ketiga ranah lainnya. Apa yang diproblematisasi dalam filsafat, agama dan sains adalah juga bagian dari persoalan esoterisisme tapi, dalam caranya sendiri, telah dilampauinya.
Yang dilampaui karenanya bukan hanya caranya dalam menghadapi dan memecahkan persoalan yang ada tapi persoalan itu juga telah dilampauinya, dalam arti telah diangkat melampaui batas problematisasi filsafat, agama dan sains. Dan dalam cara inilah, seperti yang sudah dikatakan, esoterisisme Barat muncul sebagai bentuk pemikiran tersendiri.
Baca juga: ESOTERISISME 3: ENAM CIRI DARI SEBUAH CARA
Gambaran triquetra mengenai hubungan antara esoterisisme dengan filsafat, agama dan sains ini juga adalah gambaran mengenai esoterisisme – yang sesungguhnya – sebagai sumber dari ketiganya. Meski untuk spekulasi terakhir ini, kita harus lebih berhati-hati dalam membuat penjelasan.
Esoterisisme sejak awal ada dalam ketiga ranah pengetahuan itu. Dalam filsafat, ia muncul sebagai pertanyaan-pertanyaan muskil yang dijadikan mungkin lewat hubungan metafisika dan kosmologi. Dan sementara metafisika membuka ruang bagi problematisasi dalam teologi sebagai dasar “ideologis” agama, kosmologi bergerak dalam rumusan problematisasi yang pada akhirnya menemukan wujudnya sebagai sains. Adapun perpisahan antara filsafat dan esoterisisme menjadi perpisahan cara dalam menemukan kaitan antara metafisika dengan kosmologi.
Esoterisisme adalah apa yang sejak awal menjadi inti agama. Apa yang disebut sebagai bagian esoteris agama adalah apa yang membuat kita menyadari adanya makna yang selalu lebih dalam dari apa yang bisa kita pahami dari ajaran agama itu sendiri. Apa yang kita sebut sebagai dimensi batin dari agama selain dimensi lahir dalam doktrin dan ritual institusionalnya.
Dan sains. Sebuah ungkapan arif mengingatkan bahwa apa yang hari ini kita sebut sihir, pada masa nanti akan disebut sains. Apakah kita akan menerima narasi paradigma Yates mengenai sains yang lahir dari rahim okultisme Barat atau tidak, kita tetap saja akan menemukan hubungan yang tak terelakkan antara sains dengan esoterisisme.
Filsafat, agama dan sains adalah segala yang mungkin bagi kita untuk menemukan esoterisisme sebagaimana sebaliknya, esoterisisme adalah segala yang bisa kita ketahui untuk menemukan bahwa ada yang tidak akan pernah selesai dalam cara kita memahami apa yang hendak dipahami dalam ketiga ranah itu. Kita hanya perlu mengetahui semua itu dengan cara yang berbeda. (***)
Manado, 08 Agustus 2020
Discussion about this post