Oleh: Amato Assagaf
Kita akan mulai dengan semangat itu. Semangat yang didasari oleh sebuah keyakinan akan Kebenaran yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Lahir dari suatu masa yang begitu purba ketika pertama kaliya manusia menghadapi “dia bukan dia” sebagai enigma keberadaan dirinya sendiri di dalam alam.
Sebentuk kebenaran kuno dan kekal yang kemudian dibahasakan secara intelektual oleh para esoteris dan humanis Renaissance Italia di abad 15 yang menandai kemunculan Hermetisisme, arus dasar dari nyaris segala sesuatu yang bisa kita pahami sebagai esoterisisme Barat (Western esotericism).
Baca juga: PESONA ESOTERISISME
Marsilio Ficcino, filsuf Platonisme Orientalis dan pemula Hermetisisme, menamakannya “prisca theologia” (teologi kuno) atau, yang kemudian lebih populer dengan nama “philosophia perennis” (kearifan kekal), istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Agostino Steuco.
Bahwa kemudian dua istilah yang bisa dipertukarkan ini nantinya menjadi terbedakan oleh variasi pemahamannya masing-masing, kita tetap boleh menggunakannya untuk menandai satu semangat yang sama atas keyakinan akan kebenaran kuno dan kekal itu. Dan dengan semangat berdasar keyakinan inilah saya akan memulai cerita soal esoterisisme.
Cerita pertama kita adalah kisah menjemukan tentang jalan pemaknaan istilah ini.
Adalah sebuah kata, esoteris–berasal dari bahasa Yunani “esoteros” yang berarti ‘di dalam’ atau ‘rahasia’ atau ‘terbatas pada lingkaran dalam’–sebagai sebuah kata yang pertama kali digunakan dalam makna yang sama oleh Lucian Samosata pada abad kedua masehi dalam karya satirnya ‘Vitarum Rustio 26.’
Zeus dan Hermes, kata Lucian, menjual beragam macam filsuf di pasar budak. Kedua dewa ini mengklaim bahwa jika Anda membeli murid Aristoteles maka Anda akan mendapatkan dua filsuf dengan harga satu budak: “Yang satu dilihat dari luar, yang lain dilihat dari dalam… Maka, jika Anda membelinya, ingatlah untuk menamakan yang pertama sebagai ‘eksoteris’, dan yang kedua sebagai ‘esoteris.’
Bagaimanapun juga, Lucian sedang menjelaskan dua istilah dalam makna yang sepenuhnya berbeda. Kita akan banyak menjumpai kedua makna berbeda ini manakala cerita tentang esoterisisme ini kita lanjutkan. Di sini, secara sederhana, ‘eksoteris’ bermakna luar, lahir, terlihat. Sedangkan ‘esoteris’ bermakna dalam, batin, tersembunyi.
Sejak zaman kuno, penggunaan istilah esoteris memang menekankan makna rahasia atau penyembunyian kebenaran agama, spiritual atau filosofis. Para penulis Kristen seperti Clement of Alexandria, Hippolyte of Rome, Origen, dan Gregory of Nyssa juga menggunakan kata esoteris itu dalam makna yang sama; dengan Pythagoreanisme sebagai contoh utama ajaran mistik rahasia semacam itu.
Adapun istilah “esoterisisme” pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis (l’esoterisme) lewat ‘Histoire critique du gnosticisme et de son influence’ karya Jacques Matter yang diterbitkan tahun 1828.
Dalam buku itu Matter bicara soal gnostisisme abad kedua masehi sebagai sinkretisme antara ajaran Kristus dengan tradisi filsafat Timur, Yahudi dan Yunani. Para gnostik ini, menurut Matter, mengadopsi sistem inisiasi progresif ke dalam misteri yang digunakan oleh kaum Pythagorean dan menyebutkan bahwa “Ujian dan esoterisisme ini sudah ada di seluruh Zaman Kuno dari China hingga Galia…”
Jacques Etienne Marconis de Nègre kemudian mengadopsi istilah baru ini dan menulis bahwa salah satu poin utama dari doktrin kependetaan kuno adalah “pembagian ilmu sakral dalam ‘eksoterisisme’ atau ilmu lahir, eksternal, dan ‘esoterisisme’ atau ilmu batin, internal.”
Tapi esoterisisme baru diakui sebagai kata baru dalam kamus Maurice Lachâtre, ‘Dictionnaire universel’ tahun 1852. Lachâtre mendefinisikannya sebagai, “Dari bahasa Yunani eisôtheô, keseluruhan prinsip dari sebuah doktrin rahasia, yang hanya dikomunikasikan di antara para anggota yang terafiliasi.” Setelah itulah istilah ini kemudian mendapatkan popularitasnya saat digunakan oleh okultis Perancis Eliphas Levi dan teosofis Inggris A.D. Sinnet.
Menyingkat kisah menjemukan ini, lewat popularisasi itu istilah esoterisisme kemudian memasuki catatan kaum akademisi dalam dua model konstruksi. Pertama, konstruksi tipologis yang biasa digunakan dalam studi agama-agama. Kedua, konstruksi historis yang nantinya digunakan oleh para sejarawan.
Dalam konstruksi tipologisnya, istilah “esoteris” dan “esoterisisme” mengacu pada tipe tertentu aktivitas relijius yang dicirikan oleh fitur struktural yang spesifik. Dalam pemaknaan ini, kedua istilah tersebut diasosiasikan dengan gagasan “kerahasiaan” dan, karenanya, menunjuk pada praktek-praktek pengajaran dan inisiasi bagi sekelompok orang yang terpilih.
Lebih lanjut, konstruksi tipologis ini kemudian menemukan pemaknaannya yang lebih setia pada konstruksi pengetahuan dari apapun arus gagasan dan ajaran yang kemudian dikerangkakan sebagai esoterisisme itu. Dalam pemaknaan ini, “yang-esoteris” dan “esoterisisme” diasosiasikan dengan dimensi yang lebih dalam dari “misteri batin agama” sebagai lawan dari eksoterisme atau dimensi luar agama.
Selain bisa kita temukan dalam gagasan para filsuf Perennial semisal Fritjof Schuon, makna tipologis ini juga populer dalam kelompok Eranos yang diwakili para tokoh seperti Mircea Eliade, Henry Corbin dan Carl Gustav Jung.
Kajian luar biasa Henry Corbin, seorang ahli Islam, atas teosofi mistik Ibn Arabi dan gnostisisme Islam kaum Ismaili, bisa menjelaskan pada kita maksud dari pemaknaan ini, yaitu mengajukan dimensi “batin” agama, sisi esoterisnya, sebagai inti kebenaran berhadapan dengan dimensi “lahir” agama, sisi eksoterisnya, yang muncul dalam bentuk institusi sosial dan dogma-dogma resmi agama yang lebih bersifat superfisial.
Saya tidak tertarik untuk terlibat dalam perdebatan mengenai ketepatan pemaknaan “esoterisisme” dalam kerangka akademisnya. Tapi perlu saya sebutkan di sini bahwa, semata untuk kepentingan metodologi akademis, pemaknaan tipologis ini nantinya cenderung ditinggalkan oleh banyak sarjana esoterisisme Barat.
Sebagai gantinya adalah pemaknaan dalam konstruksi historis yang memahami “esoterisisme” bukan sebagai tipe agama atau dimensi strukturalnya, tapi sebagai label umum atas arus spesifik tertentu dalam budaya Barat. Arus dimaksud menampilkan beberapa kemiripan dan, tentu saja, kaitan historis antara satu dengan yang lain. Arus gagasan dan ajaran yang memberi kita seribu pintu masuk ke dalam esoterisisme.
Dalam kerangka pemaknaan ini, para pengikut konstruksi historis ini lebih suka membicarakan esoterisisme dalam spesifikasinya yang juga bersifat historis. Bagi mereka, membicarakan esoterisisme adalah membicarakan satu bentuk esoterisisme tertentu dalam sejarah. Karenanya, dalam konteks studi masing-masing, mereka lebih memilih untuk membicarakan “esoterisisme Barat” daripada esoterisisme secara umum.
Dengan model pemaknaan ini, tanpa mengabaikan keabsahan dan kedalaman pemaknaan tipologis, kita bisa memasuki jalan raya sejarah esoterisisme Barat. Dan dalam seluruh serial tulisan ini, mestinya telah menjadi jelas bahwa manakala menyebut esoterisisme, maka yang saya maksudkan adalah esoterisisme Barat.
Kita akan memasuki dunia seribu pintu dari esoterisisme Barat itu pada tulisan berikut…
Manado, 23 Juli 2020
Discussion about this post