Pengantar Redaksi: Esoterisisme adalah sebuah rahasia sekaligus pengetahuan kuno yang kekal. Dalam beberapa bulan ke depan, ini yang akan kami sajikan secara eksklusif kepada sidang pembaca. Dan Barta1.com telah mendapatkan kehormatan dari Amato Assagaf —seorang sastrawan dan ahli filsafat—untuk melansir seri-seri tulisannya dalam membongkar habis sejarah perjalanan dialektis sebuah pandangan dunia yang penuh kejutan dan bahkan menakjubkan itu lewat rubrik Mereka Menulis.
Jika ada sesuatu yang hilang pada umat manusia saat ini, maka itu adalah pesona. Apa itu? Keyakinan yang rendah hati akan apa yang melampaui dirinya. Dan itu bisa terdiri dari kenyataan alami yang jumbuh dengan akal rasionalnya serta kenyataan adialami yang jumbuh dengan akal imajinalnya.
Apa yang kita sebut sebagai dunia saat ini adalah apa yang disebut sebagai dunia tanpa pesona (disenchantment world). Sebuah dunia yang kehilangan misteri dan dorongan untuk menyingkapnya. Seolah sudah tak ada lagi yang harus ditanyakan dalam ketaklukan kita pada ketidaktahuan.
Sebuah dunia dengan alam kenyataan rasional yang telah diklaim oleh sains dan adialam kenyataan imajinal yang telah dimonopoli agama. Yang diklaim dan dimonopoli itu, terutama, adalah tafsir dan hubungan kita dengan kedua alam kenyataan itu. Lengkap dengan kerangka dan polanya.
Kerangka tafsir dan pola hubungan lain seperti filsafat dan kesenian hanya tersisa sebagai upaya untuk melakukan penyelarasan dengan sains dan agama atau sama sekali menjadi pembangkang. Keduanya adalah contoh yang nyaris sempurna dari efek dominasi sains dan agama.
Menyisip di antara isu-isu yang dibawa oleh sains dan agama lalu berputar dalam dirinya sendiri dalam gaya sentripetal yang sesekali akan meledak kala berbenturan dengan inti kehadirannya. Filsafat yang terus menerus mati dan kesenian yang sering menjadi dekaden adalah contoh ledakan dalam putaran itu.
Tapi mysterium tremendum et fascinans yang bergerak menegasi satu atas yang lain tidak memungkinkan sejarah untuk kehilangan pesona. Ada yang telah dibangun sejak awal, dibesarkan dalam diam, menjadi bagian dari misteri dan negasi itu sendiri, lalu tumbuh sebagai pengetahuan kuno yang kekal.
Kita menamakannya kini, esoterisisme.
Dengan pikiran yang lebih puitis, kita bisa menggambarkannya sebagai erangan purbawi dari keluasan semesta dan kedalaman diri. Dialog yang tak usai antara Suwung dan Ingsun. Sesuatu yang ingin diketahui adanya dalam berlapis-lapis ketidaktahuan kita; yang kita tahu ada tapi tak terketahui adanya.
Sesuatu yang meresapi baik alam kenyataan rasional maupun adialam kenyataan imajinal, sedemikian sehingga kita tahu bahwa ada yang selalu bertukar tangkap dengan lepas dalam klaim sains dan monopoli agama. Awalnya, lenyapnya pesona dunia dalam pandangan dunia yang tanpa pesona. Akhirnya, penyangkalan atas jawaban yang berbeda.
Sejarah esoterisisme adalah sejarah perjalanan dialektis mysterium tremendum et fascinans yang saling menegasi. Sejarah tanzih wa tashbih yang dianggap sebagai gangguan dalam perjalanan sejarah sains dan agama, setidaknya setelah masa pencerahan Eropa yang menyala-nyala itu.
Eropa, dalam arti Barat, memang bukanlah inti atau penentu perputaran sejarah dunia. Tapi, setelah romantisme “perjalanan ke Timur” yang begitu massif, dari Timur kita melihat perbenturan yang pada puingnya berakhir sama; modernisme, humanisme, kapitalisme dan demokrasi.
Setelah itu, sains dan agama.
Hinduisme di India, seperti Islam di Indonesia, bukan lagi kearifan dalam pikiran-pikiran damai tapi sudah menjadi politik dalam artinya yang paling jorok. Bahkan 2600 tahun sejarah liberal Buddhisme yang berisi samatha dan vipassana telah berulang kali bertukar murka konservativisme yang tak terduga.
Artinya, suka atau tidak, kita sesungguhnya tengah menyaksikan sebuah dunia yang telah terintegrasi dalam semangat pasca-pencerahan Eropa. Dan integrasi itu menjadi semakin tak terhindarkan pada millenium baru ini, bukan hanya oleh internet tapi juga pandemi dan hantu SJW.
Dalam sumbangannya yang terbaik bagi peradaban, sains meninggalkan kita dengan jawaban yang terlarang. Sedangkan dalam sumbangan terbaiknya bagi peradaban, agama meninggalkan kita dengan pertanyaan yang terlarang. Sementara itu, keduanya juga berada dalam masalah satu terhadap yang lain.
Dari dunia Barat, di mana sains menemukan fondasi pembentukannya, kita disajikan mitos pertarungan sains vs. agama, lengkap dengan darah dan air mata serta para pahlawannya. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah pembungkaman atas esoterisisme dalam irisannya dengan kedua pengetahuan ini.
Dalam literatur sejarah dan fisafat agama kita mengenal pembagian antara akal dan wahyu sebagai medium pengetahuan. Akal, sebelum sains, adalah medium bagi filsafat, sedangkan wahyu menandakan otoritas agama. Lalu datang sains yang meminggirkan filsafat dari arena sejarah pengetahuan dan, pada satu momen yang menentukan dalam sejarah dunia Barat, kita menyadari ada yang telah ditolak dan perlahan lenyap dari cara kita mengetahui.
Sains menganggapnya takhayul dan agama menuduhnya heretik. Tanpa harus membantah kedua gelar kehormatan itu, kita boleh menyebutnya sebagai esoterisisme. Kristen, agama yang oleh Antoine Faivre, disebut meresap dalam sejarah Barat, tidak pernah berperang dengan sains.
Hypatia, pahlawan dalam mitologi sains, tidak dicabik-cabik para jihadis Kristen karena dia membawa semangat rasionalisme ilmiah tapi karena dia adalah eksponen esoterisisme Neoplatonis. Dan Giordano Bruno tidak dibakar Gereja karena mempertahankan prinsip heliosentrisme tapi karena dia mistikus Hermetis.
Kristen, seperti semua agama lain, tidak pernah menolak apalagi takut pada sains. Kristen, seperti semua agama lain, dalam upaya mengklaim otoritasnya jelas takut pada semangat yang mendasari sains. Semangat yang dimiliki oleh filsafat kuno sebelum melahirkan sains dan dicampakkan olehya.
Semangat dialektika sejarah mysterium tremendum et fascinans yang teresap sempurna dalam apa yang kita sebut esoterisisme. Meski tak sepenuhnya tepat menyebut Hermetisisme sebagai ibu kandung sains, sejarawan Frances A. Yates sudah memberikan kita isyarat yang benar akan hubungan langsung esoterisisme dengan sains lewat semangat itu.
Semangat yang, pada hakikatnya, juga ada dalam inti setiap agama dan menjadi perekat antara umat dengan agamanya dan antara agama itu sendiri dengan ajaran-ajarannya. Tanpa semangat itu, sebuah agama akan pudar dan ditinggalkan oleh para pengikutnya.
Semangat dari kerinduan yang tak pernah usai akan pengetahuan tanpa batas yang nantinya ditolak oleh sains dan agama. Semangat yang melahirkan keragaman pandangan dunia penuh pesona. Semangat yang akan kita telusuri lewat serangkaian tulisan dalam rubrik ini.
Selamat membaca…
Discussion about this post