Catatan:
Iverdixon Tinungki
Festival November sebagai festival teater tahunan berakhir pada tahun 1979 dapat dikategorikan sebagai ajang pembinaan yang kokoh yang melahirkan generasi peteater lapisan pertama setelah angkatan perintis.
Angkatan perintis adalah mereka yang sudah eksis sebelum dan sejak 1960-an yang ditandai dengan kemunculan sejumlah pertunjukan tonil dan sandiwara di Manado, hingga era kepeloporan Hengky Sumuan, Epafras Raranta, Husen Mulahele, Baginda M Tahar, Josep Anis, Rasyid Onu (Om Lobe) dan Benni M. Matindas.
Tokoh-tokoh generasi lapisan pertama yang sangat dikenal memberikan detakan kuat pada perkembangan teater modern di Manado sejak era Festival November antaranya, Richard Rhemrev, Johny Rondonuwu, Karel Takumansang, Kamajaya Alkatuuk, Royndra Kairupan, Dolfie Kalalo, Wempy Lontoh, Frangky Kalumata. Frangky Supit, Yolen Liow, Merdeka Gedoan, Inyo Cawan, Muhidin Bulwafa, Eric MF Dajoh, Reiner Emyot Ointoe, Diana Pakasi.
Sejak PATSU ( Persatuan Artis Teater Sulawesi Utara) berdiri pada tahun 1980 yang meneruskan tradisi Festival November, festival tahunan PATSU pada era awal masih menjadi ajang prestisius bagi generasi lapisan pertama baik sebagai penyelenggara dan peserta.
Di atas tahun 1990 hingga 2000, festival PATSU telah menjadi ajang pertarungan generasi lapisan kedua. Saya termasuk bagian dari generasi lapisan kedua bersama-sama dengan Jusuf Magulili, Syarif Hamzah, Basry Asagaf, Endy Lobos, Uche Ismail, Jonny Sangeroki, Ventje Mait, John Piet Sondakh, Yanto Purba, Rimata Narande, Posma Tabunan, Inyo Rorimpandey, Fredy Pangalila, Donna Keles, Titi Sunyoto, Dharmawati Dareho, Nasjul Dangah, Debby Tuwo, Dewy Layuck. Nini Ruata, Servie Kamagi.
Di atas tahun 2000 hingga festival terakhir 2007, festival PATSU telah diramaikan lapisan generasi ketiga di antaranya, Rudi Dalihade, Metro Labang, Vick Chenore Baule, Aldes Sambalao, Green Weol, Freddy Wowor, Rahadi Gedoan, Servie Kamagi, Eddy Arie Pank, Stevie Sundamen, Deisy Wewengkang. Merry Pasikuali, Riccy NF Rorong, Jaladri Junius, Donald G Bentian.
Setelah kevakuman festival PATSU, Manado diramaikan festival teater Pemuda dan Remaja GMIM dan festival Pelajar Balai Bahasa Sulut, yang memunculkan generasi lapisan ke empat.
Generasi lampisan ke empat itu ditandai dengan kemunculan beberapa sutradara muda berbakat di antaranya, Ando Somba, Richard Salensehe, Achi Breivy Talanggai, Irene Buyung, Sylvester Setligt (Ompi), Sandra Dewi Dahlan, Fajar Gultom, Jendricho Sastrapribadi Galatang, Zadrick Dauhan, Sandro Sambalao, Verell Nangoy, Marvild G Tahar, Randy Datangmanis (Biru), Stenlay Entjerau, Maurits Ole, Jull Hinta, Gerald Kolondam, Crysti Tinungki, Saul Ering. Epiphani Pangkey. Marcelino R. Silouw, Debora Maengko, Rivo Richardo, Ronal Rb Liando.
Tak sedikit pertunjukan dalam kurun 30 tahun festival teater yang diselenggarakan PATSU. Sebagai organisasi yang tak bergantung pada gelontoran dana pemerintah, PATSU tercatat berhasil menggelar 13 kali festival spektakuler sebagai ajang pembinaan teater di Sulawesi Utara.
Belakangan, PATSU sedikitnya telah 13 tahun mandek sejak Festival terakhir. PATSU digagas dan didirikan oleh dramawan Masri Paturusi dan kawan-kawannya. PATSU tercatat masih bergiat hingga tahun 2007.
Pelantikan pengurus periode terakhir (2005-2010) –sebagaimana hasil Musyawarah Daerah (Musda) tahun 2005– berlangsung pada 5 Juli 2005 oleh Gubernur Sulawesi Utara Ir. Lucky Korah, Msi. Ketika itu terpilih sebagai Ketua Umum PATSU DR. Jetty Pulu, Msi, sedangkan posisi Sekretaris Umum Frangky Kalumata.
Sementara sejumlah peteater kondang Sulut seperti, Jean Waturandang, Iverdixon Tinungki, Richard Rhemrev, Ir. Wolter Piri, Jhon Piet Sondak, Frangky Supit, Drs. Jusuf Magulili, masuk jajaran pengurus.
Sebelumnya, PATSU dipimpin berturut-turut oleh, Drs Masri Paturusi, DR. Kamajaya Alkatuuk, Ir. Wolter Piri. Pada era kepemimpinan 3 Ketua Umum ini, PATSU mengalami masa keemasan sekaligus masa suram.
Pada era kepemimpinan Paturusi, PATSU boleh dikata mencapai puncak prestasi secara organisatoris ditandai dengan ajeknya sejumlah festival teater, dikusi, seminar, dan pelatihan. Paturisi tercatat menjadi Ketua Umum dalam beberapa periode kepemimpinan.
Pada era Kamjaya, PATSU terbenam dalam masa suram tanpa kegiatan festival. Kalau pun ada hanya bersifat pelatihan dan diskusi terbatas. Kemudian pada masa Wolter Piri dengan sekretaris umumnya Calvin Sondakh, PATSU kembali bergeliat dengan sejumlah festival tahunan yang terus berlangsung selama 5 tahun.
Sementara periode kepemimpinan Yetty Pulu hanya mampu bertahan selama 3 tahun dari 2005 hingga 2007. Sejak festival teater ke 13 tahun 2007, PATSU di bawah kepemimpinan Yetty Pulu yang masa baktinya harusnya hingga 2010 benar-benar hilang tanpa kabar. Tak ada lagi Musda untuk penyegaran pengurus yang baru.
Tempat kegiatan Festival Teater PATSU selalu berlangsung di Manado sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Utara, diikuti grup teater dari berbagai kabupaten Kota se-Sulut. Di era awal PATSU berdiri, grup-grup teater dari Minahasa tampak sangat dominan menjuarai festival, disusul grup-grup dari Manado.
Pada tahun 2000-an grup-grup teater dari Minahasa kemudian hilang dari ajang festival, sementara di Manado mulai menjamur grup-grup baru yang dipimpin para dramawan berusia muda yang hingga saat ini masih bergiat mengisi jagat teater di Sulawesi Utara.
Festival tahun 2005, grup Teater SiDo yang mewakili Kabupaten Sangihe Talaud keluar sebagai Juara 1 sekaligus juara umum Festival Teater PATSU ke 13 menyisihkan l0 grup lainnya.
SiDo yang mengusung naskah “Surat Bosias” yang disutradarai Vick Cenoree dengan mengadopsi bentuk teater mistisisme yang langsung dikolaborasi dengan bentuk tradisi asli Sangihe seperti Salo dan Sasambo, berhasil memenangkan 3 nominasi yakni Sutradara Terbaik, Aktris Terbaik dan Grup terbaik.
Di urutan kedua Teater Eklesia Manado, yang mementaskah naskah “Platon”, yang disutradarai Stive Sundamen dengan gaya naturalis. Dan di posisi grup terbaik ke 3 teater SMA Negeri 4 Manado yang mementaskan naskah “Pintu” yang juga naturalis. Sedang pada posisi grup terbaik harapan masing-masing, Teater Jarum 2, Teater Petra, Teater Mesbah.
Gisye Woimbon, SS yang berperan sebagai Tunas dalam naskah “Surat Bosias” yang dipentaskan Teater SiDO berhasil meraih predikat Aktris Teater Terbaik 2005, dan Silvester Setlight yang berperan sebagai Anak dalam naskah Pintu karya Iverdixon Tinungki yang dipentaskan teater SMA Negeri 4 Manado, menyabet Aktor Teater Terbaik 2005.
Sedangkan Aktor dan Aktris pembantu terbaik diraih masing-masing, Andi Rhemrev dari teater Eklesia dan Rifka dari Teater Jarum 2. Posisi Sutradara terbaik dimenangkan oleh Vick Chenoree dari Teater SiDo dan Penata Artistik Terbaik Stive Sundamen dari Teater Eklesias.
Festival Teater yang berlangsung sejak 19 hingga 25 Juni 2005 itu disebutkan berbagai media sebagai festival teater yang menyuguhi suatu resepsi teater yang sangat mengagumkan oleh 10 Grup teater peserta dari Manado, Minahasa, dan Sangihe Talaud.
Mengapa mengagumkan? Dari sisi kwantitas, jumlah peserta 10 grup tentu bukan bilangan yang banyak dibanding momentum festival yang sama di kurun tahun 70-an hingga 80-an yang bisa mencapai lebih dari 70 grup peserta. Tapi, dari sisi kualitas, Festival Teater PATSU 2005 ini memiliki getaran kemajuan yang cukup penting bagi konstalasi perteateran di Sulawesi Utara.
Hal itu ditandai munculnya kreator teater yang masih muda belia, tapi memiliki keberanian luar biasa merambah jalan teater kontemporer dengan nomor-nomor eksperimental yang serius dan menakjubkan untuk ukuran lidah teater orang Sulut yang terbiasa dengan seni instant.
Seni hiburan yang oleh para psikolog disebut sebagai upaya orang untuk menghibur diri sampai mati. Seni yang memerangkap manusia menjadi hedonist.
Disebutkan terjadi lompatan luar bisa dari bentuk ekspresi berteater. Adanya keragaman aliran dan bentuk. Kebiasaan teater realisme yang trend dikisaran 70-80-an mulai mendapatkan pengembangan yang luar biasa dengan munculnya bentuk-bentuk teater naturalisme, teater mistisisme, teater simbolik, teater dekonstruksi atau teater post modernis. Dan nomor-nomor sendratasik serta teaterisasi puisi. Keragaman ini, tidak terjadi di kurun sebelumnya. (*)
Discussion about this post