Berlayar ke pulau Para di Selatan Sangihe, berarti anda sedang ke negeri para“Tonaseng. Orang-orang yang hidup dalam tradisi laut nan unik. Di puncak bukit pulau itu, ada pohon “Kalisusu” (kemboja) yang menyimpan sejarah peradaban penduduknya.
Kemboja (Plumeria) tua itu konon berusia ratusan tahun menaungi sebuah batu datar berlubang yang sesekali mengeluarkan air. Di situlah para Tonaseng ditahbiskan dalam sebuah ritual tradisi orang laut sejak masa lalu.
Pada era dua orang leluhur mereka bernama Dolongpaha dan Takapaha di kisaran tahun 1713, menurut keterangan para tetua, situs pohon Kalisusu sudah ada dan menjadi tempat ritual pemandian orang-orang sakti. Uniknya, pohon tersebut masih hidup hingga kini.
Situs Kalisusu telah disebutkan sebagai nadi dari tradisi tua mereka dalam merawat nilai-nilai kebaharian dan semangat orang laut. Dari kesaksian penduduk pulau ini konon Soekarno, sang proklamator Indonesia pernah dimandikan dalam sebuah ritual di sana.
Tentang tradisi di bukit Kalisu ini, tercatat dalam larik 28 dan 29 Sasahola Laanang Manandu (De lange Sasahola) yaitu sebuah jenis puisi lama orang Nusa Utara yang direkam dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh penulis Barat W. Aebersold.
Dalam buku Aebersold “Sangirese tekst met Ned. Vert” In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 1959: situs Kalisusu dinarasikan dalam dua syair yaitu pada larik 28: “Ilëmmangke, ilëmmangke, irakje, irakje” dan larik 29: “ilëmmangke sarang Para, daki sarang Malëkaheng”.
Tersirat dalam syair tua itu, di mana di pulau Para ada alur pendakian menuju suatu tempat suci yang kini di kenal sebagai bukit Kalisusu.
Ritual Kalisusu dan Tradisi Seke
Opo Lao Mamonto adalah sedikit dari para pemelihara tradisi yang masih ada ketika nyaris setahun penulis menghabiskan waktu di pulau itu pada 1987. Seperti orang-orang di pulau-pulau lain di kawasan kepulauan ini, laut adalah jalan satu-satunya untuk sampai ke tempat lain.
Di sana tak ada satu orang pun yang pernah lahir tak melewati laut. Bahkan lautlah guru yang mengajarkan mereka teguh menjalani hidup. Opo Lao Mamonto mengatakan, ada mantra di dalam diri para Tonaseng sejak diteguhkan dalam ritual Kalisusu, sehingga alam laut mengenal mereka.
Ketika awan mencongklang dan angin berhembus di sisi pulau, kata dia, para Tonaseng akan pergi ke bibir pantai dan berbicara dengan laut. Setelahnya baru mereka memutuskan apakah Seke melaut atau tidak.
Bersahabat dengan para nelayan tradisional. Menyimak semangat kebahariwan para Tonaseng, bahkan melaut bersama armada seke yang merupakan tradisi tua mereka dalam menangkap ikan, telah mengantarkan saya pada pemahaman di mana laut adalah cermin tradisi. Di sanalah orang-orang laut ini melihat wajah dan diri mereka sendiri.
Albertus Sakendatu, lelaki berusia 66 tahun, salah satu dari generasi terakhir para tonaseng yang masih hidup. Sebagaimana Tonaseng lainnya, Albertus mengaku mengetahui sifat-sifat ikan, begitu juga pusaran arus ketika menebarkan jaring Seke. Menurutnya, itu menjadi salah satu syarat utama dalam pengangkatan Tonaseng Seke, selain dari garis keturunan Tonaseng.
“Syarat orang diangkat menjadi Tonaseng adalah dia mengetahui hal-hal seputar Seke. Mulai dari dia bisa membuat Seke dan kemampuannya tentang laut. Ada juga turun-temurun.
Tonaseng mempunyai tugas utama ketika Maneke, seperti memberi komando mengatur posisi Seke. Jadi dia harus tahu melihat arus. Jangan sembarang melepas Seke,” ujarnya.
Menangkap ikan dengan menggunakan Seke adalah tradisi turun temurun. Alat tangkap ikan tradisional ini pertama kali dibuat oleh dua orang leluhur mereka bernama Dolongpaha dan Takapaha di kisaran tahun 1713.
Sebuah alat tangkap ikan yang terbuat dari Bulu Tui, (Bambu Kuning Kecil), Gomutu (Ijuk), dan Kayu Nibong (Batang Nira) serta Janur Kelapa, atau lebih detilnya sebuah alat tangkap tradisional yang terbuat dari rakitan bambu halus berdiameter 2-3 sentimeter yang dipotong sepanjang setengah depa atau sekitar 80 hingga 90 sentimeter.
Pada 1989, tercatat ada 6 organisasi Seke di Para yaitu Seke Champiun, Lumairo, Lembo, Lembe, Rame, dan Balaba.
Balu, sebelum menjabat kepala desa Para saat ini adalah salah satu dari pemimpin kelompok seke. Dia menuturkan penggunaan alat tangkap Seke ditanam di kedalaman 10 hingga 15 meter, dan hanya khusus untuk menangkap ikan Malalugis.
“Jadi alat ini ditanam sore sekitar jam 6, begitu juga kalau ditanam pagi ia harus sekitar jam 5. Karena bayangan dari alat ini sampai ke atas permukaan air, sehingga ikan Malalugis enggan keluar dari atas permukaan, karena juga ikan Malalugis takut tehadap daun kelapa,” jelas lelaki yang lengkapnya bernama Elengkey Nesar.
Melakukan aktivitas Seke biasanya disebut Maneke. Struktur yang mencakup pembagian kerja, yaitu (1) Tonaseng yang merupakan pemimpin kelompok yang turun menjaring ikan, (2) Matobo, ia bertugas menyelam untuk mengamati gerak-gerik ikan, (3) Mandor, sebagai pembagi hasil tangkapan, (4) Mata-Mata, memantau orang-orang yang terlibat aktif di lokasi Maneke, dan (5) Penasehat, adalah mantan Tonaseng.
Ingatan masyarakat setempat dalam mengenang Seke-Maneke dan tradisi tua di bukit Kalisusu ialah tradisi kebersamaan, kerukunan yang terjaga antar sesama masyarakat dalam membagi hasil tangkapan Seke, dan keberanian orang laut dalam menjalani hidup.
Mengunakan alat tangkap tradisional itu para nelayan seke bisa meraih hasil sampai 5 perahu atau 10 ton ikan Malalugis.
Balu menyebutkan alat Seke merupakan pencaharian yang mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi bagi mereka warga Para hingga saat ini. Suasana kebersamaan dalam tatanan tradisi suku Sangihe sangat terjaga dalam aktivitas Seke-Maneke.
Disayangkan, tradisi unik Seke di selatan kepulauan Sangihe yang punya kaitan erat dengan keberadaan situs Kalisusu ini, sejak tahun 2000 telah akhirnya punah. Tinggal pohon Kalisusu tua di situs mereka yang masih tetap terawat dan terjaga hingga saat ini. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post