Oleh: Amato Assagaf
Telah jelas bagi kita bahwa esoterisisme adalah semangat yang meyakini adanya sebentuk Kebenaran kuno dan kekal. Kebenaran yang muncul pada zaman yang entah dan tetap berlaku hingga saat ini tanpa peduli pada pengakuan kita. Kenapa? Karena takdir bagi kebenaran seperti itu adalah apa yang telah digambarkan secara puitis oleh Yesus, “Banyak yang dipanggil tapi sedikit saja yang terpilih.”
Sepopuler apapun gagasan ini bagi kita, tidak cukup banyak dari kita yang akan berada di jalan ‘prisca’ dan ‘perennis’ ini. Karena jalan esoteris ini adalah jalan yang menuntut kita untuk selalu bersikap kreatif atas perhadapan kita dengan kebenaran dan itu bisa berarti gugatan atau, setidaknya, semacam penyimpangan dari kebenaran yang telah menjadi mapan.
Antoine Faivre, sejarawan esoterisisme Barat terkemuka, memberi kita enam unsur fundamental dalam mencirikan esoterisisme. Ini adalah sumbangan gagasan yang sangat mengagumkan. Dan, dalam cara yang tidak terlalu setia pada sudut pandang Faivre sendiri, saya menyebutnya sebagai ciri yang menjaga kerja-kerja kreatif dalam kerangka esoterisisme untuk tetap berada dalam keyakinannya akan Kebenaran kuno dan kekal itu.
Keenam ciri itu adalah sebagai berikut:
Pertama, gagasan tentang keterhubungan. Baik nyata maupun simbolis, entah terlihat atau tidak, esoterisisme meyakini adanya keterhubungan segala sesuatu di dalam kubah semesta. Dalam bahasa Faivre, para esoterisis melihat seluruh semesta sebagai “teater cermin, ansambel hieroglif untuk dipecahkan.”
Dalam kerangka ini kita akan menemukan gagasan kuno makro- dan mikro-kosmos juga prinsip interdependensi universal yang sama kuno. Dan, di atas segalanya, ini adalah tafsir atas sabda esoteris sang pemula mitologis esoterisisme Barat, Hermes Trismegistus, “sebagaimana di atas begitu juga di bawah.”
Baca juga: PESONA ESOTERISISME
Kebenaran kuno dan kekal itu tak akan mencapai titik pertemuannya dengan kesadaran manusia tanpa pengetahuan akan keterhubungan segala sesuatu di dalam realitas atas-bawah dan luar-dalam, yang kita tahu, belum tahu, dan mungkin tidak akan pernah kita tahu. Itulah tuntutan esoterisisme.
Kedua, gagasan tentang alam yang hidup. Esoterisisme adalah pengetahuan yang tak hanya bersumber dari tradisi dan berbagai teks suci tapi juga ditimba dari alam semesta. Dan alam, dalam keseluruhannya, adalah entitas hidup yang diresapi oleh cahaya dari dalam dirinya atau semacam api tersembunyi yang bersirkulasi lewat keberadaannya.
Karenanya, alam adalah juga person, untai kepribadian, yang memiliki sejarahnya sendiri dan merupakan penghubung antara manusia dengan dunia rahasia ilahiah. Makrokosmos bagi mikrokosmos yang menyebarkan Kebenaran kuno dan kekal itu lewat napas kehidupan. Keterhubungan alam dan manusia napas yang saling dipertukarkan, pemahaman satu terhadap yang lain, pengetahuan yang disingkap oleh partisipasi kita dalam alam dan sebaliknya.
Ketiga, gagasan yang saling melengkapi antara imajinasi dan mediasi. Imajinasi adalah ‘organ jiwa’ yang bisa difungsikan dalam cara tertentu. Lewat imajinasi inilah kita berhubungan dengan berbagai perantara yang akan memberi informasi, pesan dan, tentu saja, pengetahuan akan Kebenaran kuno dan kekal itu.
Lewat tradisi, kita mengenal berbagai perantara itu dalam bentuk simbol yang mengandung beragam makna. Puitika kearifan mitis, magis dan mistis seperti mandala, Tarot, angka-angka sakral dan seterusnya. Lewat teks-teks suci, kita bertemu dengan berbagai ritual, ayat, kata bahkan huruf yang memiliki ribuan lapis makna. Dari keduanya kita juga berjumpa dengan beragam ruh perantara, seperti jin dan malaikat.
Semua perantara itu memiliki kapasitas untuk menyampaikan pesan pengetahuan dalam sela antara berbagai tingkat realitas yang diajukannya. Sementara imajinasi kreatif manusia berfungsi untuk menyingkap segala pesan pengetahuan itu. Membuatnya menjadi perangkat pengetahuan yang kita sebut gnosis atau irfan demi menemukan kembali Kebenaran kuno dan kekal itu.
Keempat, gagasan mengenai pengalaman transmutasi. Pengetahuan mengenai keterhubungan segala sesuatu lewat alam yang hidup dan berbagai perantara yang disediakannya bagi imajinasi kita hanya akan utuh manakala semua itu kita pahami dalam pengalaman. Dan adalah transmutasi yang memberi kita ciri pengalaman dari ketiga gagasan sebelumnya.
Transmutasi sendiri bermakna transformasi diri, pengalaman “kelahiran kembali” yang merupakan akibat wajar dari pencerahan. Kebenaran kuno dan kekal itu hanya akan tersingkap pada mereka yang terpilih, orang-orang tercerahkan, mereka yang dilahirkan kembali oleh gnosis setelah sebelumnya lenyap dalam ketiadaan dan ketidaktahuan yang sempurna.
Kelima, praktek konkordansi. Kesadaran akan keberadaan Kebenaran kuno dan kekal itu juga merupakan kesadaran bahwa Kebenaran itu, pada bentang sejarah, telah tersebar dalam berbagai tradisi. Terselip di antara berbagai teks suci, termuat dalam beragam pengetahuan, dengan ciri hakiki yang bisa dibaca lewat tafsir dan takwil imajinasi kreatif mereka yang terpilih.
Baca juga: Cerita Pertama Esoterisisme
Kocku von Stuckrad, seorang sarjana esoterisisme Barat, menyebut praktek konkordansi sebagai “pencarian sistem rujukan yang menunjukkan persamaan umum dari semua tradisi spiritual.” Suatu cara yang ditempuh oleh para esoterisis Barat guna menemukan kebenaran yang lebih tinggi namun telah menghadiahi mereka dengan kutukan dan hukuman dari lembaga-lembaga agama serta, tak kurang pula, ejekan dan kecaman dari para pemangku dogma rasionalitas yang berkerumun di bawah payung sains dan filsafat akademis.
Cerita tentang praktek konkordansi sebagai ciri esoterisisme Barat adalah cerita yang sekira sama dengan apa yang secara angkuh dituduhkan sebagai sinkretisme dalam ajaran spiritual Jawa. Dan sementara kita mencari kemurnian yang tidak hanya sia-sia merangkul kebenaran sejati tapi juga menghasilkan fundamentalisme yang dipenuhi dengan semangat melakukan persekusi pada apa yang berbeda, imajinasi kreatif para leluhur di tanah Jawa telah menampilkan wajahnya yang damai dan kebenarannya yang tak mungkin terbaca dengan mata yang kalap.
Keenam, yang terakhir dari enam ciri esoterisisme Barat adalah gagasan mengenai transmisi. Makna dari gambaran puitis Yesus yang telah kita kutip pada awal tulisan ini adalah transmisi; semacam tradisi pemberian “ijazah” dari guru kepada muridnya. Sebentuk tradisi yang didasari oleh pengetahuan mengenai beban dan bahaya dalam menempuh jalan pencarian esoteris.
Gagasan mengenai transmisi ini kiranya telah turut melahirkan berbagai kelompok rahasia (secret society) dalam esoterisisme Barat, lengkap dengan berbagai kisah misterius yang sempurna dikunyah oleh para penggila teori konspirasi. Kelompok-kelompok rahasia memang selalu ada dalam sejarah esoterisisme tapi itu adalah satu hal, sedangkan teori konspirasi adalah hal lain yang tak ada hubungannya dengan hal itu. Secara pribadi, saya adalah pengagum Ikhwanus Shafa, salah satu kelompok rahasia dalam sejarah esoterisisme Islam.
Manado, 05 Agustus 2020
Discussion about this post