Oleh: Sovian Lawendatu
Tulude memang berubah berbareng dengan perubahan zaman. Maka, kita dapat membincangkan tentang adanya dua jenis (genre) tulude, yakni ‘tulude masa purba’ dan ‘tulude masa kini’.
Tulude Masa Purba: Tulude Sinkretis
Pada masa purba, tulude merupakan ritus menolak tulah dari arwah leluhur dan dewa-dewa. Hakikat tulude ini tergambar dengan jelas secara sosiologis fenomenologis. Di dalam sasalamate, misalnya, yang merupakan semacam mitos aetologis dalam tulude, nilai-nilai magis (praanimisme), animisme dan dewaisme (kepercayaan dewa-dewa), yang mendasari pelaksanaan tulude, begitu kental. Juga dalam mitologi pembuatan tamo, kue tradisional Sangihe yang dipotong dalam pelaksanaan tulude.
Tulude pada masa purba agaknya dapat disejajarkan dengan ritus meruwat alam di pulau Bali. Atau ritus memotong nasi tumpeng di Jawa, dengan sentrumnya Jogjakarta. Tentang hal ini, Brilman memang mensinyalir adanya pengaruh Hinduisme atas kepercayaan masyarakat Sangihe (dan Talaud) purba, yaitu eksistensi Duata atau Ruata.
Sinyalemen Brilman ini, yang bertolak dari kesejajaran bentuk (morf) nama Duata dan Dewata, berterima, manakala kita mengingat akan realitas historis yang berkaitan dengan kehadiran Majapahit, sebagai Kerajaan Nusantara II sekaligus Kerajaan Hindu-Jawa. Sementara itu, kepulauan Sangihe (dan Talaud) merupakan wilayah ‘taklukan’ Majapahit, sehingga pengaruh keagamaan Majapahit ‘merasuki’ kehidupan religious masyarakat Sangihe.
Tulude pada masa purba mencerminkan sinkretisme. Ini sejalan dengan keberadaan agama masyarakat atau penduduk kepulauan Sangihe pada masa itu yang berbentuk campuran antara magi, animisme, kepercayaan dewa-dewa (dewaisme) dan penyembahan orang mati, sebagaimana dinyatakan oleh Brilman.
Harap diingat bahwa di dalam sinkretisme itu, apalagi di dalam magi, tidak ada rasa atau sikap syukur dan terima kasih masyarakat Sangihe terhadap arwah leluhur dan dewa-dewa. Ini, oleh Brilman, dengan amat meyakinkan dibuktikan secara psikososiolinguistik. Tegasnya, tidak ada kata dalam bahasa asli Sangihe yang mengungkapkan rasa terima kasih — kata “kase” atau tarima kase jelas diadaptasikan dari bahasa Melayu kasih atau terima kasih. Oleh sebab itu, nilai-nilai religiusitas tulude pada masa purba sama sekali tidak berdimensi etis, tapi magis.
Dengan kata lain, tulude pada masa purba merupakan wahana penyelamatan masyarakat Sangihe dari malapetaka yang ditimpakan oleh arwah leluhur, dewa-dewa dan zat-zat ‘adikorati’ atau ‘adiinderawi’ lainnya. Tidak kebetulanlah bahwa nama sasalamate, sebagai komponen verbal religius tulude, berarti ‘alat penyelamatan’ (kata Sangihe ‘sa-‘ artinya ‘alat’, sedangkan ‘salamate’ artinya ‘selamat’).
Tulude Masa Kini: Tulude Politis
Hakikat tulude pada era perubahannya atau pada masa ‘sekarang’ secara umum digambarkan sebagai tradisi pengucapan syukur (thanks giving). Ini berangkat dari pemahaman teologis agama-agama samawi di Sangihe, terutama kekristenan, terkait dengan ‘strategi pelayanan’ Gereja yang bertumpu pada paradigma ‘teologi kontekstual’ atau (barangkali lebih tepat) ‘teologi lokal’ (local theology).
Berhubung dengan ini, maka kue tamo yang dipotong dalam tulude lebih dimaknai sebagai simbol harapan masyarakat Sangihe akan kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan, daripada sebagai sebuah realitas magis-mitis.
Sungguhpun demikian, tidak sepenuhnya berlaku bahwa fenomena tulude dewasa ini merupakan tradisi yang berdimensi religius-etis (pengucapan syukur). Pada kenyataannya, ada saja tulude yang berdimensi politik praktis. Tulude semacam ini dilaksanakan dengan motif massifikasi atau pencitraan, jika tokoh masyarakat tertentu diusung atau mengusung diri sebagai calon legislator (caleg), misalnya.
Ini pernah terjadi dalam konteks tulude pada kitaran tahun 1990 atau 1991 di Kota Manado yang dilaksanakan oleh sebuah organisasi sosial kemasyarakatan Sangihe Talaud; sehingga pada tahun 1992, saya terdorong untuk menulis dan memuatkan sebuah artikel yang bertajuk “Tulude Politik” di Manado Post (artikel ini sampai sekarang tersimpan dalam kliping saya).
Dalam era perubahannya, pemahaman akan hakikat keberadaan tulude memang amat bergantung juga pada perspektif motivasi penyelenggaranya. Jika seandainya si ungke yang bernama ‘Petris Sasamboadile’ (nama ilustratif) mencalonkan diri sebagai Walikota atau Bupati, dan ia mendanai penyelenggaraan tulude, maka akan kelihatan gelagatnya untuk menjadikan tulude sebagai tradisi pengucapan syukur itu menjadi juga ‘keledai politik’.
Dalam pepatah masyarakat Sangihe, motivasi penyelenggaraan tulude seperti ini dapat disebut ‘pia ambinge’, semacam pepatah ‘ada udang di balik batu’.
Pada masa kini, acuan umum bagi penatalaksanaan tulude sebagai tradisi upacara pengucapan syukur adalah Rumusan Hasil Seminar Nasional Kebudayaan Sangihe Talaud yang diselenggarakan pada tahun 1994 di Kota Tahuna (sayang sekali saya tidak sempat menghadiri acara spektakuler itu).
Di dalam dokumen acuan umum itu sama sekali tidak diatur bahwa pelaksanaan tulude harus atau dapat ditandai dengan ‘upacara’ lainnya, seperti Upacara Penganugerahan Gelar Adat Sangihe.
Meskipun demikian, fakta yang terjadi justru lain. Bahwa pelaksanaan tulude pada masa kini tidak jarang ‘diboncengi’ oleh Upacara Penganugerahan Gelar Adat Sangihe kepada sejumlah tokoh. Ironisnya, tokoh-tokoh yang menerima anugerah gelar adat itu bisa dianggap ‘tidak tahu adat’, dalam arti tidak mengenal lekak-lekuk, seluk-beluk adat budaya masyarakat Sangihe.
Dalam konteks ini, peran Dewan Adat lokal dominan; lembaga yang tidak jelas akar historis-kulturalnya ini justru menjadi pemegang hak paten atas penganugerahan gelar adat Sangihe. Ini sungguh ganjil, manakala kita sadar bahwa dalam tradisi kultural leluhur Sangihe, atau dalam khazanah kebudayaan Sangihe lama, tidak ada entitas upacara penganugerahan gelar adat, apalagi jika upacara ini dijadikan selayak ‘daging menumpang’ dalam tradisi ritual tulude.
Sebaliknya saya justru melihat bahwa upacara penganugerahan gelar adat Sangihe itu lebih merupakan cangkokan dari ‘tradisi’ serupa dalam dunia kebudayaan Minahasa kontemporer.
Perubahan zaman memang menghadirkan semacam keragaman atas keseragaman masyarakat Sangihe dari sisi dunia-kehidupan (lebenswelt). Dan ini adalah realitas sosiologis yang niscaya. Dalam konteks tulude, persatupaduan dan kesatuan masyarakat Sangihe kini lebih merupakan keseragaman atau homogenitas interes sosial-keagamaan dan sosiopolitik daripada keseragaman atau kesatuan dunia-kehidupan (lebenswelt) yang berbasiskan nilai-nilai kultural leluhur.
Maka, pada masa kini, hakikat tulude amat bergantung pada siapa penyelenggaranya, dan, tentu saja, siapa sponsornya.(*/penulis adalah budayawan lokal)
(Tulisan ini pernah dimuat di Manado Mags, Edisi 8 Januari 2016)
Discussion about this post