Di masa lalu orang-orang Sangihe Talaud ada tradisi Memowo. Dari rumah tradisi yang senyap akan terdengar irama magis ketukan tagonggong ditingkahi resik lantun suara pesambo. Syair-syair sastra tua itu adalah doa kepada Gengghona (Tuhan) dalam ritual pembuatan kue adat Tamo. Itulah tradisi Memowo.
Tapi sejak masa Kristen di Sangihe Talaud, tradisi Memowo telah diganti dengan doa dalam bentuk kekristenan, kata Paulina Magdalena Bayang (69), salah seorang pembuat kue adat Tamo yang berasal dari Tamako, Sangihe yang kini menetap di Tuminting, Manado.
Kendati begitu, kata Paulina, proses pembuatan kue adat Tamo hingga kini masih dilakukan sesuai ajaran tradisi dari masa lalu yakni sejak penyiapan bahan hingga proses memasak merujuk kepada ajaran “Sasahara”.
Paulina adalah sedikit dari orang-orang tua Sangihe Talaud yang masih menjaga sakralnya pembuatan kue adat Tamo.
Kepada Barta1.com, ia mengutarakan resep dan tata cara pembuatan kue Tamo sebagaimana tradisi tua yang masih dilakukannya: Bahan-bahan dasar, Bogase Pulu (Beras pulo atau ketan), Gula Mahamu (Bula Merah), Lanang Bango (Minyak Kelapa), Kapala masasa su kalune (Pepaya yang masak di pohon), Pulingka (Kelapa muda), Busa Datu masasa sukalune (Pisang Raja yang masak di pohon), Kalu Manise (Kayu Manis).
Cara pembuatan, beras dimasak dengan air hingga matang. Gula merah dimasak dengan air hingga mencair. Buah Pepaya, Pisang dan Kelapa Muda digaruk dengan sendok (ikahu).
Setelah semua bahan dasar ini siap, lalu dicampur, diberi minyak kelapa secukupnya, dan bubuk kayu manis secukupnya, lalu masuk dalam tahapan “mangongke” atau dimasak kembali sambil terus diaduk selama 2 sampai 3 jam lamanya.
Bila sudah matang, diangkat dan diisi pada wadah atau pestaka pembentuknya dan ditiriskan selama 3 sampai 7 hari agar minyaknya keluar dan kue itu agak mengeras dan dapat dikeluarkan dari pestaka dan didudukan pada piring Dulang. Kemudian dipasangi hiasan symbol utama berupa telur matang, udang yang telah matang, Rica, Ketupat dan Bendera beserta hiasan lain berupa buah dan pernik-pernik lain hingga kue ini nampak semarak tampilannya.
Menariknya, selama proses tradisi “mangongke”, para pembuat hanya boleh bicara dalam bahasa isyarat (tidak boleh ada suara). Dapur harus benar-benar sepi. Kayu yang dipakai untuk memasak juga harus kayu khusus yakni “Leluwang” atau “ Pawa” (Marong Kelapa).
“Tradisi membuat kue adat Tamo ini terus kami pertahankan sebagaimana ajaran para tetua kami,” ujar Paulina.
Dikatakannya, Kue Tamo harus terasa manis dan tidak terlalu keras saat dipotong. Semua bahan dan bumbu harus dalam takaran yang secukupnya. Ukuran besar kue Tamo, kata dia, biasanya tergantung pada pemesan. Tapi biasanya orang lebih suka yang ukuran 5 kilo beras.
Makna dan Simbol Kue Tamo
Tamo adalah kue adat masyarakat Nusa Utara (Sangihe-Talaud-Sitaro). Tamo berarti: “Yang Diperhadapkan”. Mengandung makna simbolik mistik tentang kesejahteraan. Dalam pesta ada Tulude, pesta perkawinan, atau peluncuran perahu, kue adat ini menjadi simpul utama upacara.
Tamo terbuat dari beras melambangkan manusia, air melambangkan kesucian, minyak lambang kemistikan (ke-Tuhan-an), gula lambang romantika hidup. Dimasak oleh api lambang semangat persatuan. Dibentuk piramida lambang gunung atau kerajaan (negara). Didudukkan pada piring dulang, lambang bumi. Dihiasi bendera lambang kekuasaan, Telur lambang kesempurnaan, Rica lambang penyakit, udang lambang kesukaran, Ketupat burung lambang kejayaan, Ketupat dodutu lambang tongkat kerajaan.
Igu-igu wadah dari bambu yang dianyam hingga berbentuk piramida sebagai tempat cetakan tamo (bentuknya sama dengan tempat ayam bertelur). Dulang adalah jenis piring besar dari tembaga tempat kue Tamo diletakkan.
Tradisi pemotongan Tamo dipimpin oleh seorang arif bijaksana dan menguasai budaya yakni para tetua adat atau seseorang (meskipun masih berusia muda) tapi dinilai punya anugerah budaya dan telah ditahbiskan dalam ritual tradisi tersendiri. Setelah dipotong, kemudian dibagi kepada khalayak yang hadir. (***)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post