Oleh: Iverdixon Tinungki
Puisi-puisi Amato selalu diwarnai atmosfer muram dan absurd. Sejalan dengan itu ia terasa riil namun dipenuhi mimpi buruk.
SAMO
Bagaimana kau akan menafsirkan tembok
dengan tangan yang melupakan puisi?
Jarak pada ruang adalah dunia dua dimensi
dan di situ kau bisa menemukan tubuhmu.
Bahasa berulang dalam gambar dan gambar
menjadi gambar; puisi pada tembok untuk
nasib berbau sunyi.
Aku melihatmu berduka dan tembok itu
masih kosong. Aku tahu, Samo sudah mati.
Puisi Amato adalah apa yang disebut kaum formalis sebagai bahasa dengan fungsi estetik yang dominan. Dalam pemaknaan semiology Roland Barthes sebagai kata kerja intransitive, atau suatu aktivitas berbahasa yang mengacu pada dirinya sendiri.
Di penghujung 1980-an, Amato adalah anak SMA yang sering datang menemui saya untuk menunjukan puisinya. Lewat karya puisinya di masa itu, saya melihat bakat kepenyairan yang sangat kuat bercokol dalam diri anak berkacamata tebal ini.
Ada banyak hari saya sempatkan mendiskusikan puisinya, mengarahkan teknik menulis dan pemahaman tentang apa itu puisi. Saya mendorong dia untuk mengirimkan puisi-puisinya untuk diterbitkan di koran yang ada di Manado ketika itu. Dan ada beberapa kali, saya membuat bedahan puisi-puisi dia yang kemudian dilansir media massa.
Amato memang bukan anak biasa dibanding rekan-rekan seusianya ketika itu. Ia kutu buku tulen. Saat SMA kelas 3, ia sudah mendalami nihilism Nietzche. Bahkan ia telah berada dalam penjelajahan berbagai mazhab dalam filsafat. Kemampuan bahasa inggrisnya yang lumayan bagus ketika itu membuat referensi berat seperti Das Kapital, Karl Marx yang berseri-seri mulai dilahapnya.
Selepas dari studinya di SMA Garuda Manado, saya mendorong dia untuk mengambil studi Teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ke sanalah kemudian ia menghilang beberapa lama, namun tetap intens berkomunikasi dengan saya.
Sekembalinya ke Manado dalam sebuah liburan tahun 1997, ia menyutradarai “Ritus Manusia” sebuah lakon yang saya tulis dan dipentaskan di Ricardo Pub, Winangun. Pada saat itu, bacaan saya tentang Amato telah menjadi seniman dengan pondasi pengetahuan dan kreatifitas yang telah melampaui sejawatnya ketika itu di Manado.
Karya puisi-puisi dia telah jauh berkembang melambung tinggi. Ia telah berada pada pemahaman puisi sebagai bahasa yang bukan bertumpu pada makna atau konsep, melainkan sebagai materi, sebagai tubuh.
Sudah berada pada apa yang kita pahami lewat konsep Kristeva mengenai le semiotic, yang dalam rumusan Goenawan Mohamad di sebut sebagai pasemon. Sebuah aktivitas berbahasa yang main-main dengan makna yang timbul tenggelam namun tidak apriori hadir dalam suatu konteks dan selalu tidak pernah final.
Kaum romantic seperti Wordsworth menyembut puisi semacam ini sebagai sastra perlawanan terhadap dominasi rasionalisme pencerahan, atau sebuah penolakan terhadap ideologi secara ideologis.
Amato telah menggiring puisi sebagai estetika sekaligus sebagai filsafat.
SIUL
di dunia ini hanya ada dua orang yang bisa bersiul
siddharta gautama dan kekasihku ariana
ketika matahari terbit
gautama menjadi buddha
udara berubah tipis
di bawah pohon boddhi
burung-burung enggan berkicau
gautama bersiul
dunia memasuki abad dua satu
ariana hanya dongeng
yang aku ciptakan
di hari pemakamanmu
ketika matahari tenggelam
dan hari enggan jadi malam
ariana bersiul
aku tak pernah pulang
di dunia ini hanya ada dua orang yang bisa bersiul
siddharta gautama dan kekasihku Ariana
Amato memanggil saya guru atau suhu, tapi banyak orang tak percaya. Karena pada akhirnya pula, saya sendiri sangat tahu bahwa Amato jauh lebih cerdas dari saya dalam segala hal. Saya telah menulis ribuan puisi, buku-buku puisi saya yang telah terbit terpilih sebagai karya sastra terbaik Indonesia dan menerima beberapa pemenghargaan nasional berupa piala dan puluhan juta rupiah pada tahun 2013 dan 2014.
Namun pada awal 2000-an, ketika saya ditunjuk sebagai kurator untuk buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia”, saya harus berdebat keras ketika itu dengan panitia nasional yang menolak biografi Amato Assagaf sebagai penyair yang layak ikut masuk dalam buku prestisius tersebut dengan alasan Amato belum ada buku puisi yang terbit dengan ISBN.
Ketika itu, saya telah mengkurasi 33 penyair dari Sulawesi Utara untuk direkomendasikan masuk dalam buku tersebut, dan Amato dinyatakan tidak layak masuk. Saya bilang ke panitia nasional, kalau Amato tidak masuk, maka 33 nama yang saya kurasi termasuk saya sendiri hendaklah tidak masuk.
Alasan saya sederhana, karena bagi saya puisi karya saya dan juga karya kawan-kawan penyair dari Sulawesi Utara tidak lebih baik dari karya puisi Amato. Maka mengabaikan Amato dalam buku itu, setara dengan memutarbalikan sejarah perkembangan kesastraan di Sulawesi Utara. Dan itu pengkhianatan.
Puisi Amato dikenal mampu menyihir pembaca, dan dibicarakan pada berbagai diskusi kalangan sastrawan dan intelektual di Sulawesi Utara. Ia termasuk penyair yang tak banyak melahirkan puisi, namun setiap puisinya memiliki estetika yang tinggi dan nilai puitika yang dalam.
MANODI MENYAMBUT SENJA
adapun kesedihan muncul dengan sia-sia
dan aku masih di sini
bukan menunggu
tidak menghitung
hanya mengabur
sebuah garis merah
pada hari ke dua belas
kabar itu tiba
kau bunuh diri dengan mata
yang masih menyanyi
apakah aku harus menangis
atau mengingat bau rambutmu?
adapun kesedihan muncul dengan sia-sia
dan aku masih di sini
hujan tidak turun
hari belum senja
Setiap kali puisinya muncul di media massa bahkan di media sosial, langsung menjadi bahan diskusi di mana-mana. Puisinya benar-benar ditunggu para penggemarnya. Kendati puisinya sangat layak dibukukan, ia mengaku tak memikirkan hal itu.
“Urusan menerbitkan buku bukan urusan saya. Tugas saya adalah menulis,” ungkapnya.
Nyaris setiap akhir pekan, ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain di beberapa kota di Sulawesi Utara untuk membaca puisi atau mementaskan teater bersama kelompoknya, lalu menggelar diskusi. Ia mengabdikan hidupnya untuk puisi, teater dan filsafat.
Ia lahir di Manado, 14 Januari 1970. Tamat dari SDN 34 Manado melanjutkan ke SMP Kristen YPKM Manado, Pesantren YAPI, Bangil, Jawa Timur, kemudian ke SMA Garuda Manado, lalu ke IKJ jurusan teater.
Pernah bekerja sebagai Creative writer di Irjago Sinema dan Tim Kreatif “Regu Kerja Didi Petet,” sebuah kelompok kerja film dan teater yang didirikan oleh Alm. Didi Petet dan Yayu Unru yang berkedudukan di Jakarta. Juga sebagai Penulis filsafat publik pada media online Zona Utara dan barta1.com yang berkedudukan di Manado.
Ia pendiri “Amagi Indonesia” bersama Juan Mahaganti, seorang ekonom libertarian asal Siau. “Amagi” adalah sebuah organisasi nir-laba yang dimaksudkan untuk melakukan pendidikan gagasan-gagasan Libertarian. “Amagi” berkedudukan di Manado.
Pembentuk “Mises Club Indonesia,” sebuah kelompok studi Ekonomi Mazhab Austria yang berkedudukan di Manado, dan Pendiri “Padepokan Puisi Amato Assagaf,” sebuah kelompok kesenian yang berkedudukan di Manado.
Menulis sejumlah buku, di antaranya “Merenungkan Libertarianisme” terbitan Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit, Jakarta, Desember 2012. Buku Aktingnya Didi Petet, Penerbit PT. Haluan Seni Nusantara, 2018. Terakhir pengajar pada “Pengajian Filsafat,” sebuah kelompok belajar filsafat yang berkedudukan di Manado.
PANGGUNG UNTUK JENADI
Di atas panggung, Jenadi adalah mimpi tua
yang tak pernah bisa mati. Suaranya melengking
dari semangat yang getir. Geraknya sekelibat
duka dalam puisi-puisi Sapardi.
Dia selalu menolak untuk senantiasa ada
dengan membunuh dirinya di dalam lakonnya.
Lalu penonton terpanggang haru, waktu berjalan
mundur, dan setiap kata yang dia ucapkan berubah
menjadi burung-burung kecil yang meneteskan
cemas dari kepak sayapnya. Tapi dia akan lahir
kembali setelah itu. Setelah lakon usai dan
kesepiannya dimulai.
Di atas panggung, Jenadi adalah tubuh yang mudah
untuk kita lupakan.
Keindahan yang membunuh nafsu
makan.
Kebenaran yang murung dan menjengkelkan
seperti cerita Tuhan yang terluka di bukit Golgotha.
Tapi dia bertahan.
Naif bagi kebebalan kita, sengak
bagi kecemburuan kita. Menyusuri Jakarta dengan
setangkai mawar patah, dia mencari panggung untuk
sebentar melupakan satu-satunya takdir yang selalu
mengganggu tidurnya; dirinya sendiri.
Di tempat itu,
di bawah cahaya, di luar dirinya, di depan berpasang-
pasang mata, dia akan menafsirkan ulang seluruh
pengetahuan kita tentang manusia.
Panggung untuk Jenadi adalah Karbala bagi Husain,
padang darah dan air mata. (*)
*) Iverdixon Tinungki, 13 Januari 2025.
Discussion about this post