Oleh:
Juan Mahaganti
Setelah lebih dari satu dekade mengenal secara dekat sang pujangga tersebut, terhubung lewat ketertarikan yang sama terhadap aluran kata-kata logika, adalah suatu aib ketika dia pergi selamanya dan tidak mengenang-nya dalam sebuah tulisan.
Tentunya tulisan ini tidak akan bisa menandingi kualitas susunan kata, frasa, kalimat, puisi sang pujangga, tetapi inilah bentuk penghargaan bagi beliau yang telah mendahului.
Saya mengenal Amato sekitar tahun 2011 dengan cara yang sangat khas. Pada tahun tersebut ada sebuah seminar di salah satu hotel di Manado yang mengangkat tema anti-kapitalisme, dan sebagai pembela kapitalisme tentunya saya merasakan dorongan untuk pergi walau harus bolos tidak lama dari tempat kerja.
Pada saat sesi tanya jawab, saya ingin bertanya tetapi didahului oleh seorang anak muda, yang nantinya saya kenal bernama Muhammad Ikhsan Saruna, yang kemudian menjadi ketua Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU) Sulawesi Utara, dan kemudian menjadi Bendahara Umum IPNU Pusat.
Anak muda tersebut dalam pertanyaannya yang sangat berbobot mengutip buku “Aku, Pensil” yang membuat saya tersentak karena buku (atau pamphlet singkat) tersebut saya terjemahkan bersama Almarhum Muhammad Husni Thamrin (Bang Mone), salah satu aktivis pro-kebebasan terkemuka, dan diterbitkan oleh Yayasan FNF yang saat itu dipimpin oleh bang Mone.
Sebuah kebetulan.Karena harus segera kembali ke tempat kerja saya segera menyapa Ikhsan walau acara belum selesai, saya serahkan kartu nama dan berpesan, tolong segera hubungi saya. Keesokan harinya Ikhsan mengajak saya ngopi dan berkata bahwa dia mengenal ide kebebasan dari seorang abang, yang kebetulan saat ini berada di Kotamobagu, 4 jam perjalanan dari tempat kita di Manado, karena abang tersebut saat itu sedang bertugas sebagai staf khusus Bupati Bolaang Mongondow Timur; Sehan Landjar.
Ikhsan berkata dia akan pergi menjemput Bang Amato, demikian namanya disebut, dan jika saya mau, sabtu sore itu juga, kita bisa bersama anak bungsu beliau Zulfikar “Ateng” Assagaf, menjemput beliau ke Kotamobagu. Sebuah pertemuan singkat berubah menjadi perjalanan 3 hari akhir-minggu yang tidak pernah saya lupakan.
Selama perjalanan saya mendapatkan begitu banyak cerita dari Ikhsan tentang perjalanan hidupnya dari Buton sampai merantau menimba ilmu di Manado, dan bagaimana pertemuannya dengan Bang Amato.
Sekitar tengah malam di Kotamobagu kami langsung di sambut Amato dan kami bercakap sampai pagi. Suatu pengalaman yang luar biasa karena untuk pertama kalinya saya bertemu dengan orang “sealiran” di Sulawesi Utara, dan bukan hanya “sealiran” tapi seorang pemikir kelas berat, seorang yang bukan sekedar tahu, tetapi mendalami sampai ke akar-akar.
Seseorang yang dengan sangat mudah kita lempar nama seperti Bastiat, Smith, Nozik, dan bahkan nama-nama tokoh dan -isme baru yang nantinya saya sangat berhutang pada beliau atas perkenalannya. Bukan hanya pemikiran kebebasan, tetapi juga bahkan non-kebebasan sangat beliau kuasai, mengingat latar belakang beliau yang lama sebagai pengagum Marxisme.
Saya seakan-akan menemukan rumah untuk pemikiran saya. Tidak lagi saya harus bercakap sendiri didepan layar komputer; saya telah menemukan guru, dan saya beruntung sekali karena orang tersebut ternyata hanya tinggal kurang dari 2 kilometer dari tempat saya tinggal.
Pertemuan hari itu berlanjut dengan Amato membawa saya mengelilingi Bolaang Mongondow, bertemu dengan berbagai pribadi dan kerabat ketika dia melakukan pementasan drama Paskah pada tahun sebelumnya di Bolaang Mongondow Timur. Suatu Weekend 2011 yang tidak akan pernah saya lupakan.
Setelah pertemuan tersebut saya semakin aktif dalam pemikiran sealiran saya dengan bang Amato, bahkan bersama kami mendirikan LSM Amagi yang adalah bahasa Sumeria kuno berarti “merdeka” dan saya mempertemukan bang Amato dengan berbagai pergerakan Kebebasan di Jakarta sampai bang Mone lewat Yayasan FNF menerbitkan Buku karya bang Amato Merenungkan Libertarianism pada tahun 2012.
Tahun berlalu, kesibukan saya memisahkan saya dengan Bang Mato sehingga pertemuan kami tidak seintens 2011 – 2013. Saya pindah tempat kerja yang walau di Sulawesi Utara, tetapi lebih jauh karena 2 jam perjalanan dari Manado. Kerenggangan ini membuat sesi bincang-bincang kami berkurang, dan Amato, pada sekitar tahun 2014, memutuskan untuk kembali menggeluti dunia yang membesarkan dia; Kesenian, dan saya pun lebih fokus pada pekerjaan saya, sehingga aliran pemikiran yang mempertemukan kami berdua agak terkesampingkan, tetapi itu tidak membuat sedikitpun aliran pemikiran kami terpisah.
Dalam keseniannya bang Mato pun memperkenalkan saya dengan bidangnya tersebut. Saya bukanlah seorang seniman, tetapi bang Mato membuat saya menikmati puisi setelah akhirnya membenci kesenian ini seumur hidup saya.
Ketika fase kerenggangan ideologi ini pun, Amato memperkenalkan saya dengan banyak tokoh dan anak-anak muda baru. Tokoh seniman Sulawesi Utara seperti Bung Iverdixon Tinungki dan Erik Dajoh, yang tidak mungkin saya temui jika tidak mengenal bang Amato. Saya begitu takjub dengan dedikasi-nya terhadap kesenian, tetapi saya lebih takjub dengan kemampuannya merekrut anak-anak muda baru dalam kesenian ini.
Di atas saya katakan, ketika bertemu Amato pertama kali, saya menemukan rumah ideologi. Tetapi saya bisa melihat kebinaran yang sama di mata anak-anak muda ini ketika mereka bertemu dengan Amato, mereka menemukan rumah kesenian, dan ini tentunya lebih luhur, lebih manusiawi, dari rumah ideologi yang saya temukan.
Hal ini memampukan mereka melakukan banyak hal bersama bang Amato, hal yang nantinya saya sadar, tidak mampu saya lakukan selama hubungan intens saya bersama Amato pada tahun 2011 – 2013.
Mereka mendirikan Papua (Padepokan Puisi Amato) dengan berbagai pentas dan acara, yang bahkan tidak semua saya bisa ikuti. Dalam hati kecil saya, sebenarnya saya iri dengan apa yang mereka bisa capai, yang tidak bisa saya capai ketika bersama bang Amato tetapi setelah saya pikirkan, tentunya ini alamiah karena inilah dunia sebenarnya bang Amato. Ideologi menjanjikan dunia lebih baik, tapi Puisi menemani-nya sampai akhir keberadaannya di dunia.
Saat ini beliau sudah tiada, saya berterima kasih kepada bang Amato, dan keluarga-nya yang harus merelakan waktu bang Amato dihabiskan bersama saya; Ka Vera, Abang, dan Ateng, atas setiap hari, bulan, tahun yang lepas yang dihabiskan bersama beliau, dan saya yakin para anak-anak muda di acara pemakaman bang Amato mengucapkan hal yang sama.
Ketika bubar setelah acara pemakaman, saya katakan kepada berbagai anak muda tersebut; kita baru saja kehilangan benang yang menyatukan kita semua, kemungkinan pertemuan kita terajut akan semakin sedikit, tanggung jawab kita semua untuk memastikan apa yang dicita-citakan beliau menjadi nyata suatu saat.
Cita-cita tersebut tentunya berbeda pribadi lepas pribadi. Pada saya; kami berdua pernah punya mimpi bersama untuk masyarakat yang lebih bebas. Bebas dalam artian sebenarnya.
Sampai beliau menghembuskan nafas terakhir pada malam ke 6 pertama 2025 tersebut banyak yang tidak bisa kami capai. Bagi anda pembaca yang mengenal beliau, mungkin cita-cita bersama tersebut berbeda. Tetapi sampai nanti, tugas kita yang masih bernafas untuk melanjutkannya. (*)
Discussion about this post