Kendati gerakan feminisme baru dimulai di Eropa pada abad ke-18, namun peran sentral perempuan di Tanah Minaesa sudah mengendap dalam relung peradabannya. Kita akan diingatkan pada sosok Karema, sang Walian, dan dia dalam babad Malesung adalah perempuan. Bagi sub suku Tontemboan, perempuan atau ibu memiliki peran besar dalam menjaga kedamaian.
Ibu seseorang akan dihadirkan untuk melerai pertikaian dan ini masih nyata dalam ingatan Dr Denni Pinontoan, dosen-teolog dan peneliti Pusat Kajian Indonesia Timur (Pukat) yang berdarah Tontemboan. Pernah suatu ketika di Motoling, salah satu desa di Kabupaten Minahasa Selatan, seorang pemuda mengamuk dan tak ada satu pun pihak yang bisa menenangkannya.
Lalu kata Pinontoan, cara meredam situasi ini dipangillah ibu si pemuda. Sang ibu lantas berkata dengan suara lantang pada anaknya,
“ngana inga ini (kamu ingat ini),” seraya menunjuk dadanya. Ibu mengingatkan bahwa saat bayi pemuda ini menyusu pada dirinya. Yang membuat onar tiba-tiba sadar, dia sesaat terpaku karena hardikan yang membawanya pada masa lalu dan apa yang disampaikan ibu adalah perintah yang harus dilaksanakan.
“Ibu adalah pengingat dimulainya kehidupan, kita semua berawal dari situ,” kata Pinontoan dalam wawancara beberapa waktu lalu.
Orang Tontemboan, sebagaimana Etnis Minahasa pada umumnya, memiliki prinsip matuari yang berarti keluarga. Maka eksistensi mereka, kata Pinontoan, terpraktik dalam kehidupan bersama dengan orang lain. Prinsip ini terbawa dalam perilaku hidup yang menitikberatkan pada keseimbangan; harmonisasi antara pribadinya sebagai orang Minahasa dan kebutuhan sosialnya untuk berbaur dengan kehidupan dengan saudara-saudara dari etnis lain. Dalam konteks membangun kehidupan bersama yang adil dan damai, peran guru juga ikut berbicara.
Dalam satu roong (kampung) ada banyak Tona’as yang dianggap terampil dan berwawasan menguasai bidang-bidang pekerjaan. Namun ada juga Tona’as yang khatam pada hukum adat. Sebagai pengajar, lanjut Pinontoan, guru diidentikan dengan para Tona’as di masa lalu. Karena figurnya cendekia, guru layak disapa tuan, Tuan Guru. Fungsinya sebagai pembimbing etika dan tata krama, membawa kehidupan masyarakat kepada keteraturan.
Dalam skala tak jauh berbeda, masyarakat Tontemboan juga menempatkan Tuan Pandita (pendeta) pada posisi pengelola etika hidup yang mengalirkan ajaran kebajikan. Bila guru dianggap Tona’as, maka pendeta yang datang bersama Kekristenan di Tanah Minahasa telah mengambil alih peran para walian sebagai pemimpin ritual. Lanjut Pinontoan, jadi ada kesadaran dan bentuk rasa hormat pada orang-orang yang menjadi pengajar ilmu dan mengajar kebajikan.
“Di masa kini di Tanah Minahasa, kewibaan tuan guru dan tuan pandita yang mencuat di masa lalu adalah kebutuhan besar demi menjaga persatuan dan kedamaian. Jangan-jangan berbagai masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat saat ini salah satunya dipicu oleh tokoh-tokoh ini yang kehilangan kewibawaannya,” ujar Pinontoan.
Dalam masa lalu orang Minahasa, termasuk di Motoling Minahasa Selatan, Hukum Tua (kepala desa) berperan sebagai ganda sebagai kepala pemerintahan dan kepala adat. Dalam peran tersebut sering ada ungkapan “Lebe bae kita cambok pa ngana di sini dari pada ngana dibawa ke kantor polisi.” (Lebih baik saya mencambuk anda di sini dari pada anda dibawa ke kantor polisi).
Artinya sebagai kepala adat maka masalah yang terjadi di tengah masyarakat sebisa mungkin diselesaikan secara adat. Masalah dimaksud misalnya perkelahian, pencurian atau apapun yang mengganggu ketertiban umum. Peran Hukum Tua dalam masyarakat komunal seperti ini terbukti efektif untuk menekan angka kriminalitas dan mengatasi permasalahan sosial.
Kasus tanah warisan juga cukup menyolok dalam perspektif tradisi orang Minahasa. Di Sendangan, Kawangkoan, menuntaskan masalah tanah warisan antar-ahli waris diselesaikan dengan melibatkan orang tua yang memiliki ketokohan atau memikul peran sebagai walian.
Pada kasus tersebut, pernah dipanggillah nenek walian ini dan dia memecahkan kure (belanga yang terbuat dari tanah liat). Walian itu bilang, janganlah kehidupan kita pecah seperti ini terpenggal-penggal karena persoalan tanah warisan setelah orang tua meninggal. Jaga hubungan kalian baik-baik, saling menyayangi.
“Secara filosofis, kure adalah wadah untuk memasak. Sehingga itu juga adalah wadah untuk meramu kehidupan,” terang Pinontoan.
Tontemboan adalah sub etnis terbesar di Minahasa. Dalam kisah yang diturun-temurunkan oleh para orang tua, mereka adalah turunan Opo Toar dan Lumimuut yang menghuni dataran tinggi. Pada abad ke-16 dan 17, para orang gunung ini mulai menyebar ke dataran yang lebih rendah.
Beberapa catatan menyangkut persebaran ini menyatakan sub etnis Tontemboan juga dikenali dengan sebutan Tounkimbut adalah komunitas yang mendirikan Desa Lansot, Rumo’ong, Wuwuk, Talaitad, Teep, Amurang, Matani Tumpaan hingga desa-desa di kaki Gunung Lolombulan. Selanjutnya juga mereka adalah para pioner yang mendirikan Kayu’uwi, Kinali, Kiawa, Matani, Sonder, Tompaso, Waleure, Walewangko dan Lowian.
Pada masa sekarang Sub etnik ini sebagian besar merupakan bagian dari daerah administrasi pemerintahan Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara, seperi : Tareran, Tumpaan, Amurang, Tenga, Sinonsayang, Ranoyapo, Motoling, Tompaso baru, Maesaan dan Modoinding. Dan sebagian yaitu Sonder, Langowan, Tompaso dan Kawangkoan masuk pada daerah administrasi pemerintahan Kabupaten Minahasa (Induk) Provinsi Sulawesi Utara. (*)
Editor:
Ady Putong
Discussion about this post