Iklim sejuk cenderung dingin saat menjejak Tomohon pasti karena hembusan angin dari puncak Lokon dan Mahawu, dua gunung yang memagari kota itu. Warga Tomohon adalah anak-pinak dari sub suku Tombulu, penghuni tanah Malesung yang sekarang disebut Minahasa. Di masa lalu, saat 8 walak (klan) Suku Tombulu mulai menyebar, penduduknya yang agraris dengan gembira mengerjakan ladang, membangun kehidupan, bermapalus sambil melantunkan mah’zani.
Maka pangkat o, impangkukukan ni ko’ko’ rangdang (Mendapat jabatan, karena bunyi ayam jantan merah)
Maka pangkat o, i pa’pera u reges Amian (Mendapat jabatan, karena tiupan angin Utara yang mengeringkan padi)
Ko’ko’ kulo’ kimontoi wana panga in wasian (Ayam putih bertengger di cabang pohon Wasian)
Sa sia rumagos o, ma’simpora se kawanua (Kalau dia turun ke tanah, orang Minahasa menjadi sibuk)
Ko’ko’ kulo wo ko’ko’ randang, (Ayam putih dan ayam merah)
Wisa si pa’endonku (Mana yang aku ambil)
Mendo mo tare si ko’ko’ randang, mesuat uman (Ambil saja ayam merah, sama saja)
(Sumber: A’asaren wo Raranian ne Touw un Buluh)
Begitu salah satu syair mah’zani, tradisi lisan yang dinyanyikan orang Tombulu dengan langgam spontan. MJ Sumarauw, peneliti dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado pada artikelnya “Mah’zani, Sastra Lisan Orang Minahasa” (2015) menyebut syair-syair ini sejatinya merujuk pada leluhur pertama orang Minahasa; Toar, Lumimuut dan Walian Karema.
Ayam merah di bait terakhir merupakan ajakan bahwa seluruh ritual suku-suku Minahasa untuk pengingat leluhur tujuannya sama kendati berbeda bentuknya, karena berasal dari 1 keturunan yang sama. Dengan demikian lanjut Sumarauw, bisa dibilang syair mah’zani ini memiliki nilai persatuan yang berfungsi untuk mengingatkan bahwa semua orang Minahasa adalah satu termasuk orang Tombulu, sehingga tidak perlu mempersoalkan perbedaan yang ada tetapi harus mengutamakan dan menjunjung tinggi rasa persatuan.
Seperti halnya budaya-budaya tua di Tanah Minahasa, tradisi lisan dari Tombulu juga mengandung semiotika yang kuat. Di sini, ikatan kekeluargaan, ajakan untuk menjaga tanah dari ancamaman atau gangguan hingga pesan-pesan kepada yang muda agar bersikap baik dan menjunjung etika kehidupan terangkum dalam berbagai metafora.
Hingga hari ini, mah’zani akan kembali dilantunkan saat orang Tombulu menerima tamu besar atau melakukan budaya Mapalus.
“Dapat dikatakan bahwa mah’zani mengandung nilai persatuan, pertemanan dan etos kerja yang tentunya dapat berfungsi untuk memotivasi masyarakat masa kini agar selalu memiliki semangat kerja dan selalu mengutamakan persatuan tanpa memandang latar belakang seseorang,” kata Sumarauw.
Tradisi tersebut bisa menjadi pesan humanis dari masa lalu bagi orang Tombulu, agar menjaga perdamaian di tengah keragaman.
Suku Tombulu sebagian besar terkonsentrasi di Tomohon. Selain itu mereka menyebar di Kecamatan Tombariri, Kecamatan Pineleng, Kecamatan Tombulu, Kecamatan Wori, Likupang Barat dan Kota Manado. Awalnya Suku Tombulu, salah satu etnis asli Minahasa, memiliki 8 walak: Tomohon (Tou Muung), Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, Ares, Maumbi (Kalawat Atas), Kalawat Wawa (Klabat Bawah) di Paniki Likupang.
Kota Tomohon berada pada posisi 1°15′ Lintang Utara dan 124°50′ Bujur Timur. Luas Kota Tomohon berdasarkan keputusan UU RI Nomor 10 Tahun 2003 sekitar 11.420 Ha dengan jumlah penduduk lebih dari 200.000 jiwa. Kota sejuk ini terletak di ketinggian kira-kira 900-1100 meter dari permukaan laut (dpl) diapit 2 gunung berapi aktif, yaitu Gunung Lokon (1.580 m) dan Gunung Mahawu (1.311 m).
Bagi sub etnis Tombulu di masa kekinian, tantangan untuk menjaga Kamtibmas dalam proses bermasyarakat dilihat oleh Ketua Laskar Adat Manguni Indonesia (LAMI), Syennie Watoelangkow dalam wawancara beberapa waktu lalu, terjadi akibat pergeseran antara kearifan lokal ke budaya baru.
Dia mengurai bagaimana keterlibatan atau peran dari tokoh adat dalam membantu institusi kepolisian untuk bahu-membahu menjaga Kamtibmas di Tomohon khususnya. Baginya persoalan Kamtibmas yang terjadi di tengah masyarakat belakangan ini dipicu masalah minuman keras (Miras).
Kehadiran tokoh adat dan kepolisian dalam membangun sistem keamanan dan ketertiban dalam masyarakat adalah sebuah kebutuhan. Dari berbagai publikasi yang membahas tentang peran polisi dapat disimpulkan adanya keterkaitan kedua unsur ini dengan perkembangan masyarakat. Karena itu beban tugas dari para tokoh adat dari masa ke masa selalu mengalami perubahan.
Tugas utama mereka sebetulnya berkisar pada penegakan hukum atau pemberian sanksi sesuai hukum adat yang telah lama turun temurun, memelihara ketertiban umum serta pelayan masyarakat.
Syennie ikut mempersoalkan gangguan Kamtibas juga bisa terjadi karena berbagai orientasi semisal salah asuh sejak dini, minimnya pendidikan budi pekerti, semakin menipisnya kasih sayang mulai dari dalam rumah tanggal dan faktor lingkungan. Peran masyarakat menjaga keamanan yaitu mendorong forum informasi dan komunikasi dengan kepolisian dan pemerintah secara berkontinyu.
“Artinya bukan membentuk wadah atau forum baru, tetapi yang sudah ada itu yang diefektifkan maksud dan tujuannya,” katanya
Di sini tokoh adat berperan sentral mengembalikan kearifan masa lalu sebagai rambu-rambu etis masyarakat. Pengalaman masa lalu bisa diingat lagi untuk meredam masalah sosial berbentuk gangguan pada keamanan dan ketertiban. Sebagai mantan Wakil Walikota Tomohon, Sjennie mengimbau Ormas adat yang didirikan fungsi utamanya meletakan kembali rambu-rambu etika tadi. Untuk bisa mengembalikan ini semua perlu keterlibatan dan peran super aktif dari para tokoh adat.
“Seperti ketika ada acara pesta kita secara berulang-ulang kali memberikan wejangan-wejangan kepada masyarakat. Istilah ma’sigi-sigian (baku-baku bae) atau ti’a mapa irang (jangan bikin malu) selalu disampaikan ketika ada acara syukuran ataupun duka,” kata dia lagi.
Orang Tombulu di masa kini, seperti halnya masa lalu, sepatutnya juga menghargai lahan pemberian Yang Maha Kuasa agar tetap diolah sebagai sumber perekonomian. Keterbatasan ekonomi menurut Syennie ikut memunculkan gejolak sosial dan tindak kriminalitas. Untuk gagasan ini, dia mendorong peran orang tua mengajarkan anak ba kobong (berkebun) agar sedari dini bisa belajar mencari sumber pendapatan sendiri, atau paling tidak mampu memenuhi kebutuhan pribadi.
Di sisi lain menurut dia peran tradisi dan budaya lokal untuk menangkal gangguan Kamtibmas sekarang ini kurang menonjol. Semakin melebar jarak antara tokoh budaya dalam menjaga keamanan dan kedamaian, konkritnya karena peran tokoh-tokoh adat secara preventif belum nyata betul karena panggung adat ‘diambil alih’ oleh pihak lain. Namun beruntung masih ada tradisi budaya leluhur yang terus dipelihara untuk menangkal masalah sosial yang terjadi di tengah- masyarakat. Seperti rukun keluarga, kelompok-kelompok budaya dan seni.
Praktisi budaya Tombulu di Tomohon, Judie Turambi, mengingatkan beberapa tradisi lisan masa lalu masih tetap digunakan saat ini yang fungsinya sebagai pembimbing moral, kendati praktiknya tak luas. Sa wahu nae, wahu ng keroan (Kalau kaki itu basah, tentu basah juga kerongkongan), Tu’mambe Tamber wo ko tambe tamberan (banyak memberi banyak menerima).
Untaian frasa ini mengajak orang Tombulu untuk rajin bekerja. Dari tradisi masa lalu manusia belajar terus memperbaiki hidupnya sehingga masyarakat yang meinginkan kedamaian lebih banyak dibanding yang memiliki niat melakukan tindak kriminal.
Tindak seperti itu hanya diulakukan oleh orang-perseorangan atau kelompok dalam masyarakat. Alasan masyarakat inginkan kedamaian karena tujuan; mencapai kebahagiaan yang didalamnya terdapat, ingin hidup tenang, ingin hidup damai, ingin bebas. Sementara yang mendorong masyarakat melakukan kejahatan seperti; terdesak kebutuhan, situasi dan kondisi, persaingan, pengaruh perkembangan teknologi.
Secara umum kata Judie sudah tidak terlihat lagi tradisi sanksi moril di tengah masyarakat Tombulu khususnya.
“Hingga pertengahan tahun 1970-an masih ada, jika seseorang kedapatan mencuri, si pencuri diarak keliling kampung oleh seorang perangkat desa dan dengan tulisan saya pencuri,” kata Judie.
Ma’asa
Minahasa dalam percakapan dengan Dr Denni Pinontoan, dosen-teolog dan peneliti Pusat Kajian Indonesia Timur (Pukat), dimulai dengan kata Ma’asa yang artinya bersatu. Sebelum disepakati pertemuan antar-walak di Watu (batu) Pinawetengan, Tanah Malesung atau tanah Minahasa purba diwarnai dengan pertikaian sesama keturunan Toar-Lumimuut.
Menurut Pinontoan kikisan terjadi antar-golongan karena ada pihak yang merasa superior, seperti perseteruan antara walak Kinilouw dan Tompaso atau Tombulu dan Toulour. Maka pertemuan akbar yang dipimpin To’naas Kopero ini menghasilkan Ma’asa dan menghasilkan perdamaian antar-walak. Lebih dari itu, penyatuan ini menghasilkan juga kesepakatan untuk menyatukan kekuatan saat ada ancaman yang mengganggu ketenteraman hidup mereka.
Jadi ada 2 fungsi dari Ma’asa; sebagai lembaga musyawarah dan bersatu untuk menghadapi kekuatan dari luar yang mengancam kehidupan.
“Apa yang selalu diingat dalam pertemuan di Batu Pinabetengan itu adalah Tiwa atau sumpah yaitu untuk menjaga tanah kehidupan, untuk membagi wilayah dan bahasa. Ini menjadi cara untuk menyelesaikan masalah dan ini terus diingat dan menjadi salah satu prinsip untuk membentuk apa yang disebut Minahasa,” kata Pinontoan.
Bila diinterpretasi, ancaman dari luar itu bisa datang dari penjajah Eropa. Tapi bila yang datang dari luar itu bukan ancaman, mereka tetap diterima dengan tangan terbuka. Termasuk yang awalnya datang dengan damai, namun pada akhirnya melakukan kerusakan pada tatanan hidup masyarakat maka ini juga harus dilawan dalam konteks persatuan, konteks Ma’asa. Bagi Pinontoan, secara naluriah ini adalah kehendak kaum yang menginginkan terus hadirnya kedamaian dan rasa aman.
Bentuk kontekstualnya terefleksi saat ini. Saat organisasi kemasyarakatan berbasis adat Minahasa berkumpul dan menyatakan sikap pada berbagai bentuk intoleransi yang sering berseliweran beberapa tahun terakhir, kearifan masa lalu yang mereka sampaikan adalah
“Demi menjaga persatuan dan toleransi”. Pada akhirnya kearifan yang terbangun di Watu Pinabetengan menjelma sebagai sikap politik seperti itu di masa kini. Inilah cara seluruh sub etnis menjaga tatananan hidup di Tanah Minahasa dari berbagai gangguan yang dirasa mengancam kehidupan bersama, yang terbangun sejak masa lalu.
Filosofi tadi, lanjut Pinontoan, kembali terangkat ketika terjadi konflik Ambon-Poso di era 90-an. Orang Minahasa menggelar kongres besar untuk menyatukan tekad menghalau segala macam gangguan dari kelompok pengacau agar tidak masuk ke Tanah Minahasa. Sikap ini mengendap dalam pusaran kolektif yang kemudian muncul pada suatu masa.
“Ketika konflik di akhir 90-an ini terjadi, kita perhatikan di Sulawesi Utara adakah bentuk kekerasan yang dilakukan kelompok mayoritas pada kelompok lainnya? Secara psikologi memang ada emosi yang berkembang saat itu, tapi sama sekali tidak ada bentuk kekerasan yang terjadi,” jelas dia.
Tanah Minahasa sendiri berada di Sulawesi Utara. Di dalamnya hidup dan berkehidupan sub etnis Tombulu, Tontemboan, Toulour, Tonsea, Tonsawang dan Pasan-Ponosakan serta Bantik. Dalam peta administratif, etnis terbesar di Bumi Nyiur Melambai itu berada di Kota Manado, Bitung dan Tomohon, Kabupaten Minahasa induk, Minahasa Selatan, Minahasa Utara dan Minahasa Tenggara.
Namun mereka juga tersebar ke Tanah Totabuan, Bolaang Mongondouw yang kini terpisah 1 kota dan 4 kabupaten. Ada juga yang telah menetap dan jadi bagian masyarakat Nusa Utara, sebutan untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Kepulauan Sitaro.
Orang Minahasa dalam konsepsi para pakar menempati peninsula Sulawesi sejak 30.000 tahun lalu. Tanda-tanda kehidupan didapati dalam jejak situs dan berbagai peningggalan arkeologi seperti di gua Liang Sarru di Pulau Salibabu.
Bukti yang lain menunjukkan adanya kehidupan sekitar 6.000 tahun lalu di Situs Bukit Kerang Passo, di Kecamatan Kakas, dan 4.000 tahun yang lalu sampai awal Masehi di gua Liang Tuo Mane’e di Arangkaa di Pulau Karakelang. Kemudian muncul kebudayaan megalitik berupa kubur batu waruga, menhir Watutumotowa, lumpang batu dan lain-lain sejak 2.400 tahun lalu hingga abad 20 Masehi di Bumi Minahasa.
Sulawesi Utara juga menurut para pakar diperkirakan menjadi daerah kunci yang dapat memberi jawaban atas tanya tentang daerah asal (home land) dari suku bangsa yang berbahasa Austronesia yang pada masa kemudian mendiami daerah-daerah antara Madagaskar di bagian barat sampai dengan Easter Island di kepulauan Pasifik di bagian timur, serta Formosa Island di bagian Utara.
Dalam buku Pst Richard Renwarin, “Matuari Wo Tona’as”, menyebut suatu sikap hidup orang Minahasa adalah menjadi bagian orang lain atau menerima yang lain dalam bagian itu. Jadi bagaimana orang Minahasa harus eksis adalah menerima orang lain sesuai prinsip matuari atau keluarga. Sikap itu terefleksi dalam jargon yang dicetuskan mantan gubernur Sulawesi Utara dari sub etnis Tontemboan, EE Mangindaan, “Torang Samua Basudara”.
Jargon ini berada dalam ingatan bawah sadar orang Minahasa dan terbukti sukses membawa situasi tetap stabil. Periode yang menegangkan itu berhasil dilewati tanpa gangguan Kamtibmas dari daerah-daerah bertikai yang posisinya dekat dengan Sulawesi Utara.
Prinsip matuari dibawa dalam perilaku hidup orang Minahasa yang menekankan pada keseimbangan. Harmonisasi antara pribadinya sebagai orang Minahasa dan kebutuhan sosialnya untuk berbaur dengan kehidupan dengan saudara-saudara lain, baik itu Muslim dan Tionghoa. Tetapi pula ada tanggung jawab bahwa Minahasa itu harus dijaga. Siapa yang hidup di Minahasa, yaitu kumpulan orang-orang ini.
Sapa ke si kayoba’an anio
Tana ta’imbaya asi endo makasa
Sa neem si ma api
Wetengan e patu’usan
Wetengan eng kayobaan
Mapar e waranei tumani
E kumeter akad se tuus
Mou wo tumou tou
Sastra lisan di atas adalah bahasa tua peninggalan leluhur yang menggambarkan pesan masa lalu untuk selalu menjaga tanah pemberian Tuhan tetap aman dan damai. Frasa akhir dari tuturan tadi diyakini para penghayat agama tua Malesung, mengilhami filosofi hidup orang Minahasa yang dicetuskan Dr GSSJ Ratulangi; Si Tou Timou Tumou Tou, Manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain. (*)
Penulis:
Ady Putong
Discussion about this post