Manado,Barta1.com – Direktur Lembaga Hukum Manado (LBH), Satriano Pangkey, menyebut bahwa dirinya akan membahas 2 hal, yakni berkaitan dengan politik hukum dan pengalaman dalam melakukan advokasi.
Menurutnya, dalam rana politik hukum di tahun 2023 ini ada beberapa peraturan yang dibuat oleh rezim, yaitu Perpres (Peraturan Presiden) keragaman dan sebagainya, ada pun agenda soal Perpres soal umat kepercayaan.
“Kami menilai selama tidak ada harmonisasi produk peraturan perundang-undangan, maka beberapa aturan yang dibuat oleh rezim hari ini bagi kita hanya menjadi aturan di atas kertas. Itu yang menjadi catatan kami,” ungkap Satriano pada diskusi akhir tahun yang digelar oleh Gusdurian Manado dengan mengangkat tema keragaman : refleksi dan proyeksi, melalui zoom meeting, Minggu (31/12/2023).
Kemudian, yang kedua bisa menilai adanya regulasi yang dibuat hari ini, tapi itu tidak kemudian menghilangkan beberapa aturan yang memang sudah diketahui bersama sangat diskriminasi, namun masih ada undang-undang 1 PENPRES tahun 1965 tentang penodaan agama, dan masih ada peraturan bersama 3 Menteri tentang pendirian rumah ibadah dan sebagainya.
“Politik hukum yang dibuat pada rezim tahun 2023 masih belum cukup, yang kemudian menjamin pemenuhan hak asasi keragaman di Indonesia, termasuk di Sulawesi Utara (Sulut),” singkatnya.
Berikutnya, rezim administrasi hukum kerap bias pada kepentingan teman-teman minoritas. Bisa dilihat bagaimana teman-teman Laroma (aliran kepercayaan dari suku Minahasa), jika di Sulut mengurus KTP (kartu tanda penduduk) masih bias, termasuk ketika berbicara akan melanggar hukum.
“Ketika berbicara soal produk aturan, ketika diterapkan, maka yang diposisi otoritas untuk menafsirkan sebuah teks undang-undang adalah aparat penegak hukum, nah, itu yang sering kali bias, di mana aparat penegak hukum yang tidak punya prespektif (sudut pandang) berkaitan dengan kelompok-kelompok minoritas, tapi dari beberapa pengalaman kami melakukan pendampingan terhadap isu-isu seperti itu, aparat kepolisian atau penegak hukum bias pada kepentingan-kepentingan mayoritas, atau kepentingan elit,” jelasnya.
Satriano menambahkan, pihaknya telah melakukan riset kecil-kecilan, dan dari riset yang ditulis dengan melihat keragaman di Sulut, di mana beberapa tahun belakangan ini ada ekstalasi (peningkatan) yang cukup memprihatinkan yang tidak lepas dari adanya elit-elit politik, yang mempengaruhi pimpinan-pimpinan keagamaan.
“Akibat dari itu, berkaitan dengan keragaman dan lain sebagainya, tidak lagi menjadikan sebagai agenda umat atau jemaat dalam hal pelayanan. Di sisi lain, kami melihat pelebelan sebuah keragaman, melalui prosesnya yang sangat berdialektika. Ketika kita melihat soal keragaman berangkat dari bagaimana kemudian, teman-teman kelompok minoritas, kelompok rentan, dan kelompok termajinalkan berjuang untuk mendapatkan pengakuan,” tuturnya.
Ketika melihat pelebelan keragaman, apakah kelompok rentan dan minoritas bisa eksis atau ternyata hanya sekedar pengakuan mereka saja, atau hanya eksistensi mereka di ruang publik. Berangkat dari framing itu, pihaknya melihat, bagaimana upaya atau agenda ke depan adalah terkait dengan mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok minoritas dan rentan ini, agar supaya bisa tersuarakan. Dan mendapatkan, pengakuan oleh negara dan penguasa dengan betul-betul terakomodir, tapi LBH manado di tahun 2023 sedang berupaya melakukan advokasi kebijakan, walaupun tahapannya masih pada tahapan membuat petah kebijakan, agar supaya hadirnya peraturan daerah (Perda) kota ramah HAM (hak asasi manusia) di Sulut.
“Terkait dengan pelanggaran HAM bukan hanya berbicara soal pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah bagi kami sangat penting untuk bisa di advokasi. Itu yang saat ini sedang kami upayakan, mungkin diawal tahun 2024 kita akan membuat semacam FGD (focus group discussion) terkait proses kebijakan. Bagi kami bagaimana kemudian harus ada pengakuan terhadap kaum minoritas, teman-teman kaum miskin kota. Apalagi kerja-kerja yang kami lakukan dengan memberikan advokasi kepada masyarakat Kalasey, semua warga atau subjek yang kami dampingi, semua berbicara agar mereka itu harus diakui,” ujarnya.
Berkaitan dengan tantangan-tantangan ke depannya di LBH Manado, bagaimana kemudian untuk bisa melakukan pendiskusian yang berkelanjutan, agar supaya ruang dialog kritis seperti ini bisa menjadi konsumsi di ruang publik, bukan hanya sebuah narasi yang dikonsumsi khalayak tertentu saja, tapi juga bagaimana ini menjadi narasi yang bisa dikonsumsi secara bersama-sama.
“Di sisi lain yang harus kita pikirkan bersama bagaimana soal kelompok rentan dan termajinalkan bisa memobilisasi untuk melakukan gerakan bersama, yang sifatya untuk mendapat pengakuan dari gerakan yang sifatnya cenderung individual, cenderung ke kelompok-kelompok yang tidak terkonek dengan gerakan lain. Bagaimana kita bisa membangun sebuah konsilidasi yang kemudian bisa memperoleh gerakan yang sifatnya, lebih kolektif,” pungkasnya. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post