Manado, Barata1.com – Perwakilan Swara Parangpuang Sulut, Nurhasanah, mencoba memberikan refleksi dan proyeksinya, melalui pengalamannya yang sudah dilakukan bahkan yang akan dilakukan ke depannya. Hal itu disampaikannya pada diskusi akhir tahun yang digelar oleh Gusdurian Manado melalui Zoom Meeting, Minggu (31/12/2023).
Kekerasan terhadap perempuan
“Berangkat dari pengalaman pribadi, berkaitan dengan isu kekerasan perempuan dan anak yang mungkin baru saya informasikan, tahun 2023 menurut data UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) P3A (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Provinsi Sulut yang ternyata ada 301 kasus,” ungkapnya.
Menurutnya, dari 301 kasus 50 persennya lebih sudah selesai ditangani dan sisanya masih dalam proses. Meningkatnya laporan kasus kekerasan bisa menjadi berita baik sekaligus berita tidak baik. berita baiknya karena masyarakat sudah semakin paham akan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak serta infomasi yang semakin mudah untuk mencari Lembaga-lembaga pendamping korban. Swara Parangpuan sendiri untuk tahun 2023 semua laporan kasusnya dirujuk ke UPTD seperti psikologis klinis.
“Di satu sisi, meningkatnya laporan kasus kekerasan tidak berbanding lurus dengan peningkatan layanan yang dibutuhakan korban dengan kendala setiap tahunnya sama, yakni anggaran yang kecil. Saat ini, kami bersama gerakan perempuan Sulut (GPS) sedang melakukan kajian terkait program perlindungan terhadap perempuan di Dinas P3A Provinsi, hasilnya nanti akan dipublikasikan di akhir bulan Januari 2024 ,” ujarya.
Kedua, soal implementasi undang-undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang sampai saat ini belum memenuhi harapan, karena aparat penegak hukum di Sulut terutama Polres-polres belum menggunakannya. Baru Polda sudah menggunakan dengan satu kasus, yang sudah putusan tetap yaitu, kasus pelecehan seksual non fisik. Aalasannya belum ada aturan turunan, padahal untuk pasal pidana tidak diatur lagi menggunakan aturan turunan.
“Mungkin proyeksi ke depan mengharapkan semua elemen masyarakat termasuk media ikut mendorong aparat penegak hukum untuk menggunakan undang-undang TPKS, jika ada kasus kekerasan seksual,” singkatnya.
Keterlibatan perempuan dalam politik
Ketiga, soal keterlibatan perempuan dalam ranah politik yang semakin dikebiri, seperti di Sulut, di mana tidak adanya keterwakilan perempuan pada penyelenggara pemilu, yakni di Bawaslu Provinsi Sulut.
“Merespon hal itu, GPS menyurat secara resmi ke Bawaslu RI menyampaikan keberatan namun tidak digubris. Berikutnya dengan adanya PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) nomor 10 tahun 2023 pasal 8 ayat 2 tentang pembulatan ke bawah dalam perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan, dan ada partai yang caleg perempuannya tidak memenuhi 30 persen bisa lolos. Padahal itu sudah dianulir oleh MA (Mahkamah Agung) dengan mengeluarkan putusan MA nomor 23 tahun 2023,” jelasnya sembari menyebut seperti ada ketakutan dengan perjuangan perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam moderasi beragama
Keempat, keterlibatan perempuan dalam isu moderasi beragama masih minim. Isu ini seolah-olah masih milik satu kelompok. “Saya sendiri baru satu kali mengikuti diskusi terkait moderasi beragama, itu pun karena mengajukan diri minta diundang. Melihat narasumbernya sekitar 5 orang laki-laki semua. Pesertanya banyak mahasiswa perempuan, tapi lebih banyak pasif. Karena memang katanya latar belakang program ini hanya untuk lingkungan kampus. Apa maksudnya, apakah orang diluar kampus tidak bisa berbicara soal isu ini, saya juga tidak tahu,” jelasnya.
Melihat hal itu, kemudian Nurhasanah, menceritakan bahwa dirinya pernah mengajak beberapa teman-teman perempuan untuk membahas soal moderasi beragama, namun belum terlakasana. “Mungkin ke depan proyeksinya adalah kiranya terlaksana apa yang direncanakan,” tambahnya.
Inklusi di Sulut
Kelima, berkaitan dengan isu inklusi di Sulut masih belum menjadi isu yang penting untuk diperhatikan. Keterlibatan kelompok minoritas rentan belum banyak dilibatkan secara bermakna dalam setiap proses pembangunan terutama dalam tahapan perencanaan seperti kelompok disabilitas belum lagi kelompok lainnya seperti perempuan dengan HIV, keragaman gender, lansia.
“Saat ini juga kami yang tergabung dalam jaringan masyarakat sipil peduli disabilitas sedang mengadvokasi revisi Perda Provinsi Sulut No. 8 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas yang secara substansi masih bermasalah karena proses penyusunannya tidak melibatkan masyarakat dan juga kelompok disabilitas secara bermakna hanya untuk formalitas,”pungkasnya. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post