Catatan:
Iverdixon Tinungki
Di Talaud, budaya “Masaruwenten” (Gotong Royong) adalah pandangan hidup (way of life). Secara dinamis diartikan sebagai bersatu untuk bersama-sama, menjadi satu hati untuk maju bersama; memikul beban dan tanggung jawab bersama; “Mamenten’ne alu tawe ontonge tawe punen’ne”.
Kearifan lokal ini telah mengisi narasi sejarah panjang masyarakat kepulauan itu. Di sana segala sesuatu diputuskan bersama, dan dikerjakan bersama. Semangat menyatu ini tumbuh di atas nilai-nilai ketulusan, kejujuran, kesetiaan dan kasih sayang.
Di Indonesia, kearifan lokal semacam ini didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup yang menuntun masyarakat kedalam hal pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan keharmonisan alam dan sosial. Dengan mengaktualisasikan kearifan lokal, akan memperkuat eksistensi jati diri orang Talaud dalam menghadapi berbagai benturan nilai akibat pengaruh globalisasi.
Tradisi, kesenian tradisional, bahasa, aturan-aturan adat, dan beragam budaya yang terus hidup dalam masyarakat ini sejatinya adalah modal bersama dalam membangun dan menjaga dinamika kehidupan masyarakat Talaud ke depan. Karena pada dasarnya, eksistensi masyarakat selalu tak dimulai dari rumusan yang sudah selesai, tapi terus berkembang. Dalam sosiologi modern sebagaimana sitir Durkheim, solidaritas organik suatu masyarakat dibentuk dan dipelihara oleh keberadaan suatu sistem nilai kebersamaan yang secara historis dibangun melalui tradisi. Kembali ke akar tradisi, kembali ke ibu kearifal lokal menurut tesis Van Peursen, tak lain sebagai upaya menjawab masalah-masalah kehidupan. Teori komunikasi Van Parsen memandang kebudayaan sebagai siasat manusia mengahadapi hari depan.
Seperti juga umumnya tradisi masyarakat Nusa Utara, orang-orang Talaud sejak masa purba telah dibimbing oleh suatu ajaran keseimbangan hidup antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, antara manusia dan lingkungannya. Ajaran-ajaran itu mengandung makna kesehatian, kesepenanggungan untuk merajut nilai-nilai sosial budaya serta segenap entitas kehidupan bersama. Di situlah sisi menarik upaya mengaktualisasi nilai-nilai luhur tradisi budaya masyarakat Talaud.
Sebagaimana Sangihe, Talaud merupakan kabupaten kepulauan di daerah perbatasan utara Indonesia yang langsung bersisian dengan Republik Filipina. Sebagai kabupaten, Talaud dimekarkan pada 2 Juli 2002 dengan ibukota Melonguane, terletak di pulau Karakelang. Luas wilayah 1.288,94 km2, berpenduduk 91.067 jiwa. Kepulauan ini diperkirakan telah dihuni manusia sejak ± 6.000 tahun SM, dan membentuk kultur manusia kepulauan, kental dengan nilai kebaharian; “Sinsiote Sampate-pate. Sangkundiman su paramaian.”, menginspirasikan simbol kebersamaan, keberanian dan harapan di hadapan kesulitan. Semua nilai luhur tradisi budaya itu seakan terrevitalisasi ke dalam diri masyarakatnya.
Dari 20 pulau, yang terbesar Karakelan, disusul Pulau Kabaruan, Salibabu, Miangas, Marampit, Karatung, Kakorotan dan pulau – pulau tidak berpenghuni lainnya. Daratannya seluas 1.288,94 km2 dan lautan 25.772,22 km2. Seperti halnya pulau-pulau di bibir lautan Pasifik, Talaud adalah zamrud khatulistiwa yang cantik. Pantai-pantai bersih berpasir putih. Air laut jernih berpadu keindahan terumbu karang tempat ikan dan aneka biota laut berumah.
Profesor Bellwood, peneliti dari Inggris berkebangsaan Swiss yang berdomisili di Australia dan juga dosen terbang dari Universitas Chambera, pada 1974 meneliti wilayah ini mengungkap perjalanan panjang masyarakat yang mendiami gugus kepulauan tersebut dengan ditemukannya peninggalan keramik dari cina di kuburan-kuburan tua, di gua-gua. Di arsip pusat arkeologi Nasional, Bellwood menyatakan benda-benda berupa keramik, kapak batu dan barang-barang peninggalan lainnya yang ditemukannya di Talaud itu diperkirakan berusia 6000 tahun SM. Ekspedisi Ferdinand Magelhaens (1511-1521) yang pernah tiba di kepulauan ini dengan seorang kepala armada perahu layar bernama Santos menemukan ketika itu pulau Karakelang masih bernama Maleon, Sinduane untuk Salibabu, Tamarongge untuk Kabaruan, Batunampato untuk kepulauan Nanusa, dan Tinonda untuk Miangas.
Bagaimana masyarakat perbatasan ini menjaga identitas tradisi dan budaya mereka sangat menarik dikaji dan diaktualisasikan kembali. Sebab di waktu yang panjang praktik kebudayaan dalam aras lokal telah merupakan penjamin terjaganya sebuah komunitas yang lebih besar. Secara empiris, kepatuhan warga masyarakat Talaud kepada adat dan pada pemuka-pemuka adat atau tokoh masyarakat lainnya masih sangat kuat. Hal itu terlihat pada keberadaan lembaga adat seperti “Ratumbanua” dan “Inangngu wanua” serta “timmadde ŗuanga” yang mengatur pelaksanaan tradisi dalam kampung seperti pelaksanaan budaya “eha” atau pantang berkala, yang diberlakukan pada tanaman kelapa pada setiap periode kuartal. Eha, dan tradisi menangkap ikan “Manami dan Mane’e” adalah cermin terbening dalam eksistensi budaya orang Talaud yang masih terpelihara hingga kini, yang mengatur masyarakat itu dalam mengelola hidup dan sumber penghidupan mereka. Belakangan ini, pulau Kakorotan sangat dikenal karena penduduknya masih hidup dalam tradisi tua mereka, Mane’e. Tradisi menangkap ikan dengan menggunakan janur (daun) kelapa. Sistem nilai kearifan lokal ini juga tercermin pada karya-karya kesusasteraan masa lampau negeri itu, semisal syair di bawah ini:
“Upung-upung waroa, anggile u wae
Wae ipaura, ipandamu ghati
Sio rotewe, tuarinu adoiwe”
Syair lagu rakyat Talaud di atas dapat diterjemakan secara bebas sebagai berikut: Wahai para leluhur burung bangau// berikanlah aku air// untuk apa air itu?// untuk membasuh wajahku// ya pergilah ambil// tapi ingat sisakan untuk adikmu.
Meresepsi syair lagu bernuansa fabel di atas, kita langsung dipertemukan dengan dunia makna yang luhur. Tampak relasi manusia dan alam berlangsung dalam suatu tatanan hormonis, saling menghormati, saling menghargai. Ada nilai regenerasi, ada tata krama dan etika, dan beragam nilai luhur sumber kehidupan yang dapat diinterpretasikan pada simbol air untuk membasuh wajah. Bahkan dalam tafsir sosiologis, fabel ini mewariskan perilaku etis dari kehidupan komunal masyarakat Talaud.
Ketika orang-orang di selatan (Sangihe dan Sitaro) memetaforkan praktik kekuasaan tirani sebagaimana perangai raksasa, orang Talaud justru memfabelkannya sebagai babi. Hal tersebut dapat ditelusuri lebih dalam pada cerita rakyat masyarakat pulau Karakelang yang sangat popular, tentang seekor babi bernama “Yologe”. Kekuasaan tirani digambarkan sangat merusak tatanan hidup masyarakat. Sifat rakus yang memangsa apa saja milik masyarakat di kebun kehidupannya. Ini barangkali sebabnya, seorang pelaku kejahatan disebut secara leceh “Wawi” (Babi) dalam tradisi setempat.
Menjelajahi beragam kisah masa lampau yang hidup dalam ingatan massal orang-orang Talaud, mengingatkan kita pada ungkapan Yuval Noah Harari, sejarawan Israel dalam, Sapiens; A Brief History of Humankind (2014). “Bahwa dari semua spesies yang hidup di bumi, hanya manusia yang mampu mengembangkan cerita dan mencipta fiksi, dan sekaligus mempercayainya, serta hidup di dalamnya. Dan ketertarikan manusia terhadap cerita-cerita fiksi ini adalah anugerah evolusi yang tidak bisa dihindari serta sudah terjadi sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Di masa itu, fiksi-fiksi—seperti legenda, mitos, dewa-dewa dan agama—muncul untuk pertama kalinya yang membuat manusia mampu berhimpun dan membentuk kelompok dalam jumlah yang sangat besar yang tidak bisa dilakukan oleh spesies yang lain.” Dan di Talaud, lembaga-lembaga tradisi semisal “Inanguwanua” dan “Ratumbanua” bagi mereka adalah benteng terakhir penjaga nilai keskralan dunia susastra lama itu. Semacam bibliografi besar yang menampung segala informasi tradisi budaya bahkan jejak-jejak kehidupan dari masa paling jauh.
Orang-orang tua di negeri itu hingga kini masih mengisahkan dongeng-dongeng heroik suku bangsa Talaud dengan tujuan menyalakan api semangat dan daya hidup masyarakat. Pada kisah-kisah perampokan, para penjarah tersebut dipersonifikasikan dalam beragam karakter binatang.
Sementara asal-usul manusia muncul dalam berbagai versi, baik tentang para pendatang dari Cina seperti dikisahkan dalam cerita rakyat masyarakat Pulutan “Atoanna”. bahkan yang datang dari Eropa yang dikisahkan dalam cerita rakyat masyarakat Lirung dalam legenda “Airung”. Tak luput juga keasalan dari dunia khayangan seperti dalam legenda Manongga dari masyarakat yang mendiami pulau Kakorotan, atau “Pohon Putri Lungkang” dari masyarakat yang mendiami Pulau Karakelang. Talaud juga diperkaya fiksi-fiksi dari dunia esoteris nabati, fabel dan puisi-puisi atavisme kakumbaeda. Di pulau-pulau Talaud, kisah-kisah fiksi dan sastra semacam itu terwaris dengan indah pada ingatan mereka sejak masa kanak-kanak.
Dalam buku “Nusa Utara Masa Purba Hingga Era Kerajaan” (2020), Iverdixon Tinungki secara cukup detil menulis sejarah Talaud sebelum dan sesudah abad 16. Disebutkan, harta dan tanaman-tanaman orang-orang Talauda selalu dirampok oleh para perompak Mangindano dari kepulauan Sulu, Filipina. Pada masa penjajahan Belanda, orang-orang Talaud hampir-hampir kehilangan hak mereka atas tanah dan harta-harta mereka yang lain. Di masa pendudukan Jepang, mereka menjadi para pekerja paksa dan banyak yang terbunuh. Peristiwa demi peristiwa itu menginspirasikan penciptaan berbagai hikayat yang dikisahkan terus menerus antar generasi. Dan setiap bentuk, jenis seni budaya dan tradisi mengandung nilai luhur dan budi pekerti yang patut diketahui, diajarkan, dan dilestarikan sebagai kekayaan peradaban suku bangsa Talaud.
Ada ratusan dan mungkin ribuan cerita rakyat suku bangsa Talaud, juga syair-syair indah dalam bentuk sastra lisan atau sastra tutur sudah tidak diketahui masyarakat umum pada masa kini. Khazanah sastra lama ini adalah kekayaan budaya yang harusnya menjadi cermin refleksi untuk meraih masa depan. Karena budaya dan tradisi adalah identitas sebuah bangsa. Identitas itu adalah akar dan pondasi untuk tumbuh di tengah kemajuan zaman sebagai manusia yang berkarakter. Cerita rakyat adalah karya kesusastraan masa lampau dan diciptakan oleh para sastrawan masa lampau. Kendati karya-karya ini datang dari suatu masa yang telah jauh, dari tengah peradaban yang telah lalu, bukan berarti ia menjadi lalu dan basi atau bahkan tak berguna untuk masa kini. Sebagaimana karya sastra masa kini, cerita rakyat mengandung nilai luhur, nilai universal yang abadi, yang tetap hidup sepanjang zaman. Sebagai karya sastra, cerita rakyat juga memberi kemungkinan lahirnya sebuah tafsir baru, sebuah interpretasi yang canggih, yang melampaui zamannya.
Antropolog, Clifford Geertz, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang melingkupi seluruh hidup dan bahkan merasuki seluruh kehidupan manusia. Dalam “The Interpretation of Culture”, ia menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, di mana kebudayaan dilihat sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya, perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut.
Hal tersebutlah yang dilakukan orang-orang Talaud dalam gerakan Poros Baru Porodisa. Mereka menempat kebudayaannya sebagai jaringan makna yang kemudian ditafsirkan dan dirumuskan kembali menjadi sebuah falsafah bersama. Falsafah tersebut merupakan petunjuk-petunjuk moral etik yang diyakini merupakan petuah para leluhur untuk semangat hidup bersama, bersatu pada sebuah rumah budaya Talaud, sebagai suku bangsa Talaud. (***)
Discussion about this post