Manado, Barta1.com – Berabad-abad lamanya masyarakat Sangihe selalu mensyukuri dan menyesuaikan diri dengan anugerah Sang Pencipta atas daerah ini. Warga Sangihe bersyukur dan menggantungkan kehidupannya kepada sumber daya alam yang melimpah di laut sebagai nelayan dan di daratan pulau sebagai petani.
Sistem bertani kebun campur adalah tradisi turun temurun yang menjadikan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan situasi itu, masyarakat hidup nyaman, tentram dan damai memelihara adat istiadat yang harmonis dalam kerukunan.
Selain itu, di Pulau Sangihe terdapat hutan Lindung Sahendarumang yang menjadi sumber air mengalir melalui 70 sungai ke kampung-kampung, dan memelihara berbagai satwa endemik Sangihe seperti spesies burung yang dilindungi yang kini terancam keberadaannya di dunia, hanya tersisa di hutan Sahendarumang.
Namun sekarang, keadaan nyaman, tenteram dan damai tersebut diusik oleh izin tambang yang dikeluarkan Dirjen Minerba ESDM Nomor: 163.K/MB.04/DJB/2021 kepada PT. Tambang Mas Sangihe (TMS). Luas izin 42.000 Hektar atau lebih dari setengah Pulau Sangihe.
Artinya, Pulau Sangihe akan dibongkar secara terbuka dan massif selama 33 tahun (2021-2054). 80 Desa dari 7 Kecamatan di Kabupaten Sangihe serta hutan sahendarumang terancam digusur. Perkampungan, sekolah-sekolah, rumah-rumah ibadah serta adat istiadat berpotensi tinggal kenangan. Hendak dikemanakan 57.000 rakyat dari 80 kampung tersebut? Apakah Pulau Sangihe sanggup menahan beban perubahan bentang alam? Ataukah pulau ini malah tenggelam menjadi bagian dari lautan Pasifik yang misterius?
Selain itu, 40 juta ton material akan dikeruk dan diambil emasnya dengan menggunakan bahan kimia B3 (Bahan Beracun Berbahaya) dalam mengekstraksi emas, akan terekstraksi mineral lain yang sebelumnya stabil dalam perut bumi seperti mercury, cadnium, arsenik, dan lain-lainnya akan dibuang sebagai limbah.
Hutan, kebun, perkampungan, rumah-rumah ibadah, sekolah, dan lain-lainnya akan diganti dengan limbah beracun !! Selain tergusurnya 57.000 penduduk dari 80 Kampung dari areal pemukiman, hilang pula mata pencaharian petani dan nelayan karena rusaknya perairan tangkap nelayan tradisional di sepanjang pantai di sekitar areal pertambangan. Artinya, Izin tambang emas tersebut hanya akan memiskinkan masyarakat Sangihe.
Pasal 42 Perda No. 4 tahun 2014 tentang RTRW Sangihe menyebutkan, pulau Sangihe merupakan daerah rawan bencana yang harus dimitigasi. Rawan bencana tersebut jika ditambah dengan kerusakan bentang alam dan pencemaran akibat Izin tambang dari Kementerian ESDM dapat mejadi malapetaka bagi seluruh Pulau Sangihe !! Dapat menenggelamkan Pulau Sangihe ke jurang kebinasaan.
Mirisnya, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tegas mengatur bahwa pulau dengan luas daratan kurang dari 2000 km2 dikategorikan sebagai pulau kecil dan dilarang oleh Pasal 35 huruf k UU No. 1 Tahun 2014 untuk ditambang. Dan oleh Pasal 26 A UU No. 1 Tahun 2014, tanpa Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan, PT TMS tidak boleh beroperasi di Pulau Sangihe. Dan PT TMS tidak memiliki Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menyikapi kondisi itu warga Sangihe yang elemen lainnya yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tolak PT TMS menggelar demo di Manado dan Tahuna.
Dalam tuntutan mereka menolak kehadiran PT Tambang Mas Sangihe mengeksploitasi pulau Sangihe, Usir PT TMS dari Pulau Sangihe. “Mendesak Gubernur Sulawesi Utara, Kapolda Sulut dan Bupati Kabupaten Sangihe untuk menertibkan/menutup operasi PT TMS di Pulau Sangihe dan usut semua pelanggaran hukum PT TMS,” ujar Jull Takaliuang di Manado, Kamis (28/10/2021).
Juga menuntut Gubernur Sulawesi Utara dan Bupati Sangihe untuk dikembalikannya air bersih yang tiba-tiba lenyap di Kampung Bowone, akibat pembongkaran lahan yang dilakukan PT TMS. “Kami mendesak Gubernur Sulut untuk memecat secara tidak hormat dan memproses secara hukum Kepala DLH Sulut dan Kadis Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Sulut karena tidak melibatkan masyarakat dalam proses AMDAL dan Izin Lingkungan PT TMS,” terangnya.
Kemudian mendesak Gubernur Sulut untuk mencabut izin Lingkungan PT TMS karena cacat hukum. “Juga kepada Kapolda Sulut untuk menegakkan hukum lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil terhadap pelanggaran pidana perusakan lingkungan PT TMS. Meminta pertanggungjawaban Kapolda Sulut terkait pengawalan aparat kepolisian bagi PT TMS yang melakukan perusakan Pulau Sangihe tanpa Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan karena aparat Kepolisian oleh negara untuk melindungi rakyat dan menegakkan hukum bukan mengawal dan mengamankan perbuatan melanggar hukum,” katanya.
Menuntut Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT TMS. “Meminta negara untuk menjamin hak hidup masyarakat di Kepulauan Sangihe, untuk mendapatkan ruang hidup yang layak dan sehat, dan tidak diganggu oleh intervensi yang merampas hak-hak hidup rakyat,” ujar Jull yang dikenal aktivis perempuan dan HAM Sulut.
Peliput : Meikel Pontolondo
Discussion about this post