Catatan:
Iverdixon Tinungki
Minahasa adalah salah satu magnet utama demokrasi di Indonesia. Bahkan menjadi pilot project Pemilihan Umum pertama tahun 1951 selain Jogyakarta. Tulisan berikut ini dipersembahkan untuk meramaikan Sangihe Writers & Riders Festival (SWRF) 2021.
Tak lebih sepelempar batu dari Zero Point, persis di jantung kota Manado, masih nampak sebuah artefak demokrasi masa lampau yaitu gedung Minahasaraad. Dr Sam Ratulangi, Gubernur Pertama Sulawesi pernah berkantor di Gedung itu. Jauh sebelum kemerdekaan, Minahasaraad adalah gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Minahasa.
Minahasaraad terbentuk seiring penetapan Minahasa sebagai daerah otonom Hindia Belanda lewat Peraturan Dewan-Dewan Lokal (Locale Raden-Ordonnantie) Nomor 64 tahun 1919. Minahasaraad merupakan Dewan Rakyat pertama di Indonesia. Di gedung itu pula berlangsung sejumlah sidang yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi modern yang menjembatani kesenjangan antara fitrah manusia dan cengkeraman otoriterianisme. Di sana diputuskan sejumlah kontrak sosial, perlindungan hak warga negara, dan mengatur terselenggaranya kedaulatan rakyat melalui hak suara.
Minahasa sebagai daerah yang menjadi magnet utama demokrasi di Indonesia juga tercermin lewat kultur dan praktek demokrasi di tingkat desa. Para sejarawan yang lahir dan besar di bentangan lanskap bergunung-gunung dengan bentang tanah yang subur ini mengatakan, praktik demokrasi juga terlihat pada Pemilihan Ukung tu’a (kepala desa) yang dilaksanakan dalam pranata demokratis. Lebih luas lagi, kita akan dipertemukan dengan forum tertinggi dalam struktur masyarakat Minahasa tempo dulu yang disebut Dewan Wali Pakasaan. Arsip KPU Minahasa mencatat, Minahasaraad yang anggota-anggotanya dipilih dalam sebuah Pemilu dan eksis sampai masa Indonesia merdeka adalah rombakan dari Dewan Wali Pakasaan di masa penjajahan Belanda.
Para pegiat Mawale Cultural Center dan komunitas Mapatik, bisa disebut kelompok intelektual terkini yang dengan gigih menelusri serta menggali artefak dan sosiofact demokrasi Minahasa masa lampau. Studi mendalam mereka mencatat, sebagaimana pohon memiliki akar, keberhasilan Pilkada atau Pemilu di Sulawesi Utara dalam beberapa periode hingga masa kini berakar pada adanya fakta demokrasi elektoral itu sudah tertanam sangat jauh dan dalam pada benak manusia dan kultur sejarah Minahasa dan Sulawesi Utara pada umumnya. Kultur demokrasi itu juga membentuk kemandirian daerah ini dan bertranformasi ke segala aspek kehidupan lainnya. Dari rengkah sejarah itulah kecambah karakter demokrasi melesat hingga nampak saat ini.
“Kita sudah mengenal sistem perwakilan dan musyawarah. Sistem ini sudah sejak lama dikenal di Minahasa, jauh sebelum orang Portugis dan Spanyol masuk ke Minahasa,” ujar DR Denni Pinontoan M.Teol, peneliti Mawale Cultural Center. Ia mengatakan nilai-nilai demokrasi yang berakar di Minahasa sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat di Minahasa. Kendati tak mengenal kata demokrasi, masyarakat Minahasa sudah mengenal dan memberlakukan prinsip-prinsip demokrasi modern. Mereka sudah mengenal sistem perwakilan dan musyawarah, dan sistem ini sudah ada sebelum kapal-kapal Portugis dan Spanyol mendarat di Minahasa.
Sebuah afirmasi yang menarik pernah diungkapkan Husni Kamil Manik. Pada 27 Mei 2016, ketika memberi kuliah umum di Universitas Sam Ratulangi Manado, mantan Ketua KPU RI tersebut dengan tegas menyebutkan demokrasi di Indonesia berawal dari Minahasa. Dalam tilikan Malik, sebelum Indonesia merdeka tahun 1945, Minahasa telah hidup dalam kultur, struktur dan praktek demokrasi. Ini sebabnya, andaikata peta baring bangsa kepulauan Nusantara ini diingklinasi, maka Minahasa, Sulawesi Utara, tak lain merupakan titik berangkat mula-mula dari sejarah perkembangan demokrasi modern di Indonesia.
Pada uraian sebelumnya, telah tersentil ornament khas dalam penyelenggaraan pemerintahan tradisional di Minahasa yang kaya dengan nilai-nilai demokrasi dibuktikan dengan berbagai hasil penelitian empirik. Sebagaimana konsep penerapannya, demokrasi di sana diresepsikan sebagaimana tatanan hidup bernegara dan dipahami sebagai pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kekuasaan rakyat. Rakyat berada pada posisi sebagai pemegang kedaulatan Negara.
Demikian Minahasa, dengan karakteristik unik demokrasi yang diperkaya kemelekan huruf penduduknya waktu itu, sontak menjadi titik masuk Minahasa sebagai pilot project Pemilihan Umum pertama tahun 1951 selain Jogyakarta. Setahun kemudian yaitu pada 1952 pemilihan langsung di Makassar baru dilaksanakan. Namun sebelumnya, di masa Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dikenal sebagai negara federasi yang berdiri pada 27 Desember 1949, di Minahasa sudah pernah berlangsung pemilihan umum.
Sumber Algemeen Indisch Dagblad edisi 18 Mei 1951 menyebutkan Sartono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia masa itu, memandang Minahasa sebagai daerah dengan 95 persen penduduk yang melek huruf. Kondisi itu sangat menguntungkan untuk uji coba pemilihan langsung.
DR. Denni H.R. Pinontoan, M.Theol adalah salah satu dari deretan penulis Minahasa yang punya rekaman sempurna tentang Pemilu 1951 yang berlangsung di wilayah berpenduduk 503.929 jiwa, dengar daftar pengantong hak pilih sebanyak 209.992 orang. Dalam artikelnya yang berjudul: “Pemilu di Minahasa tahun 1951, Pemilihan Langsung Pertama di Indonesia” yang dilansir katanisme.blogspot.com mendeskripsikan, tahun awal demokrasi langsung di Indonesia ini berjalan sebagaimana gambaran pemilu masa kini yang bertaburan Pamflel dan spanduk-spanduk kampanye mengisi tempat-tempat umum.
“Rakjat! Pilihlah Jang Berani dan Djudjur” begitu bunyi sebuah iklan kampanye ketika itu, tulis Pinontoan. Ada propaganda yang dilancarkan para pendukung fanatik yang saat ini lebih dikenal sebagai penggaung atau buzzer politik. Ada pesta yang diselenggarakan para calon untuk menarik simpati pemilih. Kampanye yang ramai. Mobil-mobil yang ditempeli plakat (Stiker). Keramaian ini ungkap Pinontoan disebabkan adanya anggapan menjadi anggota DPR adalah suatu kehormatan besar.
Saat berlangsung pungutan suara untuk pemilihan 25 anggota dewan itu pada 14 Juni 1951, sebanyak 150.000 pemilih mengggunakan hak pilihnya atau 73 persen penduduk yang berhak memilih memberikan suara. Majalah Merdeka, edisi 1 Desember 1951 menulis peristiwa itu sebagai “Pemilihan Umum: Dari Rakjat, untuk Kepentingan Rakjat”. Reportase jurnalistik itu sendiri melihat ada perbedaan dengan pemilihan di Yogyakarta yang menggunakan sistem bertingkat, sementara di Minahasa memakai sistem langsung.
Boyd R. Compton dalam bukunya, secara detil mengulas proses pemilu langsung itu di antaranya: “Setelah pencocokan nama dengan daftar pemilih, setiap pemilih diberi kartu suara menurut nama-nama calon, baik yang tampil secara individu maupun yang tampil dari partai atau sebuah organisasi. Setiap pemilih mencoblos kartu suara secara rahasia untuk satu orang kandidat. Sesudah pemungutan suara berakhir, kotak suara disegel dan dibawa ke ibukota daerah, tempat semua kartu suara dihitung oleh sebuah panitia tunggal.
Cara perhitungan hasil pemilihan yang dipakai adalah membagi jumlah suara yang masuk dengan jumlah Kursi yang harus diisi. Seorang calon dinyatakan terpilih jika perolehan suaranya melampaui jumlah ini, dan sebuah partai memperoleh kursi sesuai dengan jumlah hasil-bagi pemilihan dengan suara yang didapatnya. Pada perhitungan pertama, lima belas dari dua puluh lima kursi dimenangkan oleh tujuh partai yang terdaftar. Pada penghitungan kedua, para calon dan partai-partai dibolehkan bergabung, jika gabungan suara melampaui hasil-bagi pemilihan, satu kursi diberikan kepada suara terbesar dalam gabungan itu. Dua kursi diperebutkan dalam penghitungan kedua. Untuk penghitungan-penghitungan berikutnya, digunakan sistem d’Hondt (suara rata-rata tertinggi), dan delapan kursi dibagi-bagi” (Halaman 233 – 235 Compton, Boyd R. Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia).
Di Minahasa sendiri, praktek pemilu modern seperti pengaturan hak memilih, pengaturan syarat calon, daerah pemilihan dan jumlah kursi, telah dipraktekkan pada pemilihan anggota Minahasaraad yang keberadaannya sejak 1918. Tata cara Pemilihan Anggota Minahasaraad diundangkan melalui Staatsblad 1929 nomor 355 sebagai perubahan Ordonnansi tertanggal 8 Februari 1919, Staatsblad nomor 65 yang sebelumnya diubah terakhir dengan Ordonnansi 6 September 1927.
Ketika sejarah mencatat bagaimana pemerintah Indonesia menyelenggarakan pemilu serentak pertama tahun 1955 dengan demokratis dan sukses, pemilu Minahasa 1951 telah dijadikan kiblat demokrasi electoral tersebut. Bahkan, sistem pemilihan langsung yang diadopsi dalam penyelengaraan pemilu 1955 meraih tingkat partisipasi yang tinggi. (*)
Discussion about this post