Impian pegiat usaha rintisan di Manado adalah mentranformasi kota ini berbasis komunitas sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebab, kota pintar atau smart city tak hanya sampai pada bagaimana sistem digital dibangun pemerintah, tapi terutama masyarakatnya berinovasi untuk menuntaskan berbagai masalah yang dihadapi.
“Smart city itu kota yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, bukan segala sesuatu di-drive oleh pemerintah. Kita cari sumber dayanya dulu baru memulai project-nya kemudian lihat hasilnya seperti apa,” kata pengelola Sarang Inovasi Co Working Space, Patrice Sagay, di Manado awal November 2019.
Sejak beberapa tahun terakhir Patrice bergiat menggali sumber daya untuk menumbuhkan ekosistem startup di Manado, ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Dia membuka ‘Satu Tampa’, ruang kerja bagi ratusan anak muda pengembang berbagai jenis usaha rintisan, baik yang digital maupun non-digital. Pelaku usaha kreatif ini terus berkembang dan punya banyak ide untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi warga perkotaaan.
Hanya saja Patrice mengakui ekosistem startup di Manado sulit berkembang dan belum sepenuhnya terbentuk. Masalah yang dihadapi adalah sulitnya menemukan mentor sehingga kemampuan sumber dayanya berkembang lambat. Dia juga merasa perlu agar semua pihak khususnya pemerintah daerah untuk duduk bersama mencari solusi agar ekosistem startup bisa berkembang.
“Yang saya lakukan saat ini adalah bercerita pada media, pemerintah, private sector, akademisi tentang apa itu startup, bagaimana kita bisa bantu agar startup di Manado itu berkembang. Sebab yang terjadi sekarang, misalnya, media hanya bercerita dengan media, pemerintah hanya bercerita dengan media, pemerintah mengganggap posisi startup itu lebih ‘rendah’ sehingga belum ada pembicaraan antara partner, bicara apa yang bisa kami bantu untuk menyelesaikan masalah yang dialami,” katanya.
Dalam konsep smart city, Patrice meyakini akan semakin mudah dijalankan bila masyarakatnya bisa berinovasi. Apalagi ketika dia menghelat program 1000 Startup Digital hingga Startup Weekend yang mempertemukan ratusan pemilik ide. Ternyata perwujudan ide-ide tersebut tidak hanya soal penuntasan masalah perkotaan, tapi juga implikasinya pada orientasi bisnis. Bagaimana menyelesaikan masalah dengan pendekatan bisnis supaya bisa menghidupi diri sendiri.
“Saya percaya solusi yang efektif adalah membuat startup. Karena lewat itu, kita bisa tuntaskan masalah yang ciri-cirinya pertama, sering kita temui setiap hari. Kedua, masalah yang ditemui oleh banyak orang. Ketiga, banyak yang ingin membayar agar masalah itu selesai.”
Ketika melihat ciri-ciri ini, semua pihak bisa mulai membangun ekosistem startup ini semakin kuat. Misalnya menurut dia mengadakan program yang mendukung terjadinya komunikasi antara pihak-pihak yang sebelumnya tidak saling bersentuhan kepentingan, tapi punya tujuan bersama untuk menyelesaikan.
Hingga sejauh ini, pegiat usaha rintisan belum memikirkan soal regulasi pemerintah. Patrice menyebutnya permainan yang belum punya aturan. Dia menginginkan pemerintah menempatkan anak-anak muda yang inovatif pada berbagai sektor penting sebab mereka menginginkan perubahan.
“Apalagi di tengah komunitas kami tidak ada kompetisi yang benar-benar kompetisi. Sebab menurut kami, misalnya industri sudah punya banyak standar berarti masalahnya tervalidasi,” ujar dia.
Pelaku startup di Manado memang tidak hanya pengembang berbasis digital saja. Maria Silangen dan Arvuela Dolonseding, 2 anak muda ini mengembangkan “Pijar” akornim dari Pengin Belajar, rintisan yang bergerak di bidang penyelenggara iven edukatif. Usaha mereka menarik perhatian pemerintah pusat untuk didanai.
Lewat Pijar, Maria dan Arvuela sering menggelar pelatihan fotografi, desain grafis dan pemasaran. Baru-baru mereka mendapatkan program pendanaan dari Kementerian Kominfo. Aplikasinya, kedua anak muda ini akan melakukan program edukasi di wilayah kepulauan Sangihe.
“Kami lagi meriset Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Sangihe, sebagai sasaran workshop sosial media dan e-commerce, jadi intinya menunjukkan masyarakat khususnya generasi muda di sana bahwa saat ini ada sektor lain yang bisa digunakan untuk menggerakan kesejahteraan,” kata Maria.
Daerah kepulauan dipilih karena program Kominfo menyasar penduduk di kawasan tertinggal, terluar dan terdepan. Bagi Maria dan Arvuela, ini tak sekadar proyek pengembangan usaha rintisan mereka, tapi juga membuka mindset anak-anak muda di kepulauan untuk menyasar wilayah pendapatan baru. Peluang ini juga kata mereka, demi mengangkat potensi daerah.(*)
Peliput: Ady Putong
Discussion about this post