Hengkengunaung (Bawata Nusa) adalah Panglima Perang Kerajaan Siau era kedatuan. Sebagai pemimpin armada tempur laut, ia mendapatkan gelar Laksamana dari Raja Winsulangi (1591-1631). Lewat sejumlah perang yang dimenangkannya, ia berhasil memperluas wilayah kerajaan Siau hingga masa Raja Batahi (1639-1678).
Di Kampung Kinali, di kawasan pantai Lipepahe, ada situs sejarah bernama Liang (gua) Ghoghole. Saat ditemui penulis pada 2017, Kapitalau Kampung Kinali, Charles S Dauhan, mengatakan, artefak sejarah itu merupakan tempat pertapaan manusia sakti bernama Ghoghole.
Dikatakannya, Ghoghole adalah Juru Spiritual kerajaan sekaligus guru para “Bahaning Nusa” atau para kastria kerajaan Siau. Para kastria sebelum berperang harus dimandikan olehnya. Ia hidup di era Winsulangi, raja ke 4 Kerajaan Siau.
Hengkengunaung adalah salah satu murid dari Ghoghole, kata Dauhan. Ia mendapatkan kesaktian dari gurunya itu. “Ini sebabnya Laksamana Hengkengunaung menjadi manusia pemberani dan sakti sepanjang hidupnya,” ungkap dia.
Sementara Max S. Kaghoo dalam bukunya “Jejak Leluhur, Warisan Budaya di Pulau Siau” (2016) mengungkapkan, pahlawan Hengkengunaung sejak kecil telah giat melatih dirinya dengan keahlian bergulat dan tangkas bermain pedang Bara pada usia belasan tahun.
Disebutkan, Hengkengunaung, mendapatkan latihan dari D’Arras, jogugu Ondong, salah satu tentara ahli dalam bidang perang laut dan kelautan. Ini sebabnya pada usia 20 tahun Hengkengunaung mulai berkiprah di lingkungan istana kerajaan Siau.
Dalam sejumlah sumber sejarah disebut, pada tahun 1612 Laksamana Hengkengunaung, ditunjuk Raja Don Geronimo Winsulangi, untuk melakukan pembangunan dan modernisasi besar-besaran Armada Angkatan Laut. Di era tersebut Kerajaan Siau pun bangkit menjadi salah satu kekuatan besar di kawasan Timur Nusantara, terutama dalam pengamanan territorial laut kawasan pulau Sulawesi hingga Mindanao Selatan.
Dalam catatan sejarawan H.B. Elias dikatakan, Hengkengunaung berasal dari keturunan Kulano Ratumbahe, dari Kerajaan Kalongan. Neneknya bernama Giade, anak dari Ganda Putung. Namun dari hasil penelusuran dan penelitian Tim penulis Jejak Leluhur Siau pada tahun 2015-2016 ditemukan data baru tentang silsilah panglima perang kerajaan Siau Ini.
Data tersebut sebagaimana ungkap Max S. Kaghoo, Hengkengunaung berasal dari garis keturunan Lokongbanua II lewat putrinya Basilawewe yang menikah dengan Mahadiaponto dari Talaud. Mahadiaponto memperanakan Masia Mantiro dan Masia Dulukang. Masia Dulukang dengan istrinya Bitunihanga memperanakan Gandaputung. Gandaputung menikah dengan Simbulae memperanakan Lalelung, ayah Hengkengunaung.
Para sejarawan memperkirakan Hengkengunaung lahir pada tahun 1590 atau di tengah masa pemerintahan Raja Winsulangi dan meninggal pada tahun 1668 di era Raja Batahi.
Sumber cerita rakyat menyebutkan, Hengkengunaung menikah dengan gadis pemain alat musik music Olri dari Mahangetang, Sangihe. Namun hingga kini sulit mendapatkan referensi menyangkut nama dari istri Hengkengunaung.
Sementara Kaghoo dan H.B. Elias menyatakan, dibantu kesaktian music magis Olri dari istrinya itu, Hengkengunaung berhasil mengalahkan Onding yang meneror kehidupan penduduk pulau Makalehi.
Kiprah Semasa Hidupnya
Meraih kemenangan bersama kerajaan Gowa dalam perang laut melawan armada tempur Arung Palakka dari Kerajaan Bone pada 1660, baru secuil catatan dari kisah kekuatan militer Kerajaan Siau yang dipimpin Hengkengunaung.
Sebelum tahun 1612, catat H.B. Elias, Hengkengunaung mengawali tindakan patriotiknya yaitu berhasil mendamaikan pertikaian antara Mahonis (Jogugu Ulu) dengan D’Arras (Jogugu Ondong), sehingga Datu Winsulangi mengangkat Hengkengunaung menjadi Kontraktor Proyek Pembangunan Armada Angkatan Laut kerajaan Siau. Ia juga dikenal sebagai pencipta jubah perang dari Benang Sakede (Melinjo) yang tak bisa ditembusi parang dan tombak.
Di Sangihe, Hengkengunaung berhasil memberantas tindakan teror Makaampo dan mengamankan Tampunganglawo (Sangihe). Disebut juga, ia pernah beradu kesaktian dengan seorang pahlawan Dagho, Ansuang Killa. Pertempuran keduanya berimbang dan berakhir dengan genjatan senjata karena tidak ada pihak yang kalah.
Kerajaan Siau, menurut sejumlah literatur, salah satu kerajaan di Nusantara yang pernah eksis selama lebih 4 abad. Didirikan raja pertama Lokongbanua pada tahun 1510 hingga masa akhir Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, tahun 1956, atau 11 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Imperium kecil ini, ungkap situs Arkeologi dan Riset Sejarah, awalnya hanya terdiri dari pulau Siau, kemudian, berkembang mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, pulau Kabaruan (Talaud), pulau Tagulandang, pulau-pulau di teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (kini Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara), sampai ke Leok Buol.
Perluasan wilayah Kerajaan Siau tersebut terjadi, terutama, di masa pemerintahan Raja Don Geronimo Winsulangi (1591-1639) hingga Raja Don Fransiscus Xavirius Batahi (1639-1678), yang ditopang penuh kekuatan armada angkatan laut yang besar dipimpin Laksamana Hengkengunaung.
Di masa itu, catat Kaghoo, Angkatan Darat kerajaan Siau dibagi menjadi 3 pasukan yaitu, Pasukan Kompania, Upase, dan Labadiri. Sementara Angkatan Laut dibagi menjadi 3 pasukan menurut jenis armada tempur yakni, Pasuka Bininta, Konteng dan pasukan Kora-kora.
Sementara sebelumnya, pada tahun 1592, penguasa Spanyol, Gubernur Jenderal Perez Dasmarinas di Philipina , sebagaimana catatan misionaris Brillman, mengabulkan sejumlah bantuan militer dan persenjataan, terutama bantuan armada kapal perang yang diperlengkapi persenjataan modern kepada kerajaan Siau, kendati tak seluruh kesepakatan bantuan itu terealisasi karen Dasmarinas, terbunuh oleh awak kapalnya sendiri.
Pitres Sombowadile dalam sebuah artikelnya menyebutkan, kerajaan Siau dalam berbagai catatan Belanda dan sejarawan lokal di Manado, H.M. Taulu, disebut-sebut pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao .
Pasca-pembangunan dan modernisasi Armada Angkatan Laut Kerajaan Siau yang dilakukan pada tahun 1612, catat H.B. Elias, pada tahun 1640, sebuah konvoi besar-besaran bajak laut Mindanao menyerbu daratan Minahasa yang berujung pada pertempuran “Kasuang”. Dalam pertempuran “Kasuang”, pasukan Minahasa mendapat bala bantuan dari Angkatan Perang Kerajaan Siau yang langsung dipimpin Panglima Hengkengunaung.
Dengan mengerahkan pasukan angkatan laut kerajaan, Laksamana Hengkengunaung, memburu kapal-kapal para perompak hingga ke teluk Kora-kora, Minahasa. Di pantai Kora-kora, pasukan Hengkengunaung menumpas habis para pengawal kapal pasukan bajak laut Mindanao.
Sementara di Kasuang, pasukan Tomohon dan Tondano, Minahasa, tengah menghadapi pertempuran dengan para perompak yang sudah tiba di sana. Pertempuran “Kasuang” ini disebut Elias, berlangsung sengit karena pasukan perompak memiliki persenjataan tempur yang kuat. Kehadiran bala bantuan Angkatan Perang Kerajaan Siau di tempat itu, akhirnya membuat pasukan Minahasa dengan cepat memenangkan pertempuran.
Ekspedisi ke Selatan armada Angkatan Laut Kerajaan Siau, sebut Elias, berhasil menaklukan Raja Makaaloh di Talawaan pada tahun 1642 dan Angkoka. Kemudian Raja Singkil ditundukkan pada tahun 1643
Armada Angkatan Perang Kora-Kora dan Bininta kerajaan Siau dibawah Panglima Perang Hengkengunanung tiba di Leok Buol pada tahun 1645, berhasil menghalau Angkatan Laut Kerajaan Gowa yang hendak menaklukan kawasan Utara Pulau Sulawesi (Sulawesi Utara). Setelah perang di laut Buol itu, dua bulan kemudian, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Siau mencapai kesepakatan menjalin kerjasama menghadapi Arung Palakka dari Kerajaan Bone.
Di akhir 1660, ketika Arung Palakka melancarkan serangan terhadap Gowa, ia mengalami kesulitan, kerena kekuatan militer Gowa menjadi sangat kuat dengan bantuan armada tempur kerajaan Siau di bawah Laksamana Hengkengunaung. Dalam pertempuran itu Gowa meraih kemenangan, sementara Arung Palakka terpaksa mundur, kemudian bersama para pengikutnya berlayar jauh melarikan diri ke Batavia pada tahun 1663.
Pada tahun 1666, armada tempur kerajaan Siau catat Elias, kembali ke pangkalan Angkatan Laut di Kedatuan Siau karena mendapat kabar bahwa penghuni Benteng Kastila (Tentara Portugis) sedang melakukan tindakan teror pada penduduk Siau. Ancaman Dalam Negeri ini lantas diberangus oleh Laskar Hengkengunaung sampai penduduk kembali hidup merdeka.
Dalam usia 78 tahun, Hengkengunaung meninggal dunia (1668) dan dimakamkan di Timeno, Kiawang, Siau. Ia meninggalkan warisan budaya berupa sebuah Bara (Pedang), Kamanga (Batu gosok) dan Bawera (Syiar-syair doa atau petuah).
Chalpin Banduge (69) salah seorang keturunan dari Hengkengunaung, yang juga pemelihara makam leluhurnya itu, dalam sebuah percakapan dengan penulis di Tuminting, Manado, belum lama, mengatakan, warisan terpenting yang ditinggalkan oleh Hengkengunaung bagi generasi penerus adalah semangat bahari dan perasaan cinta tanah air, serta karakter manusia kepulauan yang sejati. (***)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post