Leonardo Axsel Galatang, Lahir di Bitung, 27 Maret 1963. Pendidikan terakhir Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Merdeka Manado.
Bekerja sebagai wartawan di Harian Manado Post hingga pensiun. Mulai menulis puisi sejak di bangku SMP. Saat di bangku SMA Negeri Bitung (1980-1983), puisi-puisinya, menghiasi Majalah Dinding sekolah, dan berbagai media cetak.
Selain aktif menulis puisi, Axsel–begitu sapaannya—juga menulis naskah drama, Cerpen dan Esei. Ratusan puisi dan seratusan naskah drama telah ditulisnya.
Tahun 1983 Axsel mendirikan Teater Repsas. Namun grup teater yang didirikannya ini hanya berumur setahun. Setelah menggelar dua kali pementasan musikalisasi puisi, Axsel ditangkap aparat Orde Baru dengan dalih pementasannya tak berizin dan puisinya dianggap ‘menghasut’ dan ‘merongrong’ penguasa. Lepas dari tahanan aparat, Axsel mengganti nama sanggar teaternya menjadi Sanggar Tangkasi sampai sekarang.
Bersama Tangkasi Axsel produktif menggelar pembacaan Puisi dan pementasan Teater. Tahun 1986 Axsel lagi-lagi ditangkap karena menggelar pementasan tanpa izin di Balai Pertemuan Umum Bitung. Kali ini ia bukan sekadar diinterogasi, tetapi ‘’dibina’’ hingga babak belur. Bahkan dalam kondisi sekarat ia dibuang ke bak penampungan air hujan dan disuruh ‘menghabiskan satu balok sabun cap tangan. Ayahnya dan ibunya dijemput paksa dan diinterogasi selama dua hari. Ratusan puisi dan teks drama karyanya disita dan dibakar. Beruntung, ada seorang tokoh pendidikan: Jacob Hendrik Bororing, yang berani pasang badan sehingga Axsel dan orang tuanya dilepaskan dari tahanan.
Akibat ‘’pembinaan’’ ala aparat tersebut, Axsel mengalami cacat permanen; betis kanannya harus disambung dengan platina dan dia menjadi gagap karena sarafnya terganggu.
Kapok? Tidak. Karena, sejak peristiwa tragis itu, semangatnya makin membara. Apalagi, ketika rezim Orde Baru “tumbang’’, Axsel dan Tangkasinya makin produktif menggelar pementasan drama dan pembacaan puisi. Bahkan, sejak 2001, Tangkasi telah melebarkan ‘sayap’’nya dengan mendirikan sanggar binaan di seluruh SMP dan SMA/SMK di kota Bitung. Tiap tahun, sanggar binaan itu ‘diadu’ lewat panggung Festival Kesenian Tangkasi. Sanggar Tangkasi kini memiliki ribuan anggota. Axsel sendiri dibaptis anak- anak binaanya jadi Presiden Tangkasi Kota Bitung.
Sejak 1989, Axsel berteriak menuntut pemerintah kotanya membangun gedung kesenian. Pemerintah akhirnya mendengar teriakan pengagum Gabriel Garcia Marquez dan Nelson Mandela ini. Kini, gedung kesenian berbanderol 23 miliar berdiri anggun di Bitung. Masyarakat, pemerintah dan DPRD Kota Bitung berniat ‘’mematenkan’’ nama Leonardo Axsel Galatang sebagai nama resmi Gedung Kesenian itu. Tapi, dia tegas menolaknya. ‘’Saya bukan pahlawan. Saya hanya budak kesenian yang menjalankan tugas sebagai murid abdi kehidupan.’’
Karya-karyanya yang telah diterbitkan: Riak Utara, Antologi Puisi 1987 diterbitkan Pusat Pengabdian Pada Masyarakat IKIP Negeri Manado. Enam Penyair Sasambo, Antologi Puisi 1991 diterbitkan Forum Komunikasi Seni Budaya Sangihe Talaud. Nyanyian Dari Tingkungan, Kumpulan Drama 2007 diterbitkanSanggar Tangkasi Bitung. Dendang Bocah Gelombang, Kumpulan Drama 2013 diterbitkan Yayasan Istitut Seni Budaya Sulawesi Utara. Selendang Sutra Jingga, Kumpulan Drama 2017 diterbitkanYayasan Serat Manado dan Balai pelestarian Nilai Budaya Manado. Album Musikalisasi Puisi: Lagu Patriotisme 2016, Tangkasi Project. Album Musikalisasi Puisi: Episode Cinta 2017, Tangkasi Project.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post