Hal-hal terbaik dan terindah dalam kehidupan
tidak bisa dilihat atau diraba,
tetapi harus dirasakan dengan hati
—Helen Keller—
Sri Wahyumi Maria Manalip baru berusia 25 tahun saat Kabupaten Kepulauan Talaud dimekarkan dari kabupaten induk Sangihe Talaud pada 2 Juli 2002. Dan, 12 tahun kemudian, ia perempuan pertama yang terpilih sebagai Bupati di kabupaten daerah perbatasan ini. Namun, Sri Wahyumi bukan orang baru di panggung politik. Sebelum kontestasinya di arena Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah 2014), sudah 10 tahun ia menduduki kursi parlemen selaku anggota legistalif kabupaten Talaud.
Dan sejarah bagi generasi seperti Sri Wahyumi, adalah peristiwa atau kejadian yang pernah terjadi pada masa lampau, dicatat maupun tidak. Saat menjadi Bupati, Sri Wahyumi punya semangat yang gigih menjawab impian dari masa lalu. Ada rona semangat mendebak hati, ia guyub membangun daerah yang disebutnya sebagai kampung halamannya sendiri. Pemerataan pembangunan memang terasa tak pernah sampai ke kawasan ini.
Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Kabupaten Talaud tidak datang dari kebijakan pemerintah pusat. Lebih dari 1 abad, orang-orang Talaud memperjuangkan itu, sejak masa kerajaan-kerajaan nusantara, hingga era pasca proklamasi Pengangsaan Timur 17 Agustus 1945. Baru pada 2 Juli 2002 perjuangan panjang itu berpucuk, membuahkan Talaud yang otonom, setelah melewati lika-liku benturan.
Di masa kakek buyut Sri Wahyumi –terutama dari garis darah ibu yang asli putri pulau-pulau perbatasan–, Talaud, boleh dikata surga yang hilang. Era kolonial, menjadikan kawasan ini sekadar titik hisapan. Di masa kemerdekaan menjadi batas yang cenderung dilupakan –yang disebut secara santun sebagai daerah tertinggal–, tertinggal dari model kebijakan pembangunan sentralistik yang mementingkan kawasan daratan dan perkotaan, di mana wilayah kepulauan menjadi anak tiri yang dilupakan.
Profesor Bellwood, peneliti dari Inggris berkebangsaan Swiss yang berdomisili di Australia dan juga dosen terbang dari Universitas Chambera, pada 1974 meneliti wilayah ini. Bellwood ingin mengungkap perjalanan panjang masyarakat yang mendiami gugus kepulauan tersebut. Tidak banyak ditemukan Bellwood, termasuk prasasti, tulisan-tulisan dan artefak.
Namun beruntung, ia masih bersua peninggalan keramik dari cina di kuburan-kuburan tua, di gua-gua. Di arsip pusat arkeologi Nasional, Bellwood menyatakan benda-benda berupa keramik, kapak batu dan barang-barang peninggalan lainnya yang ditemukannya itu diperkirakan berusia 6000 tahun SM.
Ekspedisi Ferdinand Magelhaens (1511-1521) pernah tiba di kepulauan ini juga, dengan seorang kepala armada perahu layar bernama Santos. Ketika itu pulau Karakelang masih bernama Maleon, Sinduane untuk Salibabu, Tamarongge untuk Kabaruan, Batunampato untuk kepulauan Nanusa dan Tinonda untuk Miangas. Sejak masa itu, perdagangan barter dan sistim monopoli perdagangan rempah-rempah oleh negara-negara Eropa telah membentuk koloni-koloni perdagangan, bertujuan memonopoli perdagangan rempah-rempah termasuk di wilayah gugusan kepulauan ini.
Selain Spanyol dan Belanda, bangsa Eropa yang pertama kali tiba di wilayah ini adalah Portugis. Portugis menjadikan wilayah kepulauan Talaud sebagai wilayahnya agar penguasaan perdagangan rempah-rempah tidak terganggu oleh pedagang dari China, Persia, dan Gujarat dari India, maka rempah-rempah seperti cengkeh, pala dan lainnya dipindahkan penanamannya dari Talaud ke Ternate. Portugis berniat memusnahkan tanaman rempah-rempah dari kepulauan ini. Keserakahan era kolonial itu juga meninggalkan luka yang dalam bagi Talaud hingga era Sri Wahyumi menjadi Bupati.
Tahun pertama menjabat Bupati, Talaud masih tergolong daerah terkebelakang. Talaud membutuhkan aliran investasi, dan percepatan pembangunan berbagai proyek fisik. Masalah eksesibilitas menjadi kendala yang paling memusingkan kepala. Masalah ini tak saja datang dari laut, menyangkut peliknya mengurus transportasi laut, di daratan ada ratusan sungai mengangah.
Dari hitungan Jimmy R. Tindi, seorang pemerhati masalah perbatasan dan juga politisi Partai Hanura, di Pulau Karakelang saja ada 124 sungai, belum terhitung sungai-sungai di pulau lainnya. Sebuah gambaran hambatan yang luar biasa bagi gerak denyut ekonomi Talaud.
Mayoritas penduduk setempat bergantung pada mata pencaharian petani tradisional. Kontribusi pertanian pada pembentukan PDRB atas dasar harga konstan baru mencapai 51,64 persen dengan nilai ekonomi Rp 176 milyar. Sebaran area pertanian pangan seperti padi sawah dan ladang hanya terdapat di kecamatan Tampanamma, Melonguane, dan Rainis. Selebihnya tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu dan ubi jalar.
Hasil perkebunan seperti pisang produksinya 1.271,3 ton terkonsentrasi di daerah Gemeh, Melonguane dan Kalongan. Hasil tanaman kelapa 11.675,6 ton terkonsentrasi di Kecamatan Beo, Nunasa. Cengkeh 113 ton terdapat di Kecamatan Beo dan Kalongan. Pala 1.618 ton di Kecamatan Kalongan. Kakao 532 ton di Kalongan dan Melonguane.
Sektor peternakan nyaris belum banyak bisa diharapkan. Ketika itu, jumlah populasi Sapi di Kepulauan Talaud hanya 2.126 ekor tersebar di Melonguane, Beo dan Tampanamma. Populasi Kambing dan Babi 2.678 ekor terdapat di Essang, Rainis dan Beo. Ayam Ras 13.750 ekor, Ayam Kampung 34.272 ekor dan Itik 1.835 ekor.
Ini sebabnya sejak awal Sri Wahyumi memimpin Talaud, ia langsung membuat terobosan di sektor Perikanan Kelautan sebagai alternatif harapan meraih peruntungan, dan juga industri pengolahan, menggaet investasi dan jasa keuangan.
Mengenjot pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, dan juga sector transportasi udara. Talaud pun berdenyut. Menjelang 5 tahun kepemimpinannya, capaian diberbagai sector berhasil menepis warna muram menjadi Talaud yang kelihatan sinarnya. Laju pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya bervariasi dari 4 sampai 5 persen. Dalam dua tahun kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi melonjak menjadi 5,29 persen.
Talaud dimekarkan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2002 dengan ibukota Melonguane, terletak di pulau Karakelang. Luas wilayah 1.288,94 km2, berpenduduk 91.067 jiwa. Diperkirakan telah dihuni manusia sejak ± 6.000 tahun SM, dan membentuk kultur manusia kepulauan, kental dengan nilai kebaharian; “Sinsiote Sampate-pate”, menginspirasikan simbol kebersamaan, keberanian dan harapan di hadapan kesulitan. Juga kecerdasan yang gemilang, ambisi positif yang tinggi, dan keberhasilan.
Beberapa sahabat terdekat menceritakan kesan mereka, keseharian Sri Wahyumi merupakan gambaran paling jelas dari akar, spirit, dan ruh ibu budaya yang membesarkannya itu. Semua seakan terrevitalisasi ke dalam dirinya. Laut seperti bagian inheren dalam detak nadi. Antara ombak dan Sri Wahyumi, kita sama-sama akan bertemu satu kosa kata; keberanian. “Ia nyaris tidak mengenal rasa takut di lain sisi, namun juga pribadi yang penuh kasih,” ungkap Olga Marentek, salah seorang sahabat sekaligus mitra kerja Sri Wahyumi.
Dari 20 pulau, yang terbesar Karakelang, disusul pulau Mangaran, Salibabu, Miangas, Marampit, Karatung, Kakorotan dan pulau – pulau tidak berpenghuni lainnya. Daratannya seluas 1.288,94 km2 dan lautan 25.772,22 km2. Seperti halnya pulau-pulau di bibir lautan Pasifik, kampung halaman Sri Wahyumi ini adalah zamrud khatulistiwa yang cantik.
Pantai-pantai bersih berpasir putih. Air laut jernih berpadu keindahan terumbu karang tempat ikan dan aneka biota laut berumah. Kendati cuaca lebih banyak ekstrim dari pada teduh, eskader Portugis dan Spayol memujinya ‘Paradiso’, surga selepas pantai kepala “K” daratan Sulawesi. Di sini pohon keluarga Sri Wahyumi tumbuh, dan sejak kecil akan menempa siapa pun menjadi para pemberani tanpa memilih dan memilah gender. Semuanya akan lahir dan tumbuh menjadi anak pulau.
Dalam sejarahnya, kepulauan Talaud terbentuk dari pergesaran lempeng Halmahera dan lempeng Sangihe. Kedua lempeng saling “bertabrakan” mengakibatkan lapisan permukaan bumi terangkat di atas permukaan laut. Proses pangangkatan ini menurut para ahli, terjadi sejak zaman pleistosen (1,6 juta-10.000) hingga zaman holocen ditambah dengan kolonisasi tumbuhan, binatang dan manusia serta interaksi diantaranya, terbentuklah Kepulauan Talaud.
Gunung-gunung karang yang keras dan tajam nyaris menutup sebagian besar daratan. Aksesibilitas dari satu kampung ke kampung lainnya selalu terasa sulit, akibat kebijakan pembangun di masa Orde Baru terkesan abai menengok ke timur, apalagi ke pulau-pulau terluar di perbatasan. Sri Wahyumi nekat mengendari motor trail dari kota kecil Beo, tempatnya tinggal, melewati puluhan kilometer untuk sampai di ibukota kabupaten Melonguane.
Ini bukan karen gaya ala generasi milenial. Di musim penghujan, jalanan menjadi sulit dilintasi kendaraan roda empat, maka motor trail adalah pilihan. Prinsipnya, tugasnya melayani rakyat tak boleh ada alasan.
Tahun 2016 polemik menarik menerpanya. Ini tentang Jeep Rubicon warna merah menyala. Segelintir kalangan politisi menilai Bupati Sri Wahyumi memboroskan uang daerah sekadar untuk membeli mobil dinas mewah. Sementara Jeep dengan spesifikasi 3000 CC berbandrol Rp1.3 miliar sebagaimana kajian DPRD Talaud, dinilai paling cocok untuk kondisi medan di Talaud. Bila dibandingkan dengan kondisi jalan di beberapa kabupaten di Provinsi Papua, mobil dengan spesifikasi yang nyaris sama justru dijadikan angkuntan umum.
“Pengadaan mobil dinas sudah diatur dalam Permendagri Nomor 7 tahun 2006. Harus dipahami dengan baik kondisi daerah kita, untuk wilayah Geme dan Tanpanamma jika menggunakan kendaraan Kijang akan susah dilewati dan beresiko mobil bisa rusak,” kata Bupati Sri Wahyumi mendinginkan suasana.
Juga saat sejumlah media massa mempublikasi pose-pose foto Sri Wahyumi yang terkesan selebritis, mereka lupa, mengemudikan perahu, kapal, speed boad, atau jet sky di perairan keras Talaud bukan pekerjaan mudah. Nyali, skill, pengetahuan alam laut, dari arus, arah dan kecenderungan ombak, dan terutama keberanian menjadi penentu.
Dan, Sri Wahyumi, sudah terbiasa dengan semua itu. Sejatinya ia murid dari alam kepulauan yang kini dipimpinya. Ia mengenali laut sejak kecil, berguru langsung pada kerasnya hidup di kepulauan yang memandang laut sebagai penghubung bukan pemisah. Berlayar melitasi gelombang bukan pilihan tapi keharusan yang tak bisa dielak.
Evert Ernest Mangindaan, Gubernur Provinsi Sulawesi Utara periode 1995-2000 punya metafora unik dan sarkastik; “manusia kardus”, untuk mengambar sikap dan perilaku manusia yang mudah sobek bahkan hancur sekadar diterpa rintik hujan. Sri Wahyumi tentu bukan titik bidik dari laras kritik itu. Sosok pemimpin yang dipanggil ‘Bunda” oleh orang-orang Talaud ini lebih tepat merujuk kepada Nietzsche.
Filsuf eksistensialis ini pernah berujar bahwa manusia bukanlah makhluk natural tapi kultural. Mengapa? Karena bagi Nietzsche, manusia bukanlah makhluk definitif, melainkan makluk yang belum terbentuk sehingga ia harus terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan dirinya sebagai “media” dan “simbol” tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah terpancar keluar hasrat “ekspresif” dan daya-daya “kognitif” manusia.
Di Talaud, untuk bisa sampai dari satu pulau ke pulau yang lain, kalau bukan melewati ombak, pasti arus mengurutkan barisan gelombang. Maka jangan heran bila Bupati Sri Wahyumi juga seorang penyelam, karena ia memang anak pulau, bukan gadis manja yang memuja kemewahan dan selera tinggi, kendati kedua orang tuanya terbilang sukses menjalankan bisnis keluarga di bidang perkebunan dan hasil bumi.
Sri Wahyumi datang dari keluarga yang boleh dikata tak berkekurangan, tapi sebuah pesta sederhana di Pendopo Rumah Dinas Bupati pada Senin, 8 Mei 2017, ketika ia merayakan usia ke 40 adalah gambaran, sejak kecil orang tuanya mengajarkan agar hidup sederhana. “Ulang tahunku sebelum-sebelumnya juga dirayakan sesederhana ini,” ujar Sri Wahyumi.
Anak pulau seperti Sri Wahyumi, akan selalu punya pandangan yang berbeda dengan anak-anak daratan besar apalagi kota. Mereka lebih bisa mensyukuri apa yang ada. Sebuah didikan alam yang menjadi kultur manusia bahari. Mereka lebih memilih berbagi, dari pada mementingkan diri sendiri. Inilah ajaran tradisi yang membesarkan Sri Wahyumi, di hadapan ombak tak ada kelasi atau jurumudi. (***)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post