Langkah jenius Cofo Indonesia menghidupkan kembali warisan tradisi Sangihe Talaud yang terlupakan yakni kain Koffo patut diapresiasi. Lewat situsnya Cofo.co.id lembaga ini punya frasa indah tentang Koffo: “Terinspirasi oleh keindahan magis tempat asalnya, surga yang belum terjamah di Sulawesi Utara, Pulau Sangihe, misi kami adalah membawa harta tersembunyi ini keluar untuk dinikmati dunia”.
Beberapa pekan lalu, kain-kain bernilai sejarah berusia ratusan tahun dipamerkan di Pameran Kain Daerah Sulawesi Utara, dilaksanakan UPTD Taman Budaya dan Museum Dinas Kebudayaan Daerah Propinsi Sulawesi Utara.
Dinas Kebudayan dan Pariwisata Sangihe, dalam pameran tersebut menampilkan Kain Koffo berusia 500 tahun, yang kini dikoleksi Museum Propinsi Sulawesi Utara.
“Kami juga memamerkan Koffo dari Kampung Lesa berusia 170 tahun,” kata Lukman Makapuas, Kepala Bidang Budaya yang tampak merasa puas dengan hasil pameran bernilai sejarah ini, Jumat, (21/12/2018).
Seunik apakah Koffo hingga menjadi topik menarik dalam sejarah kain di Indonesia?
Imanuel Mamudi dalam tulisannya berjudul “Sejarah dan Kebudayaan Kabupaten Sangihe” yang dilansir batunderang.blogspot.com menyimpulkan, lewat medium titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan gelap terang yang ditata dengan prinsip-prinsip tertentu, maka Koffo adalah karya seni dari zaman pra sejarah orang-orang Sangihe Talaud.
Sementara menurut Lembaga Cofo Indonesia, Koffo tidak hanya unik dalam sejarah keberadaannya, motif tenun Sangihe Talaud ini memiliki filosofi hidup. “Berdasarkan geometri, sosok kunci Kakunsi, yang dianggap sebagai kesenian paling primitif dari suku tertua di Indonesia”.
Motif Kakunsi dapat ditelusuri kembali ke motif rumah di Sangihe Talaud, yang mewakili rasa hormat, kehormatan, kemapanan, kesuksesan, dan jiwa pelindung rakyatnya, tulis situs itu.
Cofo Indonesia sendiri kini gencar mempromosikan kain koffo ke dunia internasional.
“Kami berharap untuk memeriahkan nilai-nilai yang luar biasa dan mendalam ini di setiap kain Koffo yang kami produksi sebagai upaya berbagi kekayaan dengan bagian dunia lainnya dalam sebanyak mungkin cara,” ungkap mereka.
Sejarah Koffo
Kain tenun koffo berbahan dasar salah satu spesies pisang yang tumbuh melimpah di pulau Sangihe selama berabad-abad yakni Hote.
Pisang Hote adalah tanaman penting dalam kehidupan suku Sangihe Talaud, digunakan sebagai bahan dasar untuk kain serta salah satu komponen untuk rumah tradisional di wilayah tersebut. Pada akhir 1800, pemerintah kolonial Belanda melarang dan memerintahkan menghancurkan perkebunan pisang Hote untuk digantikan oleh kopi dan kapas.
Kain Koffo dipresentasikan pada tahun 1927 oleh Kerajaan Tabukan di Istana Sultan Surakarta dan menerima sebuah Erediploma dari Belanda Kolonial. Pada tahun 1979, kain Koffo terakhir disajikan di Yogyakarta oleh Ibu Makatengkeng Rodingan, tulis Cofo Indonesia.
Tahun 2017 Koffo Textile telah secara resmi dinyatakan sebagai warisan non-materi yang akan diawetkan dan dilindungi, di antara 33 tekstil tradisional Indonesia oleh Kementerian Pendidikan & Kebudayaan Indonesia.
Menurut Imanuel Mamudi, sejak masa prasejarah, suku Sangihe sudah mengenal dan menggunakan ragam hias. Ragam hias tertua ditemukan pada gerabah atau perlengkapan dapur manusia purba yang oleh para ahli diperkirakan berumur 5000 tahun.
“Kerajinan yang berhubungan dengan tekstil di kepulauan Sangihe sudah diproduksi sejak lama, seperti pembuatan kain, tirai pembatas ruangan, alas meja, kain untuk alas tempat tidur dan pakaian,” tulis Mamudi.
Dikatakan, tenunan masuk ke wilayah Nusantara bersamaan dengan masuknya bangsa-bangsa yang sudah mengenal perunggu dan besi. Mereka memperkenalkan alat tenun sederhana yang diikatkan pada tubuh dengan nama Gedogan. Tenunan ini menggunakan susunan benang lungsi yang berkesinambungan.
Di Sangihe, benang tenun terbuat dari serat Abaca (musa textilis atau musa mindanesis ) sejenis pisang pisangan dalam bahasa Sangihe disebut koffo atau hote. Tanaman hote ini dikenal juga dengan nama Manila Hemp. (Cut Kamaril Wardhani,Ratna Panggabean,Tekstil,2005).
Motif-motif hiasan tenun di Indonesia mendapat pengaruh dari China, India dan Arab. Selain sebagai busana, kain digunakan dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia seperti upacara keagamaan dan mas kawin. (Ensiklopedi Indonesia)
Suku sangihe mengenal beberapa teknik pewarnaan kain menggunakan bahan alam sekitar. Warna merah, ungu, kecoklatan menggunakan kulit batang bakau (Mangrove) dan Seha atau mengkudu (Morinda citrifoia) Tanaman bakau dan mengkudu tersebar di seluruh desa di Pulau Sangihe besar. Warna merah dari kesumba.
Dari bukti kain yang ditemukan melalui efek warna yang tersisa dari kain–kain tua tidak ditemukan teknik pewarnaan menggunakan warna kuning. Warna-warna yang nampak pada kahiwu tua adalah merah, ungu, kecoklatan, coklat muda yaitu warna asli hote.
Aktifitas tenun Sangihe mengalami kemunduran, tulis Mamudi, mulai dari tahun 1889. Pada saat itu pohon–pohon pisang abaca dipotong atas perintah pemerintahan kolonial Belanda dan diganti dengan kapas, tebu dan tembakau.
Kerajinan tenun bertahan sampai tahun 1994 dengan dikirimnya seorang pengrajin asal kampung Lenganeng ke Jakarta. Meskipun demikian, sampai saat ini di setiap desa masih memiliki satu sampai tiga orang yang boleh menenun kain koffo. Alat-alat tenun masa lalu masih dimiliki oleh pengrajin di beberapa desa seperti Manumpitaeng, Lenganeng Batunderang.
Tahun 1898 ungkapnya, kerajaan Tabukan mengirim kain koffo di Manado atas pesanan para orang kaya. Tahun 1924 kerajaan Tabukan mengadakan pameran kain koffo di Pekalongan dan mendapatkan penghargaan Erediploma. Tahun 1926 Raja Tabukan berpameran di Manado mendapatkan penghargaan tembaga. Di tahun yang sama kain koffo di pamerkan di Jogyakarta.
Selain memproduksi kain tenun (kahiwu), suku Sangihe juga mampu membuat busana atau pakaian. Secara umum pakaian laki-laki disebut balí’, pakaian perempuan disebut laku tepu, kemeja disebut (baniang). Alat yang digunakan untuk menenun kain disebut Kahiwuang.
Lebih jauh papar Mamudi, Laku tepu diperkirakan berumur 120 tahun ditemukan di Manumpitaeng, Kauhis dan dibeberapa tempat lain di Sangihe.
Dalam kehidupan sehari hari suku Sangihe dimasa lalu, pakaian dapat menenunjukan perbedaan status sosial. Ada pakaian yang digunakan di kalangan istana dan para bangsawan dan ada juga yang digunakan oleh masyarakat biasa. Secara umum model pakaian bangsawan dan pakaian rakyat biasa tidak jauh berbeda.
Yang membedakan adalah teknik pewarnaan dan atribut atau asesoris yang digunakan. Sejak masuknya bangsa eropa di kepulauan Sangihe Talaud, pakaian dan asesoris mengalami perubahan model dan fungsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Situs Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara Sulutprov.go.id mengungkapkan kain tenun koffo telah dikenal dan dikembangkan sejak tahun 1519, dibuat atau dikerjakan putra-putri Raja di Sangihe Talaud.
Kekayaan budaya kain koffo ini dapat dilihat di museum Nasional Jakarta, museum Textile Jakarta, museum Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara bahkan di Museum Nasional Swiss.
Ragam Hias Tenun Koffo Sangihe Talaud dibentuk menurut contoh anyaman dan dengan menggunakan teknik tenun pewarna alami dari desa-desa setempat dan menghasilkan motif dekoratif berdasarkan bentuk serta simbol tradisional.
Cindy Wowor, SE. MM pendiri Cofo Indonesia ketika menghadiri seminar kain daerah koffo Sangihe Talaud yang dilaksanakan di Museum Textile Jakarta tahun 2016, terinspirasi dan terpanggil menghidupkan kembali nilai nilai budaya bangsa khususnya Sulawesi Utara yang sudah dapat dikatakan punah ini.
“Berdasarkan hasil seminar tersebut dan Survey lapangan di Kepulauan Sangihe Talaud saya langsung melakukan Audience dengan Gubernur Sulawesi Utara atas punahnya kain Koffo dan akhirnya saya mendapat lampu hijau untuk revitalisasi kain Koffo kembali,” kata Cindy Wowor.
“Ini sebabnya akhir April 2017, saya mendirikan Cofo Indonesia untuk pengembangan dan pelastarian kain tenun Koffo sebagai salah satu nilai budaya bangsa dari Provinsi Sulawesi Utara yang sempat punah, dengan menggunakan bahan kapas dan modern lainnya dengan mempertahankan ragam hias asli Koffo serta modifikasi baru yang dikembangkan sebagaimana aslinya pada masa lalu,” ungkap dia.
Disamping itu katanya, kedepan pihaknya akan melakukan pelatihan-pelatihan penenunan kepada masyarakat di Sangihe Talaud yang rencananya pada masing masing kecamatan ada kelompok tenun Koffo sehingga dapat mendukung tingkat produltivitas serta kualitas. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post