Pada 2019 fenomena ekonomi digital makin terasa. Menembus ruang dan waktu. Hambir semua sisi ekonomi mikro tersentuh ekonomi digital ini.
Konsumen pun sebagai pengguna akhir ekonomi digital, dengan berbagai turunannya, makin gandrung dibuatnya. Harus diakui, kehadiran dan eksistensi ekonomi digital makin membuat aktivitas konsumen makin mudah, murah, efisien dan ekonomis. Oleh karena itulah ekonomi digital telah memberikan kontribusi ekonomi makro secara signifikan. Diprediksi pada 2025 nanti, ekonomi digital akan berkontribusi pada PDB mencapai Rp 730 triliun. Menurut Google Temasek Economy SEA, Indonesia menjadi negara tercepat dan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara.
Fenomena ekonomi digital, yang pada titik tertentu merupakan wujud disruptif ekonomi; adalah sebuah fenomena yang tak bisa dihindari. Dan mempunyai lompatan positif untuk peradaban manusia secara keseluruhan, dan pada sisi mikro membuat aktivitas kehidupan manusia semakin mudah, murah, dan cepat.
Namun, ironisnya, pada konteks perlindungan konsumen, negara belum terlalu hadir. Negara tampak terbius dengan pertumbuhan ekonomi digital, tetapi terlena dengan aspek perlindungan konsumen, yang jelas-jelas merupakan entitas utama dalam ekonomi digital ini. Dalam aktivitas keseharian ekonomi digital berupa transaksi belanja online/e-commerse, transportasi online, dan finansial teknologi, berupa pinjaman online. Pada tataran ini masih terjadi berbagai paradoks, yakni;
Pertama, masih rendahnya literasi digital konsumen. Padahal, transaksi ekonomi digital mensyaratkan literasi yang tinggi pada konsumen. Yakni kemampuan konsumen yang handal terkait sisi teknologi digital, dan atau kemampuan membaca berbagai persyaratan teknis sebelum transaksi dilakukan. Juga prinsip kehatihatian konsumen terhadap data pribadi, mulai alamat email, alamat rumah, alamat kontak telepon, photo pribadi, dan video. Terhadap kehatihatian perlindungan data pribadi, konsumen juga masih rendah. Rendahnya literasi digital ini, akan berdampak terhadap berbagai persoalan yang endingnya merugikan konsumen. Dan hal ini terbukti, data Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, pengaduan yang terkait ekonomi digital menduduki rangking pertama, selama 3 (tiga) tahun terakhir, berkisar 16-20 persen dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI. Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerse, dan atau pinjaman online.
Kedua, masih lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Manakala nilai transaksi terus meningkat, tetapi pengawasan yang dilakukan pemerintah masih sangat lemah. Untuk pinjaman online, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) nampak masih gagap, baik dalam membuat regulasi, pengawasan dan atau sanksinya. Pelaku pinjaman online yang terdaftar di OJK hanya 72 saja, tetapi di lapangan yang beroperasi mencapai lebih dari 350-an, kenapa dibiarkan? Padahal mereka adalah ilegal, OJK bisa langsung bersinergi dengan Satgas Waspada Investasi dan Kementerian Kominfo, untuk langsung memblokir pinjaman online yang ilegal tapi masih bergentayangan. Demikian juga dalam hal belanja online, e-commerse. Transaksi antara konsumen dengan pedagang berjalan tanpa pengawasan oleh regulator. Padahal potensi pelanggaran hak konsumen sangat besar. Terbukti, menurut data 24 persen uang konsumen hilang dalam transaksi tersebut, alias terjebak aksi transaksi penipuan. Belum lagi pengaduan seperti barang yang diterima konsumen rusak, tidak sesuai, atau terlambat dalam pengiriman.
Ketiga, masih lemahnya regulasi. Aneh bin ajaib, jika sampai sekarang belanja online belum ditopang dengan regulasi yang memadai. Mulai belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi, sampai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, sampai sekarang masih tersimpan di laci Sekretariat Negara. Alias mangkrak! Padahal transaksi e-commerse saat Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional), angka pertumbuhannya melompat sampai dua digit! Jika Harbolnas 2012 angkanya hanya mencapai Rp 67,5 miliar; maka pada 2017 melambung menjadi Rp 4,7 triliun.
Hanya sektor transportasi online dan finansial teknologi (fintek) yang regulasinya lumayan bagus, walau dalam pengawasan masih kedodoran, alias memble. Terbukti pelanggaran hak konsumen taksi online, dan juga ojeg lain, masih sangat masif. Berdasar survei YLKI (Sept 2016), 45 persen konsumen transportasi online pernah dikecewakan. Bahkan kini terbukti, transportasi online tidak senyaman dan tidak seaman yang dibayangkan sebelumnya. Berbagai kriminalitas, termasuk pembunuhan, beberapa kali terjadi di angkutan online. Dan korban utamanya adalah konsumen. Di sisi yang lain, driver angkutan juga hanya menjadi korban eksploitasi para kapitalis yang bercokol di angkutan online.
Pelanggaran hak konsumen yang tak kalah sadisnya adalah sektor finansial teknologi, dengan Peer to Peer Landing, alias pinjaman online. Level keluhan pinjaman online bukan sekadar gangguan kenyaman saja, tapi sudah menembus ancaman keamanan dan keselamatan konsumen, dan berpotensi melanggar HAM konsumen.
Dengan beberapa konfigurasi persoalan tersebut, maka seharusnya ada upaya sistematis dan komprehensif untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen sebagai pengguna produk digital ekonomi. Pemerintah dan pelaku usaha punya tanggungjawab untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen, melalui edukasi masif. Tanpa ada peningkatan literasi digital masyarakat maka potensi masyarakat menjadi korban semakin besar. Baik karena ada penyalahgunaan data pribadi dan atau korban material lain yang dialami konsumen, seperti penipuan dan atau korban dari sisi pelayanan.
Berikutnya mendesak pemerintah untuk segera mensahkan RUU Perlindungan Data Pribadi dan RPP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Sungguh ironis manakala antusiasme masyarakat dalam transaksi belanja elektronik dan artinya begitu besar potensi ekonominya, tetapi tidak ada regulasi yang memayungi konsumen, khususnya untuk perlindungan konsumen. Hal ini mengakibatkan pelanggaran hak-hak konsumen kian besar dan lebar, salah satunya pelanggaran penyalahgunaan data pribadi. Regulasi yang ada, terutama UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tak mampu mengcover dan perlindungan dan permasalahan transaksi belanja elektronik. Oleh karena itu, keberadaan RUU Perlindungan Data Pribadi dan atau RPP dimaksud sangat mendesak untuk segera disahkan menjadi UU dan PP. Pemerintah jangan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konsumen saat melakukan transaksi, baik saat belanja elektronik, transportasi online, dan jasa-jasa lainnya.
Sekali lagi, digital ekonomi adalah suatu keniscayaan. Memberikan berbagai kemanfaatan baik bagi semua pihak. Namun perlindungan konsumen harus menjadi prioritas. Negara harus hadir dalam arti yang sesungguhnya, yakni membuat kebijakan dan regulasi untuk melindungi konsumen. Negara tidak boleh melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konsumen oleh produk ekonomi digital. (*)
Penulis : Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI yang menulis Catatan Perlindungan Konsumen 2018 (edisi 1) yang mengirim ke Barta1.com
Discussion about this post