Kecamatan Modoinding seluas 6.640 hektar, cuma 5 persen saja yang dijadikan pemukiman penduduk. Selebihnya merupakan lahan tanaman holtikultura. Kawasan itu mulai ditinggali sepenuhnya atas prakarsa pemerintah kolonial Belanda pada 1930. Mereka membawa sub etnis Kakas dari Minahasa induk untuk pindah ke daerah lembah di sisi Selatan.
Dulunya wilayah desa dibahagi dengan sebutan letter A untuk Wulurmaatus, letter B untuk Palelon, C untuk Makaaroyen, D untuk Pinasungkulan, E untuk Sinisir, F untuk Linelean dan letter G untuk Kakenturan.
Sekitar 4 ribu penduduk mayoritas adalah petani yang menanam berbagai jenis sayuran, terbanyak kentang dan kubis. Daerah itu kemudian menjadi sentra penghasil sayur yang bisa menutup kebutuhan 80 persen penduduk Sulut, termasuk provinsi lainnya di Indonesia Timur.
Di masa kini masyarakatnya telah beranjak dari segmen tradisional ke wujud industri holtikultura dalam upaya menjadikan sayur sebagai sumber rejeki terbesar.
Donny Walean pernah berjualan kentang hingga ke luar negeri. Lelaki tegap ini adalah salah satu industrialis sayuran dari Modoinding dan sekarang menjabat Hukum tua (kepala desa) Pinasungkulan. Lahan garapannya mampu menghasilkan berton-ton kentang sekali panen, beberapa tahun lalu sempat menembus pasar Filipina.
“Dari sana meminta kiriman kentang dalam waktu terpaut dekat, kami terkendala dengan masa tanam. Selain itu kentang yang diekspor juga harus berkualitas terbaik sehingga yang jadi resiko adalah waktu pengiriman lewat laut,” ujar Donny saat diwawancarai beberapa waktu lalu.
“Tapi sekarang saya lagi berusaha agar pasar itu terbuka lagi,” tambahnya.
Kentang Modoinding memang memikat. Ukurannya mirip bola tenis melebihi rata-rata ukuran pada umumnya. Umbi-umbian itu pula enak ketika diolah sebagai makanan jadi, misalnya lebih garing kalau digoreng. Komoditas ini bisa dijumpai mulai dari pasar tradisional hingga pasar swalayan di Kota Manado.
Kentang, sawi, bawang, tomat, wortel, kubis, buncis hingga labu yang mereka hasilkan juga sudah menyentuh Ternate, Ambon serta kota-kota di Papua dan Kalimantan bahkan ke Pulau Jawa. Banyak yang menjuluki Modoinding sebagai dapurnya Indonesia Timur.
Produksi holtikultura Modoinding telah mengangkat harkat kehidupan petaninya. “Empat tahun lalu kami sempat hitung pendapatan per kapita petani bisa capai 2,6 juta rupiah per bulan, kalau sekarang sudah lebih dari 3 juta,” sebut Donny.
Petani penggarap yang tidak memiliki lahan juga bisa sumringah. Tenaga mereka biasa dihargai Rp 100 ribu per 6 jam. Para buruh tani tersebut kebanyakan berdatangan dari desa-desa di Kabupaten Bolaang Mongondouw yang berbatasan dengan Modoinding. Mereka adalah penduduk di seberang Danau Moat.
Festival Kentang yang menjadi potensi agrowisata dinilai menguntungkan petani. Menurut Donny, efek samping iven itu sayuran Modoinding bisa lebih mendunia. Warga antusias menggelar Modoinding Expo karena ada dukungan penuh dari Eugenia Paruntu, Bupati Minahasa Selatan.
“Ibu bupati menargetkan tahun ini Minsel dikunjungi 4 ribu wisatawan dari Hongkong, Modoinding Expo menjadi kalender iven yang diutamakan sehingga kami yakin tahun ini akan menerima banyak tamu asing,” cetus dia.
Dalam indeks produksi kawasan ini bisa menghasilkan pendapatan fantastis senilai Rp 355,036 miliar dalam transaksi segala jenis sayuran per tahunnya. Tapi kemudian Agrowisata dianggap pemerintah kecamatan bisa menjadi stimulus lain untuk lebih mendorong laju perekenomian masyarakat.
“Kami sudah punya industri holtikultura dan sekarang lagi bergiat dengan agrowisata,” kata Sekretaris Kecamatan Modinding Johny Tombokan.
Selain pasar dalam negeri, pemerintah menargetkan sayuran bisa dikirim ke Sabah Malaysia, Brunei Darusallam dan Australia. Tapi lewat agrowisata, berganti wisatawan dari negara-negara itu yang datang ke Modoinding.(*)
Penulis: Ady Putong
Infografis: barta1
Discussion about this post