Manado, Barta1.com – Hari semakin sore, di bawah pepohonan yang rindang itu disinggahi oleh beberapa janis burung, disertai dengan suaranya, pertanda di situ ada penghidupan, begitulah suasana di halaman FMIPA Unsrat, Kamis (27/03/2025).
Penghidupan dan kemaslahatan itu juga berada di lingkungan pepohonan itu, di mana sekumpulan mahasiswa intelektual yang tergabung dalam Serikat Mahasiswa Unsrat (Semaun) bersama Aksi Kamisan Manado melakukan diskusi publik dengan tema “Potensi Kebangkitan Orde Baru Melalui Pengesahan RUU TNI.”

Diskusi Publik itu menghadirkan fasilitator, seperti Pascal Wilmar yang berbicara dari prosedural RUU TNI, sedangkan Taufik Poli berbicara UU TNI dari segi politik dan Ekonomi.
“Jika melihat UU TNI ini belum memiliki daya ikat yang kuat. UU ini masih dalam tahapan persetujuan. Pemerintah dan DPR sudah bersepakat, tinggal menunggu pengesahan dari Presiden. Ketika ada pengesahan, maka secara hukum itu mengikat.”
Dalam pembentukan perundang-undangan itu, kata Pascal, sebenarnya dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan dan persetujuan. Kemarin tanggal 20 Maret 2025, masih dalam tahapan persetujuan. Tinggal akan disahkan. Atau pun tidak disahkan, namum dalam waktu 30 hari sudah berlaku menurut UUD, Kemudian masuk ditahapan sosialisasi kepada masyarakat.
“Yang patut disorot itu, berkaitan soal partisipasi yang menjadi jantung dari pembentukan perundang – undangan ini. Kalau kita melihat realitas penyusunan UU TNI, prosesnya sangat tertutup,” ungkapnya.
Menurutnya, Pemerintah melobi-lobi DPR RI itu diakhir Februari 2025, kemudian dibentuk Pansus (Panitia Khusus) dan diawal Maret digenjot, dipertengahan Maret langsung dilakukan pembahasan dan diterobos oleh masyarakat sipil. Dua hari setelah, itu langsung persetujuan.
“Hal ini merupakan praktik legislasi dari era Jokowi sampai saat ini, sering dipertontonkan. Dan sudah dianggap kultur legislasi kita, di mana proses sangat cepat, ugal – ugalan. Bahkan sebagaimana kita tahu bersama, revisi UU TNI ini tidak masuk program legislasi nasional, jadi sebenarnya ini sudah melanggar tahap perencanaan. Tiba – tiba sudah ada di program legislasi,” terangnya.
Terus bagaimana dengan UU lain yang sekarang didesak oleh masyarakat, seperti UU Masyarakat Adat, perampasan Aset, PPRT. Yang sampai saat ini, belum dibahas. “Sebenarnya dari sisi kebutuhan masyarakat, UU TNI tidak menjadi urgensi.”
Menurut Taufik Poli, alasan UU TNI ini direvisi karena ekonomi. Sampai hari ini, muncul upaya militer dalam reproduksi ekonomi. Era orde baru, dibentuk sebuah Yayasan yang dikelola oleh militer, kemudian Yayasan itu menjadi tempat distribusi kekayaan daripada pengelolaan perusahaan yang dipimpin oleh militer.
Contoh Pertamina memiliki sejarah yang kelam dipimpin oleh Ibnu Sutowo, Jendral militer saat itu yang kemudian deviden dari BUMN Pertamina itu terjadi korupsi habis-habisan di era orde baru.
Setelah reformasi, pola itu masih dilakukan, tetapi dengan bentuk yang baru, seperti legitimasi militer untuk mengelola aspek strategis nasional yang dinamakan operasi militer selain perang dan dilegitimasi pada UU yang baru-baru ini disahkan.
“Selain perang, juga memiliki triangulasi atau segitiga kenapa ini bisa muncul ?, pertama legitimasi karena adanya komando teritorial yang merupakan kekuasaan, dia tidak bisa ditentang, ini merupakan bagian dari negara dalam negara,” jelas Taufik.
Akses produksi militer, lanjut Taufik, juga mensyaratkan adanya milisi sipil. Jadi, jangan heran kalau TNI bisa memakai Ormas untuk membenturkan dengan masyarakat yang lain, karena itu salah satu cara penggunaan kekuasaan yang tidak dilakukan secara langsung.
Berikutnya melegitimasi hal-hal yang sudah terjadi, seperti anggota aktif yang menjabat diposisi strategis, seperti Teddy dan pimpinan Bulog, serta masih banyak lagi.
“UU TNI ini secara tidak langsung mengancam supremasi sipil, apalagi di negara kita yang menjalankan sistem Demokrasi. Bicara demokrasi, itu berdialog, berdiskusi dan sebagainya. Ketika Militer masuk diruang itu, tidak ada kata dialog lagi, karena sistemnya siap perintah,” ucapnya.
Untuk itu, jika mau melakukan penolakan UU TNI harus lebih masif lagi, dan jangan hanya UU TNI saja disuarakan, ke depannya juga harus dengan program lainnya, yang dianggap mengancam, seperti Danantara dan sebagainya.
“Serta menyuarakan UU Masyarakat Adat, Perampasan Aset beserta PPRT pada aksi selanjutnya,” pungkasnya. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post