Catatan: Iverdixon Tinungki
Saya tertawan lebih dari 2 jam dalam La Casa De Bernarda Alba yang penuh tragika itu. Sebuah rumah matriarki tokoh Bernarda yang keseluruhan berisi 14 perempuan. Tak ada lelaki satu pun yang boleh muncul di sana dalam keadaan hidup. Bahkan lelaki imajinatif pun harus mati.
Begitu saya digiring ke dalam emosi peradaban Andalusia yang keras, ke dunia para gipsi yang hidup dalam rancak flamenco. Ke jantung perang saudara Spanyol yang membuat Frederico Garcia Lorca, sang pengarang drama ini pun terbunuh di hadapan moncong senjata kekuasaan.
Ia seakan-akan dibunuh oleh karena karya-karya dia yang penuh kritik terhadap penguasa otoriter Spanyol di masanya. Puisi dan karya drama-dramanya ditafsir sebagai jalan menuju kematian. Dan saya menyaksikan kekejian itu lewat bagian-bagian paling impresif dan detail dari pertunjukan teater Battosai, yang disutradarai Marcelino R. Silouw.
Ini pertama kali saya menonton pertunjukan drama karya dramawan Spanyol Frederico Garcia Lorca “La Casa De Bernarda Alba atau Rumah Bernarda Alba” di pentaskan di Manado, di Aula Dinas Pariwisata Sulawesi pada Sabtu,1 Maret 2025.
Pada masa kelas satu SMA, di tahun 1980, saya mulai akrab dengan puisi-puisi naratif magis Frederiko Garcia Lorca, yang penuh rima repetitif dengan mengafirmasi budaya ibu tempat kelahirannya di belahan negeri Andalusia dengan latar Khatolik. Saya pun membaca beberapa karya dramanya, antaranya Bodas de sangre (Perkawinan Darah), dan La Casa De Bernarda Alba (Rumah Bernarda Alba).
Itu sebabnya, menonton pertunjukan Rumah Bernarda Alba, membuat saya tertegun seakan tawanan yang pasrah menerima dengan lapang dada setiap kelindah keindahan yang mengalir lewat stuktur garapan (sisi ekstrinsik) yang relatif apik. Akting para actor yang rata-rata kuat dan hidup dengan gestik, mimik, naik turun emosi dalam intensitas yang terjaga. Tata panggung dengan konsep artifisial yang memungkinkan semua peristiwa keseharian dalam sebuah rumah nampak riil dan nyata.
Andai kata tata music lebih berani menampil nuansa Spanyol, maka harapan saya sebagai spectator sekaligus apresiator untuk melayang dalam imajinasi Andalusia barangkali kian terasa.
Bahwa saya tak perlu mengeritik bagian-bagian tertentu dari ketimpangan vocal dan intonasi para actor yang terkadang memekik hingga menimbulkan polusi suara yang membuat dialog tak terdengar jelas.
Saya permisif dengan itu mengingat usia beberapa actor yang masih belia, yang masih dalam fase belajar olah vocal. Namun untuk beberapa tokoh, antaranya Bernarda (Debora Beatrix Maengko), Maria Josefa (Meltin JPR Laserto), La Poncia (Eliana Gloria Halid), persoalan-persoalan elementer vocal itu tak terjadi. Bahkan mereka mampu menggiring dan menjaga kehidupan pertunjukan hingga berakhir baik.
Di situlah saya kian percaya bahwa teater tak pernah menua dan membosankan kendati ia datang dari 89 tahun sebelumnya, ketika karya itu usai ditulis dan dilarang dipentaskan di Spanyol. Pengarangnya ditembak mati pada 1936 atau dua bulan setelah La Casa De Bernarda Alba ditulis.
Sebagaimana karya-karyanya yang lain, La Casa De Bernarda Alba dipandang sebagai karya pertunjukan yang menghasut kendati ditulis dalam kelaziman teater klasik, di mana drama menjadi medium yang menyampaikan pesan-pesan kritis secara kreatif dan tidak langsung.
Pertunjukan ini sebetulnya hanya berkisah tentang seorang ibu di sebuah pedesaan Spanyol yang dengan ketat mengawasi kehidupan lima orang putrinya setelah kematian suaminya.
Dari sisi teks, Rumah Bernarda Alba adalah naskah bertema konflik psikologis. Bermula tokoh Bernarda, seorang ibu yang menjadi sosok penguasa dari kelima anaknya. Kelima anaknya juga terlibat konflik berebut harta peninggalan almarhum ayah mereka. Di situ perselisihan dimulai. Sebagaimana tradisi di Andalusia, Bernarda juga melarang anak‐anaknya keluar rumah selama delapan tahun berkaitan dengan perkabungan suaminya. Tekanan dan perselisihan kian menjadi-jadi di antara mereka semua.
Rentetan konflik lain muncul saat Bernarda akan menikahkan Angustias dengan Pepe El Romano (seorang lelaki imajinatif). Angustias (39) adalah anak satu‐satunya dari suami pertamanya, kelima saudara tirinya iri karena dia memiliki harta paling banyak dari peninggalan ayahnya. Sementara Pepe El Romano lelaki (25) tahun digambarkan datang dari golongan berada dibanding laki‐laki lain di desanya. Konflik kian tajam karena Adela diam ‐ diam memiliki hubungan gelap dengan Pepe, dan perbuatannya itu diketahui oleh Poncia, Martiro kakak Adela pun diam‐diam jatuh hati terhadap Pepe.
Akhir cerita Martirio mengungkapkan semua rahasia Adela selama ini. Adela yang sedang mengandung anak dari hasil hubungannya dengan Pepe memilih gantung diri untuk mengakhiri hidupnya.
Sederhananya, drama ini hanya berisi konflik dalam sebuah keluarga. Namun di mata penguasa, drama ini dipandang sebagai kritik tajam terhadap kekuasaan. Di titik itulah Garcia Lorka sang pengarang ditempatkan sebagai musuh negara.
Namun pada kesempatan pertama, saya harus menyebutkan Marcelino Silouw, sebagai salah seorang raksasa angkatan terbaru drama realis di Manado, setelah pendahulunya seperti dramawan Eric MF Dajoh.
Setidaknya 2 tahun belakangan, dramawan berusia muda ini berkali tampil menghadirkan pertunjukan drama realis yang sangat berhasil.
Pada Rumah Bernarda Alba, ia nampak cakap dan kaya imajinasi menghidupkan impresi Garcia Lorca dalam melabrak praktik kekuasaan semena-mena di Spanyol di eranya lewat tokoh Bernarda, seorang perempuan kaya golongan atas yang memasung kebebasan hidup dan cinta kelima putrinya dengan cara paling feodal. Ia berhasil menghadirkan gambaran karakter setiap tokoh dalam situasi yang beragam ditopang tata artistic yang begitu mendukung hingga pertunjukan menjadi hidup dan nyata.
Tak berhenti sampai di situ, Marcelino Silouw, juga cukup cerdik menghadirkan La Casa De Bernarda Alba sebagai representasi kondisi Spanyol era penghujung abad 19 dan permulaan abad 20 dalam pandangan dramawan Frederico Garcia Lorca, lalu diresepsikan ke dalam pengalaman hidup masa kini lewat idiom-idion universal seperti hak-hak kebebasan individu, represi seksual, penindasan dan arogansi kekuasaan yang selalu menjadi persoalan kemanusian paling sublime sepanjang zaman. (*)
Para Aktor:
BERNARDA: Debora Beatrix Maengko
MARIA JOSEFA (IBU BERNARDA): Meltin JPR Laserto
Anak-anak Bernarda:
ANGUSTIAS (Anak pertama dari suami pertama Bernarda): Chelsea Valencia Sumoked MAGDALENA (Anak Pertama dari Suami ke-2 Bernarda): Mellisa daniella rumimpunu
AMELIA (Anak ke-2 dari suami ke-2 Bernarda):Stephani Sherin Agnesia Makangiras
MARTIRIO (Anak ke-3 dari suami ke-2 Bernarda): Irene Ester Siripe
ADELA (Anak ke-4 dari suami ke-2 Bernarda): Esterbella Syalomitha Gloria Massie
Para Pelayan:
PELAYAN 1 (Anna): Anandita Makasenda
PELAYAN 2 (Retha): Karyn Margaretha Watak
LA PONCIA (Kepala Pelayan): Eliana Gloria Halid
PRUDENCIA: Kenzie Ezrela Maruanaja
WANITΑ 1 (Pelayat): Angellica Imelda Anastia Runtukahu
WANITΑ 2 (Pelayat): Kirsten Alicia Naomi sumolang
GADIS MUDA: Injilia Deli Sangi
Discussion about this post