Setiap Minggu pagi dan petang bunyi bedug dari Masjid Agung Al-falah Kyai Modjo, Kampung Jawa Tondano, selalu berseling dengan dentingan lonceng gereja dari desa-desa di seputaran Kota Tondano Kabupaten Minahasa. Lalu saat adzan mulai dilafazkan, begitu juga suara kidung pujian umat Kristiani terdengar mengawali prosesi ibadah.
Praktik bertoleransi paling indah dinampakkan masyarakat Sulawesi Utara ada di Kampung Jawa Tondano (Jaton) di Kecamatan Tondano Utara. Tou (orang) Minahasa penduduk asli Tondano bukan hanya tak pernah keberatan pada suara bedug dan adzan di pagi hari, tapi suara-suara itu patut disyukuri,
“karena jadi penanda saatnya segera bangun untuk mulai bekerja di sawah atau mapalus,” kata Prof Ishak Pulukadang, tokoh masyarakat Jaton dan guru besar di Universitas Sam Ratulangi Manado dalam perbincangan beberapa waktu lalu.
Penduduk awal Kampung Jawa Tondano masuk ke Minahasa pada abad ke-17. Satu tahun setelah Perang Jawa berakhir pada 1830, Kyai Mojo dan 62 pengikutnya dibuang ke Tondano oleh Belanda. Kyai Mojo diketahui adalah penasehat sprititual dan panglima pemimpin Perang Jawa, Pangeran Diponegoro.
Pemerintah kolonial mengirim prajurit perang itu ke Celebes Utara, sebab saat palagan itu bergulir tentara Belanda dibantu Pasukan Tulungan dari Minahasa telah menyudahi perlawanan Diponegoro.
Selama di Tondano, Kyai Modjo dan pengikutnya berkarib dengan penduduk lokal yang wilayahnya mereka diami. Meskipun para pendatang beragama Islam, namun kehadiran mereka diterima baik oleh masyarakat Tondano yang dalam beberapa catatan sejarah saat itu sebagian besar masih mempraktikan foso.
Beberapa saat setalah Kyai Mojo dan pengikutnya menempati pemukiman di Tondano, barulah Kekristenan masuk ke Tanah Minahasa dibawa para penginjil Eropa. Kabar tentang Kristus itu dibawa oleh tokoh zendeling Johan Fridriech Riedel ke Tondano, sehingga masyarakat yang semula memeluk agama lokal, dibabtis dan menjadi Kristen. Kyai Mojo sendiri sering mengunjungi JF Riedel dan berdiskusi, seperti diceritakan Minahasanis Nicolaas Graafland.
Meskipun berbeda keyakinan, namun dua kelompok berbeda budaya ini hidup rukun dan damai. Mereka bahkan saling membantu khususnya di bidang pertanian. “Kyai Modjo dan pengikutnya ini sangat mengerti dan paham membuat irigasi untuk mengairi sawah. Ilmu ini mereka bagikan kepada masyarakat Tondano, yang waktu itu banyak memeliki perswahan,” terang Pulukadang, juga Ketua Lembaga Adat Pakasaan Jaton.
Pada tahun 1831, 62 orang pengikut Kyai Modjo menikahi dengan wanita Tondano. Mereka mendapat izin dari Belanda maupun tetua adat masyarakat Tondano meskipun ada persyaratan maupun mahar yang harus diberikan. Hari itu merupakan cikal bakal berdirinya Kampung Jaton ini. Pernikahan dilaksanakan 7 hari 7 malam dalam budaya Jaton dan Minahasa. Mahar yang diberikan oleh Kyai Modjo berupa perhiasan emas.
Untuk menangkal gangguan Kamtibmas di tengah masyarakat yang sudah hidup rukun ratusan tahun berdampingan dengan masyarakat lokal, filosofi Sepatua Rita (Saudara Kita) selalu dikedepankan dan dituturkan pada anak-cucu.
Menurut Pulukadang Sepatua Rita maknanya sama dengan “Torang Samua Basudara” yang dicetuskan EE Mangindaan. Dari amatan dia persoalan Kamtibmas yang terjadi di tengah masyarakat Jaton sering dipicu oleh kenakalan remaja.
Biasanya, pemicunya adalah karena rebutan pacar. Pemicu Kamtibmas lainya adalah akibat mengkomsumsi minuman keras atau Miras. Namun kedua persoalan tersebut kata Pulukadang bisa langsung diselesaikan oleh masyarakat ataupun pemangku adat.
Filosofi Sepatua Rita adalah salah satu perekat untuk menangkal terjadinya peristiwa yang mengganggu Kamtibmas. Lewat kearifan lokal itu masyarakat Jaton saling menjaga dan tolong menolong dengan masyarakat sekitar, karena Kampung Jaton merupakan Pakasaan Jaton yang beribukan perempuan Minahasa.
“Saat ada masyarakat sekitar kampung yang berduka, kami juga turut serta membantu meringankan beban mereka. Kami duduk dalam bangsal duka meskipun yang memipin adalah seorang pendeta atau penatua. Kami duduk makan bersama masyarakat yang hadir dalam duka tersebut,” jelas Pulukadang.
Sebagai keturunan Wewene Minahasa, tonggak budaya Minahasa Maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), Masawang-sawangan (saling menolong), Maesa-esaan (bersatu, seia-sekata), Mangenang-genangan (saling mengingat), Malinga-lingaan (saling mendengar) dan Matombo-tomboloan (saling menopang) selalu diajarkan kepada generasi penerus untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Proses asimilasi budaya telah terjadi dalam kurun waktu ratusan tahun setelah Kyai Mojo dan pengikutnya masuk ke Tanah Minahasa.
Untuk memupuk dan menjaga kebersamaan dan kekeluargaan, masyarakat Jaton yang berada di Tondano maupun di luar Tondano dianjurkan membentuk paguyuban keluarga dan mengadakan arisan. Lewat paguyuban ini akan saling mempererat silaturahmi persatuan dan kekeluargaan.
Dalam masyarakat Jaton, penyelesaian masalah atau konflik upaya penyelesaiannya melalui jalan musyawarah. Dengan mengedepankan musyawarah, tidak akan timbul pertikaian. Di sini peran pemerintah dan masyarakat menjadi sentris. “Contohnya, konflik tanah Rombe’, yang saat ini sementara dimediasi pemerintah daerah dan jajaran kepolisian,” kata Pulukadang.
Tea’ Matuana (jangan buat keresahan di masyarakat) selalu didengungkan dan diingatkan baik dalam pertemuan arisan maupun dalam kegiatan keagamaan. Filosofi Tea’ Malewo-lewoan (jangan baku-baku salah, jangan baku-baku jahat, jangan berkelahi) selalu diajarkan kepada generasi muda, baik itu melalui orang tua mereka ataupun tua-tua adat. Hal ini dilakukan supaya mereka selalu menjaga dan berbuat baik kepada sesamanya.
“Sebagai ketua dewan adat, saya selalu mengatakan ini kepada masyarakat, supaya mereka selalu hidup rukun dan selalu menjaga Kamtibmas,” kata Pulukadang yang pernah duduk sebagai anggota MPR RI 1999-2004.
Jaton bukan satu-satunya diaspora dari Pulau Jawa yang menetap lama di Tanah Minahasa. Di Kota Tomohon, juga ada Kampung Jawa Tomohon. Penulis sejarah Adrianus Kojongian mencatat di blog pribadinya, penduduk Kampung Jawa Tomohon berasal dari Banten. Setidaknya ada 2 versi kehadiran orang Banten di Minahasa, di tengah-tengah sub etnis Tombulu, pertama dikaitkan dengan nama Tubagus Buang.
Sejumlah tokoh Kampung Jawa Tomohon di tahun 1980-an dan 1990-an meyakini Tubagus Buang dimaksud adalah Ratu Bagus Buang, seorang pemimpin pemberontakan di Banten tahun 1750-1752 yang berjuang bersama Kiai Tapa untuk mengenyahkan Kompeni Belanda di Kesultanan Banten.
Pemberontakan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, menurut penulis-penulis Banten, dipicu ulah Ratu Syarifah istri Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (1733-1750). Ia membuang putra mahkota, menyebar fitnah suaminya gila sehingga ditangkap, lalu dengan persetujuan VOC, mengangkat menantunya sebagai sultan baru.
Versi lainnya mengatakan, Tubagus Buang dimaksud adalah Tubagus lebih muda yang dibuang Belanda di periode 1850-an. Bangsawan Banten ini bernama asli Tubagus Mansur, tapi karena dibuang lebih dikenal dengan julukan Tubagus Buang.
Dalam catatan Adrianus Kojongian, Tubagus Mansur ini adalah cucu dari Tubagus Buang. Ia dibuang ke Kampung Jawa Tomohon bersama-sama Patih Tubagus Diningrat, Jaksa Tubagus Jayakarta, Demang Tubagus Suramarja, Kadi Abu Salam dan Mas Djibeng. Mereka terlibat dalam pemberontakan yang dikenal dengan nama Gudang Batu. Pada 1921, tokoh Sarikat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto pernah mengunjungi kampung ini. (*)
Penulis:
Ady Putong
Discussion about this post