Talaud, Barta1.com – 2 punggawa SR Law Firm, akan mengajukan memori banding pasca putusan majelis hakim PN Melonguane terhadap ML, kliennya yang juga salah satu tokoh di Kepulauan Talaud.
Sunarto Bataria, S.H bersama Rifky Dwi Putra Ambuliling, S.H., M.H yang merupakan punggawa SR Law Firm akan mengajukan memori banding pasca putusan majelis hakim PN Melonguane pada Rabu (22/11/2023) kemarin. Pasalnya, ML yang merupakan kliennya diputus bersalah dan divonis 6 bulan.
Sekalipun vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa, SR Law Firm menilai putusan tersebut bukan merupakan wujud dari sebuah keadilan dan kebenaran di mata hukum.
“Kami menyatakan sikap kami bahwa sebagai advokat yang profesional kami sangat menghormati putusan dari majelis. Tetapi kami tidak menerima, karena kami memiliki pandangan yang berbeda dengan majelis hakim yang sudah menimbang dan memutus perkara aquo,” tegas Bataria.
Ia mengatakan, pihaknya memiliki sikap yang sangat berbeda jauh dengan apa yang sudah diputus oleh majelis.
“Dalam persidangan, kami menyampaikan akan berpikir – pikir. Namun, setelah kami berdiskusi dengan klien, maka kami akan mengajukan banding,” ungkapnya.
Lanjutnya, setelah sidang selesai, kami langsung menuju PTSP PN Melonguane untuk meminta salinan putusan, namun salinan tersebut belum siap. Ini sangat penting bagi kami karena akan kami baca dan menjadi acuan dalam membuat memori banding.
Apa yang membuat kami keberatan dengan putusan majelis hakim? Kami merasa itu belum memiliki rasa keadilan dan kebenaran. Tidak hanya untuk kepentingan kebenaran klien kami, tetapi untuk membangun budaya hukum yang berkeadilan dan menegakan keadilan seobjektif mungkin sesuai dengan fakta – fakta yang terungkap dalam persidangan.
Nanti, hal – hal apa saja yang akan menjadi dalil kami, akan kami urai secara sistematis dan runut dengan memuat semua fakta – fakta dalam persidangan, dan juga kami siap dengan yurisprudensi dengan perkara sejenis yang pernah diputus oleh salah satu majelis hakim dan kami adalah advokatnya.
* Terjadi Jumping to Conclusion
Bataria mengungkapkan, pihaknya melihat dalam pertimbangan majelis hakim terjadi jumping to conclusions atau langsung mengambil kesimpulan dan memutuskan suatu hal tanpa di dukung dengan bukti yang mendukung.
“Logika berpikirnya tidak secara runut dan mengurai semua fakta – fakta yang ada tetapi disampaikan secara melompat – lompat, sehingga tidak ditimbang secara utuh, menyeluruh, sistematis dan objektif,” tuturnya.
Bahkan kata Bataria, kalau dalam persidangan ada fakta – fakta yang tidak dijadikan pertimbangan, buat apa ada pemeriksaan baik saksi maupun surat – surat.
“Soal putusan menang atau kalah, bagi semua advokat adalah hal biasa. Sikap kita, kita tidak sedang membebaskan seseorang tetapi kita membela keadilan dan kebenaran muncul di persidangan. Itu saja,” ujar Bataria.
Beberapa hal yang menjadi catatan untuk jumping to conclusions, ungkapnya, misalnya pada peristiwa mencium. Tuduhan mencium itu terjadi pada area not to enforce atau suatu area yang tidak bisa dijadikan kenyataan hukum dan kenyataan perkara.
Mengapa? Karena peristiwa itu terjadi hanya saksi korban dan terdakwa. Artinya apa? keterangan keduanya adalah subjektif.
Sehingga kami selalu minta dalam persidangan untuk menghadirkan uji DNA dan uji sidik jari untuk membuktikan kebenaran bahwa peristiwa itu benar – benar terjadi.
Logikanya jadi putus karena dalam pertimbangannya, majelis hakim menerangkan bahwa uji DNA dan uji sidik jari, merupakan satu hal yang baik dalam mengungkap sebuah kebenaran. Namun hal ini tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.
Pedahal dalam Perkapolri tentang penyelidikan dan penyidikan, ada pasal yang menyebutkan bahwa untuk membuktikan kebenaran, maka hal tersebut harus dilakukan.
Kenapa hal itu tidak pernah dihadirkan? Jawabannya simpel saja. Kalau dihadirkan, saya sangat yakin tidak akan terbukti kalau ada peristiwa mencium. Tapi sayangnya, majelis hakim sangat lemah menilai perkara ini.
* Majelis Hakim Melampaui Kewenangan
Dalam perkara ini, SR Law Firm menilai majelis hakim sudah melampaui kewenangan karena sudah bertindak sebagai ahli psikologi.
Mengapa? Karena peristiwa yang terjadi pada tanggal 31 itu, hakim tidak memiliki bukti pemeriksaan psikologi bahwa korban mengalami guncangan psikis. Tetapi hakim menyimpulkan bahwa pada peristiwa tersebut, korban mengalami guncangan psikis.
Yang bisa membuktikan bahwa ada guncangan psikis adalah ahli psikologi, bukan hakim. Tetapi hakim begitu berani menyatakan bahwa ada guncangan psikologi.
*Diduga Ada Rekayasa
Tak hanya itu, dalam perkara ini, SR Law Firm merasa ada sebuah rekayasa dan penyelundupan bukti karena agenda pemeriksaan yang sebelumnya sudah selesai dilakukan namun dibuka kembali.
Setelah perkara ini diputus, kami meyakini bahwa ada upaya dari majelis hakim untuk memaksakan seolah – olah surat yang kami bantah benar – benar ada.
Namun kejanggalan terjadi ketika saksi yang berasal dari UPTD Provinsi Sulawesi Utara yang menerangkan tentang surat yang kami bantah. Pasalnya, ahli yang dihadirkan dalam agenda ini mengatakan bahwa dirinya tidak tahu – menahu soal surat yang dimaksud.
Lanjutnya, kejanggalan berikut adalah soal keterangan yang disampaikan oleh saksi yang berasal dari UPTD tersebut bahwa lembar surat yang dimaksud dilubangi untuk dimasukan dalam folder, namun pada kenyataannya surat tersebut tidak dilubangi.
Senada dengan itu, Rifky Dwi Putra Ambuliling, S.H., M.H mengatakan, dalam persidangan ini, banyak sekali hal yang sangat riskan. Dalam pledoi yang kami bacakan, kami menguraikan banyak hal sesuai dengan fakta – fakta yang terungkap dalam persidangan. Pada kesempatan itu juga kami meminta, apabilah klien kami terbukti bersalah, harus dihukum seberat – beratnya dan sebaliknya.
“Kami merasa majelis hakim mengalami kebimbangan dalam memutus perkara ini. Karena klien kami dinyatakan terbukti bersalah namun hanya diputus 6 bulan,” tukasnya.
Peliput : Evan Taarae
Discussion about this post