Manado, Barta1.com – Perjuangan anak-anak memindahkan kerangka jenazah almarhumah Milia Maria Matulanda Ratulangie-Ichwan, istri dari almarhun Brigjen TNI L Ichwan A dari Jakarta ke Sulawesi Utara.
Jenazah tiba pukul 07.00 WITA di Bandara Sam Ratulangi Manado, Jumat (10/2/2023). Dan kemudian akan dibawa ke Desa Lopana, Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan.
Milia Maria Matulanda Ratulangie merupakan putri ke-3 pasangan almarhum Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie (pahlawan nasional Sam Ratulangi) bersama istirnya Maria Catharina Josephine ‘Tjen’ Tambajong.
Terlihat dalam menyambutan yakni Kerukunan Ratulangi Sulawesi Utara, Kodam 13 Merdeka dan Korem Santiago. “Saya pertama terharu karena bisa memenuhi permintaan ibu saya sebelum ia wafat. Yang membuat terharu lagi banyak dukungan dari berbagai pihak, khususnya TNI AD. Mulai dari Jakarta hingga tiba di Sulawesi Utara, semuanya berjalan dengan baik. Di sini sangat terasa kerukunannya, ketika disambut oleh kerukunan Ratulangi. Intinya, terasa hangat,” ungkap anak bungsu Milia Maria Matulanda Ratulangi, Triyudha Ratu Langie Ichwan kepada Barta1.com di Ruangan VIP Bandara Sam Ratulangi, Jumat (10/02/2023).
“Kami ada 6 bersaudara. Dan saya paling lengket sama ibu saya. Satu hal yang diingat dari ibu saya, yaitu dia tidak mau menyulitkan anak-anaknya. Pesan ibu ketika saya belum menikah, yaitu jangan sampai kakak saya menyulitkan ipar atau pasangannya, itu dia marah. Maksudnya, anak-anaknya jangan menganggu pasangan hidupnya untuk dirinya (Ibu Milia),” terang Ichwan sambil tersenyum.
Kata ibunya, lanjut Ichwan, biar dirinya yang mengunjungi tempat-tempat dimana anak-anaknya itu berada. “Jangan sampai kalian kesulitan karena saya. Ibu saya itu biar dia seorang wanita, dia tetap strength (kuat) karena kami dari keluarga tentara, jadi terbawa wibawanya. Tetapi ketika kami dimarahin bapak, kami lari ke ibu dan dibujuk-bujuk,” tuturnya sambil tersenyum dan menyebut ketika mereka minta duit itu ke Bapak.
“Perlu diketahui juga, bapak kami itu Islam, anak-anaknya juga Islam, ibu saya sendiri yang Protestan. Jadi selesai Lebaran, kita juga ikut Natalan. Intinya, masa kecil kami sangat bahagia,” sahutnya.
Ichwan menambahkan, bahwa ibunya itu memiliki penyakit asma, dan ketika kambuh asmanya, ibunya sering memanggil mami, mami dan mami terus menerus. Ia sering mendengar karena kamarnya bersebelahan dengan ibunya. “Sebelum ibu kami wafat, kami sering keluar kota menggunakan kapal Laut, seperti pulang Kampung Basamo karena bapak saya itu orang Minang,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Shirra Marina, satu-satunya perempuan dari 6 bersaudara itu, mengatakan, ibunya lahir di Pangalengan Jawa Barat. “Pada saat ibu saya sakit asma, Opa Sam Ratulangi itu membawanya ke Pengalengan karena di sana itu dingin, dan akhirnya dibawa lagi ke Jakarta. Jadi, ibu saya itu lahir dan dibesarkan lebih banyak di Jawa Barat,” ucapnya.
“Ketika ditanya kenapa memindahkan jazad almarhumah ke Lopana, Amurang Timur, karena Oma kami, ibu dari Mama Mili, adalah orang Lopana, yakni oma Maria Catharina Josephine ‘Tjen’ Tambajong. Beliau adalah istri dari Opa kami Sam Ratulangi. Setelah 3 tahun mama kami meninggal, sudah dipersiapkan liang lahatnya di Lopana. Dengan waktu 26 tahun baru kami bisa memindahkannya ke Lopana, tempat leluhur kami. Jadi daerah Lopana itu mendekatkan ibu kami dengan Oma Maria, atau leluhurnya sesuai dengan permintaannya semasa ia hidup,” cerita Marina lagi.
Dirinya bersyukur, bahwa ibunya bisa dipindahkan ke asal leluhurnya. Pada saat pemakaman di Jakarta sangat banyak pelayat dan keluarga yang datang, apalagi masyarakat Serui yang ada di Jakarta. Di Manado juga ternyata penyambutannya sangat baik dan banyak. “Seperti yang dikatakan oleh Ichwan tadi, bahwa ibu saya itu strength sekali. Terutama saya, satu-satunya perempuan dari 6 bersaudara. Jadi ibu saya pernah mengatakan bahwa orang Manado itu tidak ada abu-abu, maksudnya wanita. Baik dia wanita yang putih maupun hitam, itu saja, tetapi tidak ada yang abu-abu. Kebetulan kami dari putih nih, strength-nya, Strength banget. Itu memang dari oma kita Tjen Tambajong,” katanya.
Tetapi, dari segi kasih sayang, ibunya tidak pernah membedakan siapa-siapa, bahkan asisten rumah tangganya di sekolahkan semuanya. Menurutnya sekolah adalah hal wajib sebagai simbol Sitou Timou Tumotou. “Terkait peran yang dilakukan ibu kami, baru kami sadari ketika sudah berkeluarga. Sitou Timou Tumotou itu turun temurun bagi kami dan asisten rumah tangga hingga saat ini,” tambahnya.
“Dari sisi kekeluargaan, ibu saya tidak pernah membeda-bedakan anak maupun menantunya, semuanya di nilai sama. Saya bersyukur memiliki kaka perempuan yang baru, di situ kita belajar tentang mengayomi maupun merangkul dalam satu kekeluargaan, itu yang diajarkan oleh ibu kami,” imbuhnya.
Apa yang dikatakan Ichwan, bahwa keluarga sering keluar kota, itu benar. Selain ke Basamo, ada 4 perjalanan yang dilakukan dengan kurung waktu 3 bulan, dan itu sudah dipikirkan, malah sasaran yang terakhir membawa dia meninggal.
“Ceritanya ada sarasehan di Makassar, kebetulan opa kami saat itu, Gubernur Sulawesi. Jadi ada napak tilas dan ternyata di situ adalah hari besarnya ibu kami. Dimana kami anak-anaknya tidak ikut, tetapi kakak adiknya ikut. Saat itu juga, kami tidak menyadari bahwa itu hari besarnya dia. Ada beberapa menteri juga yang hadir, yang bersama-sama dengan 7 keluarga yang pernah dibuang ke Serui. Tetapi keputusannya dari Sorong ke Serui itu, adalah keputusan terakhir, dimana saat perjalanan ada ombak pasang dengan ketinggiannya sampai 10 meter, dan komunikasi saat itu sudah terputus. Tidak ada penanganan ketika ibu kami terkena asma,” tukasnya.
Di situasi yang bersamaan, Sarkum, anak dari pembantu almarhumah Milia Maria Matulanda Ratulangie, menyebut, bahwa ibu Milia itu tegas dan penyayang, baik kepada anak-anaknya maupun pembantunya. Dia menyekolahkan pembantunya hingga menjadi doktor. Ada yang sudah menjadi dokter.
“Jika saya sekolahnya sampai SMA saja, dan saat ini sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, tetapi saya bisa menyekolahkan 3 anak-anak saya sampai sarjana,” tandasnya sambil menyebut simbol Sitou Timou Tumotou akan terus dijalankan.
Ketua Harian Kerukunan Ratulangi Sulawesi Utara, Robert Ratulangi, kepada Barta1.com, mengungkapkan, kebahagiaannya ketika kerangka jenazah almarhumah Milia Maria Matulanda Ratulangie dipindahkan ke Sulawesi Utara. “Kehadiran kami di bawah komando Ketua Umum, Brigjen Pol Pitra Ratulangi yang terus melakukan koordinasi dengan kami di sini, baik berkaitan dengan penjemputan hingga mengantar ke lokasi pemakaman. Intinya, beliau adalah bagian dari Kebanggaan dari rukun Ratulangi Sulawesi Utara,” pungkasnya.
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post