Banjir Manado kini tak sakadar satire. Lebih dari itu, pada 27 Januari 2023, banjir telah memicu sarkasme warga: “Aer so sampe di toto!”
Baru sepekan, tepatnya 8 hari sejak Bendungan Kuwil Kawangkoan, Kabupaten Minahasa Utara, diresmikan Presiden Jokowi, Kota Manado kembali dilanggar banjir. Padahal, mega proyek beranggaran Rp1,9 triliun yang diresmikan pada Kamis, 19 Januari 2023 itu salah satu fungsinya adalah dalam rangkah mengatasi atau mengurangi masalah banjir di Manado.
Kendati tak separah tahun 2014, banjir dan longsor pada Jumat, 27 Januari 2023 itu menurut informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Manado dilaporkan terjadi di 40 titik yang tersebar di 25 kelurahan. Sementara longsor dan pohon tumbang tersebar di 9 kelurahan. Selain ribuan warga terdampak, puluhan rumah warga dan fasilitas publik rusak berat dan menelan korban jiwa.
Demikiran merefleksi banjir adalah merefleksi rengkah masalah pada umumnya pelaksanaan pembangunan kota saat ini yaitu kota seolah hanya dikembangkan sebagai subjek pembangunan, kota seolah-olah hanya sebagai wadah, tempat berkumpulnya banyak kegiatan tanpa menekankan pada artian tempat (place) yang sebenarnya, yaitu tempat yang memiliki jiwa yang perlu pengelolaan secara baik, manusiawi dan beridentitas.
Dan acapnya, yang sering disalahkan adalah fenomena alam ketika terjadi bencana. Saat banjir Rob mengantar pulang tumpukan sampah kota ke kawasan pesisir, terutama area reklamasi kawasan bisnis Megamas dan Manado Town Square (Mantos) beberapa waktu lalu, bukankah yang patut ditepuk adalah jidat kita sendiri yang mengembangkan atau membuat fisik kota menjadi tidak adaptif terhadap bencana alam.
Dari perspektif lingkungan, banjir selalu terkait dengan hilangnya hutan dan sungai-sungai kecil di sekitar Manado. Juga disebabkan rusaknya daerah resapan akibat pembangunan kota yang serampangan. Sejumlah sungai di Manado tak mampu lagi menahan debit air hujan.
Selain itu banjir bandang diperparah karena air laut sedang pasang. Di sisi lainnya, kebijakan sistem pembuangan sampah diperkotaan yang kurang memperhatikan kelayakan menyebabkan permasalahan baru yang berujung pada menumpuknya sampah-sampah perkotaan yang berimplikasi pada munculnya bencana.
Membahas banjir, kata Wakil Ketua DPRD Kota Manado, Adrey Laikun, itu bukan masalah baru di Kota Manado. Yang jadi persoalan adalah bagaimana keseriusan pemerintah kota dalam mengatasi masalah ini. Apakah pemerintah kota benar-benar serius mengatasi banjir lewat program pembuatan drainase yang saat ini mulai nampak dikerjakan di beberapa titik terparah banjir. Apakah pembuatan drainase sekadar menjadi satu-satunya upaya penyelesaian perkara banjir yang telah menahun dan sudah berdampak luar biasa bagi masyarakat, termasuk dampak kemiskinan?
Sebelum masuk pada perspektif bahasan terkait masalah tersebut, mari kita telusuri beberapa catatan memilukan dari bencana yang berkepanjangan itu. Pada tahun 1935 beberapa keluarga asal Sangihe Talaud mendiami sebidang tanah perkebunan kelapa seluas 3 hektare yaitu tanah fegendom verp. No 262A di tepi kali Tondano yang terletak di Manado bagian Utara.
Mereka bekerja di perkebunan tersebut dan menjadikannya tempat tinggal. Sebagaimana tradisi hidup orang-orang dari pulau Nusa Utara yang selalu diramaikan dengan tradisi menyanyi Masamper dan tari massal Empat Wayer pada setiap waktu tertentu, membuat pemukiman mereka itu menjadi tempat yang selalu ramai atau dalam bahasa Sangihe disebut “Keramene”. Dari sanalah dikemudian waktu, tempat pemukiman masyarakat tersebut dinamakan Karame atau suatu tempat yang selalu ada keramaian.
Sejak kampung Karame ini terbentuk, dalam buku Sejarah Jemaat GMIM Maranatha Karame yang ditulis Drs. Frits Bawole dkk, disebutkan pemukiman tersebut sering dilanggar banjir akibat meluapnya Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano.
Sementara akibat banjir pada tahun 1955 sebanyak 30 Kepala Keluarga (KK) pemukim Kampung Kelapa Tujuh Sindulang terpaksa dipindahkan ke kampung Mahakam.
Banjir terbesar terakhir yang melanda Kota Manado terjadi pada 15 Januari 2014. Banjir bandang kala itu menimpa empat wilayah di Sulawesi Utara, yaitu Kota Manado, Kota Tomohon, kabupaten Minahasa, dan kabupaten Minahasa Utara. Wilayah terparah terkena dampak banjir bandang waktu itu yaitu Kota Manado.
Banjir bandang 2014 ini menyebabkan puluhan ribu orang menjadi korban dan mengungsi, puluhan ribu rumah mengalami kerusakan parah. Ketinggian banjir di beberapa tempat melebihi atap rumah, mencapai sekitar 3-4 meter. Derasnya sapuan air yang datang dari lima sungai besar yang meluap secara bersamaan mengakibatkan tidak kurang dari 40 ribu warga terpaksa harus mengungsi.
Selain itu, banjir bandang menyebabkan kerusakan pada sarana dan prasarana di wilayah yang terkena bencana. Banjir bandang ini juga disusul terjadinya longsor yang mengakibatkan kerugian hingga Rp 1,8 Triliun. Data kerugian tersebut merupakan gabungan laporan kerusakan semua infrastruktur di Manado, mulai dari rumah warga, jalan, jembatan, drainase, tanggul sungai, talud sungai, gedung sekolah, puskesmas, rumah ibadah hingga pasar tradisional. Peristiwa tersebut menjadi sejarah kelam dan masih sangat membekas bagi warga Manado.
Demikian banjir menjadi sesuatu yang traumatis bagi masyarakat Manado yang mukim di area aliran dan genangan. Anakan sungai dari DAS Tondano yang membelah Kelurahan Kombos Barat, Kecamatan Singkil, sering membuat Magdalena Sandehang mengaku tak nyaman di musim hujan awal tahun. Siklus bencana terus berulang mengakibatkan sungai kecil itu meluap menggenangi pemukiman bahkan memporak-porandakan rumah penduduk.
“Bencana yang telah terjadi dari tahun-tahun sebelumnya sampai sekarang mengakibatkan kerusakan benda yang ada di dalam rumah, ada juga beberapa rumah yang hancur, bahkan sampai mengakibatkan penyakit bagi kita yang tinggal di sini, karena sampah yang tak kunjung habis, karena tidak tahu lagi mau ditaruh ke mana,” ujar perempuan 48 tahun di Kombos Barat Lingkungan III itu pada awal Februari 2021. Magdalena Sandehang sedih, tapi ke mana ia berharap pertolangan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya bersama warga setempat.
Banjir memang bukan hal baru dan karena peristiwa alam itu sering berulang hingga selain menyisakan pengalaman traumatis bagi warga, juga membuat mereka jatuh miskin. “Setiap kali hujan deras mengguyur tempat tinggal kami sedari saya kecil sampai sekarang sudah punya cucu, merasa ketakutan dan tidak cukup istirahat karena bersiaga, mengawasi air. Sementara tindakan pemerintah untuk melihat drainase yang di tempat ini, masih kurang baik.” ujar Merly Paduli, salah seorang warga lainnya.
Demikian dampak banjir kata Adrey Laikun, bukan hanya persoalan kerugian materi semata. Ada warga yang kehilangan pekerjaan, akses pendidikan juga terganggu hingga memicu kemiskinan.
“Menanggapi masalah ini, sebagai wakil rakyat saya meminta pemerintah kota Manado punya langkah konkret menangani bencana dengan perencanaan pembangunan yang terukur. Ini langkah untuk mengantisipasi volume banjir agar tidak semakin besar dan luas di tahun-tahun berikutnya. Selain itu, warga juga menunggu pemerintah mau menyediakan lahan relokasi pemukiman, serta upaya-upaya penangan kemiskinan yang merupakan bagian penting dari dampak banjir yang melanda Kota Manado selama ini,” ungkap Adrey.
Dikatakannya, dari zaman Belanda, Kota Manado punya riol bawah tanah di berbagai titik yang berfungsi mengendalikan banjir yang langsung mengarah ke laut. Terowongan-terowongan air itu kini tidak ada lagi karena sudah tertutup oleh reklamasi pesisir Manado.
“Reklamasi benar-benar telah menjadi akar persoalan yang beragam di Kota Manado, termasuk persoalan banjir. Itu sebabnya, ketika hujan agak deras, Kota Manado langsung tergenang. Di sini terlihat, pembangunan kota ini tidak memperhatikan masalah yang berulang-ulang terjadi ini,” ungkap Adrey.
Setidaknya ada 8 kecamatan di Kota Manado kata Adrey Laikun yang jadi langganan dampak bencana banjir dan tanah longsor. Puluhan korban jiwa jatuh sejak 2014 dan Januari 2021. Artinya sekitar 80 persen wilayah kota Manado saat ini berstatus gawat bila siklus musim hujan kembali berulang pada tahun-tahun berikut. Kedelapan kecamatan yaitu Malalayang, Wanea, Sario, Paal Dua, Tikala, Wenang, Tuminting dan Singkil selalu tak lepas dari persoalan bencana ini. Praktis hanya wilayah kepulauan di depan Teluk Manado yang aman.
Bisa ditelusuri bencana tak sekadar akibat tingginya intensitas curah hujan atau pengaruh alam. Pemicunya justru bisa dari pola hidup masyarakat dan kurangnya kesiapan pemerintah menangani berbagai masalah urban. Sampah salah satunya. Menurut Adrey, Drainase di Kota Manado terus menyempit akibat sampah dan endapan lumpur yang belum teratasi. Sementara program pelebaran drainase yang tengah dikerjakan saat ini juga belum mampu mengatasi masalah tersebut.
Mencermati masalah tersebut, pakar tata ruang, Rudolf EG Mait ST, MT pernah meminta semua pihak terkait harus terlibat dalam urusan mengatasi bencana. Sebagaimana dikutip Barta1.com, bicara soal bencana yang sering terjadi di Kota Manado seperti banjir, gelombang pasang dan tanah longsor, sebenarnya untuk pembenahan dan pencegahan itu harus melibatkan semua stakeholder termasuk Dinas Pekerjaan Umum, Perkim dan Dinas Perijinan, kata akademisi Politeknik Negeri Manado itu.
Yang terjadi saat ini pola pembangunan kota seperti tidak terencana matang. Buktinya yang diperhatikan Rudolf, jika ada proyek jalan baru selesai dibuat, digali lagi. Dan proyek tersebut dilakukan oleh dua instansi pemerintah yang terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Padahal menurutnya, menuntaskan satu hal berkaitan dengan tata kota harus sejalan, agar tidak ada lagi celah lintas sektoral di dalamnya. Pemerintah kota juga perlu membenahi tata guna lahan. Perluasan pemukiman memicu perubahan bentang alam. Jalur aliran sungai pun berubah. Padahal menurut Rudolf, sifat air akan kembali ke jalur yang dilalui sebelumnya. Ini mengapa banyak kawasan pemukiman padat penduduk yang terendam banjir.
Peran dinas penerbit izin juga penting dalam situasi ini. Menyangkut izin berdiri bangunan, tempat usaha atau pemukiman seharusnya mematuhi tata ruang sehingga tak melanggar ruang kawasan hijau yang telah ditetapkan dalam perencanaan pembangunan. Untuk kawasan rawan longsor juga ada tata ruangnya, kata dia. Berbagai kawasan rawan longsor di Kota Manado sudah diberi tanda merah, jika tidak ditertibkan maka yang bermukim di lokasi tersebut setiap hujan datang akan terancam.
“Mari kita lihat Kota Manado yang dahulunya, ada riol-riol atau saluran air dalam tanah langsung ke laut, dahulunya ada di Tikala dan Sario tapi saat ini sudah tidak terlihat lagi. Padahal itu sudah ada sejak zaman Belanda,” terang dia. Menyangkut kondisi dalam kota, hal lain yang perlu diperhatikan pemerintah adalah melakukan pemeliharaan pohon. Pohon yang sudah miring atau tidak layak lagi seharusnya ditebang saja dan digantikan dengan pepohonan yang baru.
“Pohon adalah salah satu media penyejuk Kota. Ada pohon yang batangnya sudah besar dan akarnya sudah menjalar kemana-mana, serta merusak jalan trotoar, akar tersebut salah satunya membuat saluran air tersumbat,” kata Rudolf. Untuk solusi jangka pendek yang perlu dilakukan, lanjut dia, adalah saluran-saluaran air sebaiknya dinormalisasi lagi. Yang tersumbat diperhatikan, yang dangkal digali lagi agar air bisa mengalir lagi.
Sedangkan solusi jangka menengah, kiranya pemerintah bisa memetakan kembali tata ruang kota Manado untuk melihat yang mana sudah dijadikan lahan pemukiman dan mana yang tidak. Kemudian harus ada perencanaan untuk merelokasi pemukim area rawan longsor dan banjir.
Pegiat sungai Denny Taroreh mengatakan, ada 8 daerah aliran sungai (DAS) yang melintasi Kota Manado; DAS Talawaan, Tondano, Tikala, Molas, Sario, Bailang, Bahu dan Malalayang. Menurutnya, aliran sungai yang paling terbersih hanya ada di area Batu Kota Bawah, sisanya kotor dan dipenuhi sampah.
“Dari pandangan saya, sungai dan anak sungai makin kemari, makin tidak ada perkembangannya. Penyempitan di bantaran sungai terjadi di area Sungai Mahawu dan Bailang, dua tahun belakangan ini terjadi bencana banjir di daerah tersebut karena ruang air makin kecil,” tutur Dentar, begitu nama lelaki itu kerap disapa. Ia mengatakan sangat prihatin dengan fakta-fakta yang terjadi di daerah aliran sungai yang kian hari kian terampas fungsinya.
Salah satu solusi yang dia tawarkan mencegah luasan banjir dalam kota adalah pembangunan kanal atau bloking di area reklamasi. Hal itu dimaksudkan agar ada aliran air yang ke laut.
Menyangkut ini dalam berbagai kesempatan para penggiat lingkungan berupaya menyampaikan usulan pembenahan dalam berbagai forum. Namun menurut Denny, belum ada tindak lanjutnya.
“Kami mau menyuarakan pendapat tapi ada batasnya, yang memegang kendali pemerintah dan dinas terkait. Untuk terakhir kalinya, saya menyampaikan sungai di Kota Manado tidak ada yang bersih, makin tidak diperhatikan dan reklamasi juga banyak berdampak bagi masyarakat,” tutur dia.
Menanggapi pendapat para ahli itu, kata Adrey Laikun, pemerintah harus segera bertindak mengantisipasi masalah tersebut. “Penanganan banjir harus dilakukan secara serius, karena memberi dampak yang sangat luas pada kehiidupan penduduk kota ini,” ungkapnya.
Akibat banjir kata dia, banyak orang jatuh miskin karena perabotan, alat elektronik bahkan kendaraan rusak. Mengelola sungai mengantisipasi banjir perlu program penanggulangan yang terintegrasi antara pemerintah kota, provinsi dan pusat. Tanpa itu, masalah ‘aer sampe di toto’ tak pernah akan kunjung selesai. (*)
Penulis dan editor: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post