Penulis:
Noufryadi Sururama
Apapun yang ter’eja melalui tulisan usang ini ialah salah satu bukti otentik yang menjelaskan kerumitan, susah payah dan deruh perjuangan. Tak ada sandiwara atau bahkan narasi fiktif. Semuanya saya kemas menjadi cerita pendek dan menyuguhkan sebanyak 29 video berdurasi 3 detik sampai 5 menit 42 detik yang akan didapati saat kamu memberanikan diri berselancar di platform media sosial instagram, a.n: @dii_Proudhon.
Sebab, saya berkeinginan menuntun kamu yang tiba-tiba berkenan menontonnya sampai tuntas dari postingan random yang disuguhkan melalui algoritma platform media sosial Instagram. Dan atau postingan ini sengaja kalian temukan lewat kolom pencarian yang telah saya tawarkan melalui penjelasan awal. Tapi yang pasti, postingan ini tanpa mengandung unsur komersial atau meraup keuntungan sepersen pun.
Ini bukanlah sekedar penjelajahan hutan, sebagaimana persis anggota KPA (Komunitas Pecinta Alam), Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) dan para pendaki, serta pejalan anarki seperti saya menyebut dan melakukannya. Ini bukan pula ajang menunjukan eksistensi teruntuk mengafirmasi gerakan dalam memasifkan perjuangan atau sekedar pamer untuk merawat kewarasan di tengah kemelut dan bau busuk napas para kaum intelek yang menjadi epigon, serta hobi berlindung di bawah ketek bahkan selangkangan penguasa.
Melainkan sebuah perjalanan demi menyambung nafas kehidupan biar tak tersengal yang disebut “pigi di kobong (pergi ke kebun)” dalam bahasa keseharian masyarakat lokal. Menemani sang Tante (saya memanggilnya dengan sebutan “Ci”) dan sepupu saya (Suban/si bungsu), mengais pundi-pundi rupiah dari hasil alam yang telah menjadi rutinitas mingguan, serta ditemani dua lelaki yang terlihat perkasa dan tangkas.
Mungkin hal itu diperjelas lewat umur keduanya yang masih belia atau bahkan keterbiasa’an mereka yang hidup di tengah goncangan dan terpa’an. Teman-temannya memanggil dengan nama Sandi (switer bercak warna kemerahan), sedangkan yang satunya seringkali dipreteli dengan sebutan Dalo (kaos berwarna hijau).
Entahlah, mungkin si Dalo memiliki cerita tersendiri yang kemudian namanya ‘dibaptis’. Saya pun sengaja tidak menanyakan lebih rinci perihal nama yang dipreteli tersebut, kemungkinan akan melukai perasaan atau mengundang berbagai reaksi dari si Dalo.
Representasi dari kewarasan manusia seringkali menawarkannya dalam berbagai bentuk retorika semata atau tindakan. Hingga dapat menuntunnya tuk menela’ah subjek serta objek yang di jumpai melalui pengelana’an. Kira-kira begitulah ketika saya menafsirkan nuansa yang terekam melalui segenggam handphone yang di kredit tiga tahun lalu ini.
Kita mulai saja. Awalnya saya sedikit keliru, mengemas perjalanan ini yang memakan waktu seharian dalam bentuk tulisan. Sebab saya bukanlah penulis tenar, yang manakala telah menerbitkan satu, dua atau lusinan buku. Saya bukan pengarang handal yang pandai merangkai suku kata menjadi kalimat penawar dan perangsang untuk melegitimasi syahwat pembaca.
Bahkan pula, saya bukan “penyair” kata sebagian kawan di bangku perkuliahan dan di ruang dimana seringkali saya kerap mereduksi logika. Saya hanya individu biasa, yang kurang-lebihnya mencintai sastra secara universal.
Meski telah banyak definisi yang telah menjelaskan esensi kesastra’an dari berbagai perspektif para tokoh ternama maupun terkenal dan melegenda sekaligus yang saya kagumi, misal; Fariduddin Attar, Jalaludin Rumi, Khalil Gibran, Dorothy Day, Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Pramodya Ananta Toer dan Wiji Thukul. Dalam sudut pandang luas saya, sastra merupakan bahasa semesta yang diracik sedemikian rupa guna menjelaskan eksistensi kehidupan di semesta melalui makhluk hidup maupun benda mati itu sendiri.
Cerita ini merupakan hasil dari sebuah perjalanan pada Minggu, 26 Juni 2022 pukul 08:00 WIT. Mentari sepertinya sepakat atas apa yang di bicarakan semalam. Dengan mengendarai dua sepeda motor, kami berlima bergegas melewati perempatan pertama di Desa Ake Kolano, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara.
Di pagi itu, jalanan terlihat masih tampak basah. Sisa air hujan kemarin siang nampak jelas menggenang di aspal jalan. Kira-kira, setelah 10 menit kami menggas sepeda motor, masuklah kami ke bibir hutan melewati satu perkampungan.
Kondisi jalan sangatlah berantakan, seberantakan hidup yang sedari dulu hingga kini saya lewati. Tak ada aspal, tak ada saluran air, yang ada hanya tumpukan sirtu atau meterial alami lalu di gilas oleh mesin penggilas modern. Keramahan para penduduk terbalut dari pancaran senyum yang mereka tawarkan secara gratis.
Membuat saya memungut dan menyimpannya di kepala, lalu dikunci. Sementara itu, kuncinya saya lempar ke langit. Tiba-tiba kawanan burung menyambar kunci itu dan membawanya entah ke mana. Bendungan bernama Embung Sofifi adalah nama dari ujung jalan ini yang memakan waktu kurang-lebih 30 menit. Setiba di tempat parkiran kendara’an, kami pun mengawalinya dengan menyusuri sungai.
“Berapa jauh akan tiba di perkebunan,” tanyaku kepada Ci sembari perlahan melangkah, sebab bebatuan kecil mendominasi jalanan.
“Kira-kira 9 Kilometer dan menyita 2 jam lebih waktu kalau sedikit cepat berjalan,” jawab Ci sewaktu memalingkan wajah ke arahku.
Sungai yang kami lalui bernama “Kali Oba”. Yang sebagian materialnya di keruk oleh masyarakat setempat, maupun pengelola lokal untuk dijadikan ladang rupiah. Sumber daya alam yang kaya, menjadikan tanah yang di diami beragam suku seperti; Suku Madole, Pagu, Ternate, Makian Barat, Kao, Tidore, Buli, Patani, Maba, Sawai, Weda, Gane, Makian Timur, Kayoa, Bacan, Sula, Ange, Siboyo, Kadai, Galela dan masih banyak suku lainnya sering di lirik pihak investor. Konon, seingat kata kawan saya yang berasal dari sini mengatakan, kongkalingkong dengan pemerintah tak terelakkan guna memuluskan kepentingan ini.
A. Slide Pertama sampai Keempat
Puluhan jejak yang mulai mengeras menyapa jari-jari kaki. Di antara jejak itu ku dengar mereka berdialog. Saling menggunjing soal keresahan bahkan kekhawatiran. Kakiku yang asing sempat dicurigai.
Merdunya suara alam, mulai; dari gemericik air, nyayian burung dan hembusan angin membuat dedaunan berdendang menari suka ria memainkan irama. Tak ada kemunafikan yang diperlambang di antara itu, bukan seperti di panggung politik, theater atau komedi yang sering kita lihat.
Sejenak langkah kakiku dipelankan. Ku raba masing-masing isi kepala mereka. Tanpa aba-aba mataku tergenang, sontak ikan-ikan di sungai itu melompat dan berlomba mengisi kantong mata.
B. Slide Kelima dan Enam
Perasa’an tetiba gaduh. Tubuhku setengah berlumuran ketidakpastian yang mengucur dan tumpah dari tiap-tiap helai rambut. Sesekali terbesit omongan penduduk hutan, menamparku persis muaknya Hera. Hingga belaian mentari tak diizinkan mengusap kepalaku.
Membelah hutan bukan perkara mudah. Semudah vonis bebas yang di anugerahi hakim pengadilan bagi orang-orang berduit, semudah membuat regulasi yang kemudian di ubah kembali atau bahasa tenarnya “mengecek ombak”. Pandanganku tak menentu, tak tahu diri, tak tahu aturan menerobos batas kemungkinan hingga aku melupa teruntuk meminta ijin telebih dahulu kepada para penghuni hutan. Begitulah sekiranya kepercayaan masyarakat tradisional atau konservatif.
Tapi aku bukan suku etnik yang percaya pada tahayul; soal makhluk astral dan misteri-misteri di luar dimensi manusia. Namun aku memakluminya untuk menghargai kepercaya’an yang telah menjadi tradisi sejak masa lampau.
C. Slide Ketujuh dan Delapan
Ini bukan pos pertama atau ruang tunggu, melainkan tempat pembaringan sewaktu Ci dan suaminya menetap dalam beberapa waktu. Tempat melepas dahaga setelah sehari bertarung dengan waktu dan terik mentari, menggugurkan lelah yang menempel dan mulai tumbuh subur.
Tawa garing memecah kebuntuan kepalaku sewaktu guyonan dari ketiga lelaki menerobos gendang telinga. Sepertinya saya menemukan kembali sensasional alamiah dalam menelisik berbagai dinamika dan problematika.
“Gunung Suanggi”. Dua suku kata itu jelas terlontar dari bibir Ci di tengah-tengah pembicara’an sewaktu saya menyisip pertanya’an tentang nama lokasi ini. Mungkin terbilang aneh dan menyeramkan untuk sebagian orang yang mengetahui artinya. Bagi masyarakat Timur, Suanggi merupakan sebutan untuk hantu yang telah melegenda dari daratan Papua sampai ke Halmahera atau Maluku tepatnya.
Jam menunjukan pukul setengah sepuluh. Setengah perjalanan hampir sampai batas klimaks. Beberapa batang rokok telah habis ku sesap di antara peristirahatan yang mendulang tanya perihal penama’an lokasi ini.
D. Slide Kedelapan sampai Sebelas
Sebagaimana individu pada umumnya, memiliki ketertarikan tersendiri ketika berada di garis yang selaras. Terkadang kondisi realitas kapan saja menyekap, menawan dan memenggal segudang ekspektasi. Berjalan di tengah reruntuhan membuatku harus perlahan melangkah. Biar tak tertusuk, tak tergores, tak melukai logikaku yang sedemikian rupa ku rawat.
Mentari kembali memayungi kepala. Di bentang cakrawala, Sang Semesta satu-persatu memasukan kayu di tungku langit. Darah pun mendidih. Apabila saya tidak lupa membawa kopi dan gula, sudah pasti secangkir kegaduhan ku cicipi sedikit demi sedikit saat menyebrangi sungai yang sama teruntuk kedua kalinya.
Ranum bola mata keempat manusia di depan memaksaku menyingkap segudang misteri atas tujuan yang tak kunjung sampai. Lirih ku tertatih. Keringat berulang kali membasuh wajah, ikan-ikan di kelopak mataku tewas mengenaskan akibat airnya mengering.
E. Slide Kedua Belas dan Tiga Belas
Hutan yang kesekian kembali dilewati. Tak berubah, masih persis hutan-hutan sebelumnya dengan dawai yang sama. Kerongkonganku tetiba merontak, memaksaku teteskan air mata dunia yang di belahan lain mulai mengering, tak lagi jernih.
Juta’an pasang mata padahal telah sigap. Siap menerkam lalu membantai. Sembunyi dari balik celah dedaunan, pepohonan, tanah, rembesan air hingga langit. Kemegahan perkota’an yang di selimuti pabrik dan manusia yang piawai berkisah pun sesekali merusak fokusku.
“Sudah sampai?,” tanyaku saat rokok di mulut tak ingin lepas berpisah dengan bibir yang tampak gersang.
“Iya, mari istirahat,” jawab Ci sembari melepas sebagian beban yang terpundak semasa hidupnya.
Belum sempat ku telanjangi kepalaku untuk menikmati sensasi natural alam hutan Halmahera. Tiba-tiba ia beranjak, tak peduli lelahnya yang ingin sandar, tak peduli tubuhnya meluruskan nadi yang kusut. Ternyata hanya “prank” (kata anak milenial untuk menyebut canda’an). Tawa dan senyum seketika mampir di wajahku, membayangkan perkata’an yang sama taktala mengingat pendakian bersama kawan-kawan teruntuk menenangkan dan meredakan ramuan keinginan untuk lekas sampai.
F. Slide Keempat Belas sampai Kesembilan Belas
“Aer Boyo”, itulah nama lokasi yang menjadi pusat ekonomi Ci dan suaminya dan menjadi titik akhir dari rentetan perjalanan barusan. Apabila ku hayati kembali, perjalanan ini memiliki makna tersendiri. Di tengah pemergian, saya mendapati bagian tubuh yang hilang sejak lima tahun lalu. Ialah sewaktu saya menerawang fantasi dari 21 sudut kemungkinan.
Terbesit di palung hati; bukti konkret rasionalitas menyetubuhiku selama ini merupakan pembuktian semesta tentang alam, manusia dan seisinya.
G. Slide Kedua Puluh Satu sampai Kedua Puluh Sembilan
Kepulan kabut menyelimuti nurani. Mengepung inderaku biar tak melalangbuana. Sejuta paham merajut asa di pinggir maghligai, memasung tubuhku agar menetap, tinggal bersama kesunyian, beratap kesepian, berdinding kehampa’an, beralaskan keputusasa’an.
Waktu begitu cepat berlari, tak menunggu meski kode beberapa kali ku layangkan. Sepertinya senja di barat sana tak sabar memamerkan kemolekannya bagi para penikmat keindahan lazuardi.
Sesekali ku rejam mata. Mengendus laman realitas biar tak terserak diamuk badai sore ini. Sebab, bila air sungai bergejolak dari kedalaman hutan, maka perjalanan balik kami memakan waktu dua kali lipat dari sebelumnya. Melewati track curam dan tajam sangat beresiko bagi Ci dan si Bungsu, serta kedua lelaki perkasa dan tangkas di depanku. (Pria yang terpaksa mengawini kesunyiannya)
Penulis adalah jurnalis dan Mahasiswa Universitas Trinita Manado
Discussion about this post