Oleh: M. Taufik Poli
Salah satu hal yang bisa di apresiasi dari demokratisasi pasca-Orde Baru adalah distribusi kekuasaan dari pusat ke daerah. Walaupun desentralisasi semacam ini tetap memunculkan masalah baru—perebutan sumber daya lokal dan politik elektoral berbasis klintelisme—di sisi yang lain ia membawa proses demokrasi ke aras yang lebih lokal. Demokratisasi dengan demikian memulai titik startnya dari tingkatan lokal.
Demokrasi merupakan ruang yang harus diisi oleh berbagai kelompok dengan spirit yang sama: memajukan demokrasi dan menjauhkannya dari garis batas ke ototitarianisme. Tidak terkecuali demokrasi lokal, ia membutuhkan terutama dan utama upaya transformatifi aktor pro-demokrasi ke tujuan-tujuan demokratis sperti kebebasan sipil dan politik, kesetaraan, serta keadilan sosial.
Dalam konteks perkembangan demokrasi lokal itu, tulisan ini secara singkat hendak memeriksa masalah demokrasi lokal yang penulis identifikasi yaitu konflik agraria di Sulawesi Utara. Konflik agraria sering absen dalam perbincangan demokrasi, sehingga perlu dalam kesempatan ini mendiskusikannya dalam kaitan dengan demokrasi. Penulis meyakini bahwa tendensi demokrasi iliberal di Sulawesi Utara salah satunya dikarakterisasi oleh konflik agraria yang mengkesklusi hak-hak sosial ekonomi masyarakat-petani. Sebelum itu, tulisan ini hendak memberikan gambaran umum mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia.
Rekonsolidasi Oligarki dan Dekonsolidasi Demokrasi
Para transitolog—sebutan terhadap mereka yang ahli mengenai transisi demokrasi—memahami bahwa demokrasi berkembang melalui fase-fase transisi yang jika diringkas sebagai berikut. Yakni fase pertama yaitu pra-transisi yang ditandai dengan munculnya tekanan-tekanan baik dari dalam maupun dari luar agar terjadi demokratisasi. Fase kedua yakni transisi menuju demokrasi yang ditandai dengan upaya secara sadar dalam rezim otoriter lama atau berdasarkan tekanan eksternal untuk segera melakukan liberalisasi demokrasi dengan syarat minimal yaitu pemilihan umum yang jujur dan adil. Fase ketiga yaitu konsolidasi demokrasi yang ditandai dengan terkonsolidasinya berbagai elemen pendukung demokrasi beserta penyebaran nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Walaupun perspektif transisi demokrasi di atas mengakui adanya kemungkinan kembalinya rezim otoritarianisme lama dalam demokrasi yang sedang mengkonsolidasikan diri, tetapi perspektif tersebut tetap mengandung pandangan linearisme yang fatal: bahwa ketika demokrasi telah melalui fase-fase di atas dan terpenuhi segala variabelnya untuk terkonsolidasi, maka demokrasi akan dianggap berhasil dan terlembaga. Padahal di dalam perkembangan demokrasi terkini, terlebih khusus Indonesia, memunculkan sebuah kondisi paradoksal dalam demokrasi, yakni di satu sisi institusi dan berbagai prinsip dasar demokrasi relatif telah berkembang dengan baik, tetapi di sisi lain demokrasi belum bisa untuk memperkecil jurang ketimpangan. Tepat dibagian inlah analisis demokrasi harus dilihat dalam kaitannya dengan setting ekonomi-politik yang melandasinya.
Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) menjelaskan bahwa demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru tidak benar-benar berhasil menyingkirkan elite-elite predatori yang berkembang dan besar dalam kejayaan Orde Baru. Mereka secara instrumental memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan eksklusifnya (vested interest) dengan masuk dalam institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, parlemen, pemerintahan dan pada akhirnya membajak institusi tersebut. Elite predatori merupakan fusi dari politisi, birokrat, dan pebisnis, yang akhirnya membentuk aliansi bisnis-politik dan memberikan corak ekonomi-politik di Indonesia yang berkarakter oligarkis (Robison & Hadiz: 2004).
Kuasa oligarki di Indonesia dalam perkembangan terkini makin memperlihatkan kekuasaannya dengan berhasilnya pemerintah memberi ruang yang lebar bagi kepentingan ekonomi-politiknya, seperti UU Omnibus Law yang memberikan ketidakpastian kerja para buruh serta upah murah terhadapnya, dan krisis ekologi yang mungkin timbul dari dibebaskannya pembangunan ekonomi ekstraktif. Selain itu UU Minerba yang banyak sekali mem-bypass prinsip-prinsip lingkungan yang harus dipenuhi dalam pertambangan memperkuat corak ekonomi berkarakter oligarki.
Corak ekonomi Indonesia yang masih banyak mengandalkan ekonomi ekstraktif memunculkan masalah, baik itu secara jelas adalah masalah ekologi, tetapi di lain sisi juga menjadikan ekonomi ekstraktif sebagai lahan subur penguasaan sumber daya serta membangun jejaring relasi elite predatori yang makin luas. Kondisi demikianlah yang memunculkan ketimpangan baik itu kekuasaan dan juga material di masyarakat luas. Pada akhirnya, memahami demokrasi juga harus membedah struktur ekonomi-politik yang melandasinya. Di Indonesia, struktur ekonomi-politik tersebut berkarakter oligarkis: Sebuah keberhasilan atas rekonsolidasi oligarki dan dampaknya pada demokrasi Indonesia yang ter-dekonsolidasi.
Perkembangan lain dari demokrasi di Indonesia adalah menguatnya tendensi demokrasi illiberal (Anugrah: 2020; Diprose et. All: 2019; Hadiz: 2017; Mietzner: 2018; Mudhoffir: 2020). Hal itu ditandai dengan menguatnya populisme agama, vigilantisme, kekerasan, kriminalisasi, dan penyempitan ruang publik dan cyberspace. Tidak mungkin menguraikan semua masalah demokrasi Indonesia dalam kesempatan yang singkat ini. Untuk itu perhatian dialihkan pada masalah konflik agraria yang menjadi perhatian utama tulisan ini, di mana maslah ini sering luput diperhatikan dalam analisis regresi demokrasi Indonesia.
Demokrasi Iliberal di Sulawesi Utara: Masalah Konflik Agraria
Analisis mengenai konflik agraria sering dilupakan para sarjana yang serius mempelajai kemunduran demokrasi di Indonesia. Padahal, jika demokrasi dimaknai sebagai perluasan hak-hak masyarakat, konflik agraria harusnya dilihat sebagai proses eksklusi terhadap hak tersebut, terutama petani yang terkeksklusi hak-haknya dari proses pembangunan. Para sarjana sangat semangat mengemukakan istilah illiberal democracy sebagai label demokrasi Indonesia terikini, tetapi tidak menaruh perhatian secara khusus terhadap persoalan agraria (Anugrah: 2020).
Di Sulawesi Utara—sebagaimana di daerah-daerah lain di Indonesia—akibat pembangunan berorientasi neoliberal memunculkan disposisi-disposisi hak-hak petani. Yang paling umum terjadi adalah privatisasi lahan pertanian produktif berbasis kolektif menjadi kepemilikan privat dengan orientasi akumulasi kapital. Privatisasi lahan pertanian di Sulawesi Utara secara umum dapat dilihat dengan tujuan membangun indsutri ekstraktif (Seperti PT. TSM di kepulauan Sangihe dan daerah SULUT yang lain), pertanian industri (PT. ASI di Lolak, Bolaang Mongondow), atau klaim sepihak aparatus negara (petani Kelelondey dan militer). Daftar masalah ini belum termasuk masalah-masalah yang penulis belum ketahui, atau bisa saja untuk membuat daftar inventarisir masalah konflik agraria di Sulawesi Utara, tetapi karena alasan teknis kita batasi tiga masalah di atas sebagai pembuktian.
Pembangunan ekonomi ekstraktif, seperti ekspansi modal pertambangan di Kep. Sangihe, secara otomatis memunculkan masalah konflik agraria. Tawaran harga yang tidak wajar atas lahan produktif masyarakat membuat masyarakat menentang upaya ekspansi tersebut, atau dalam term Polanyian disebut sebagai double-movement: yakni upaya protektif masyarakat terhadap komodifikasi tanah. Dalam kasus ini, modal tidak hanya mempunyai kekuatan material, tetapi juga kekuatan intelektual dengan meyakinkan masyarakat untuk dapat bersepakat dengan wacana-wacana pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja. Dominasi wacana tersebut memunculkan fragmentasi dalam masyarakat dan mengkerdilkan kekuatan masyarakat. Alhasil, upaya mempertahankan hak-hak sosiol-ekonomi mereka tidak berbanding lurus dengan Hasrat akumulasi modal PT. TMS.
Privatisasi lahan garapan petani-penggarap di Lolak untuk keperluan industri kelapa sawit juga berkontribusi pada proses eksklusi hak-hak sosial-ekonomi petani-penggarap. Petani-penggarap dijauhkan dari sumber daya ekonominya sehingga memunculkan kerentanan hidup terhadap mereka: kehilangan sumber daya ekonomi sama artinya dengan kehilangan kehidupan. Walau agak dramatis, hal inilah yang penulis dapat dari data-data lapangan. Hall, Hirsch, dan Li (2020) menjelaskan bagaimana kuasa eksklusi (power of exclusion) berperan untuk menyingkirkan kepemilikan lahan produktif berkat adanya sebuah interelasi antara kebijakan (regulation), kekuatan (force), pasar (the market), dan pengabsahan (legitimation). Dalam kasus ini, berbagai kekuatan tersebut saling terkoneksi untuk menciptakan sebuah proses eksklusi para petani penggarap dari lahan garapan.
Dalam kasus terakhir, kita dapat secara mudah melihat corak pertentangan antara repressive state apparatus dan petani Kelelondey.
Lahan pertanian sifatnya tidak netral, ia merupakan arena pertarungan berbagai kekuatan sosio-politik untuk berebut sumber daya. Dalam kasus Kelelondey, lahan pertanian tersebut ingin dikuasai oleh militer dengan tujuan militer. Sedangkan masyarakat tetap mempertahankan klaimnya atas tanah dengan tujuan ekonomi. Dalam sudut pandang demikian, mudah bagi kita memahami konflik tanah di Kelelondey sebagai pertarungan berbagai kekuatan, yang ironisnya, para petani tentu tidak mimiliki kekuatan yang cukup dibanding militer. Kekuasaan yang asimetris itulah membuat posisi petani rentan dalam mempertahankan tanahnya. Walaupun dalam kasus Kelelondey, para petani untuk sementara waktu bisa berhasil mempertahankan haknya.
Dari tiga kasus di atas, ada satu pola umum yang dapat diamati, yakni dalam konflik agraria, posisi masyarakat selalu rentan dan tidak punya cukup kekuatan untuk mendandingi. Dalam kasus-kasus tersebut, masyarakat selalu berhadapan dengan kuasa modal, negara, atau gabungan dari keduanya. Gabungan atau fusi keduanya (politisi, birokrat dan pebisnis) menjadi strategi penguasaan yang berhasil. Relasi kuasa antara politico-business alliance dan masyarakat-petani salalu ada pada posisi yang asimetris, di mana kelompok pertama mempunyai kekuasaan material dan politik yang cukup, dan kelompok kedua yang tidak seistimewa kelompok pertama. Walau demikian, selalu ada perlawanan (double movement) dari masyarakat-petani, walau posisinya tetap rentan dan lemah.
Konflik agraria harus dijadikan pertimbangan yang penting dalam menganalisis kemunduran demokrasi. Di Sulawesi Utara, corak demokrasi iliberal juga ditandai oleh konflik agraria yang banyak mengeksklusi hak-hak masyarakat rentan seperti petani. Jika demokrasi dimaknai sebagai perluasan hak, seperti hak sosial-ekonomi, maka eksklusi hak-hak masyarakat akibat konflik agraria adalah corak demokrasi yang iliberal: ia menyumbat redistribusi sumber daya sebagai hak fundamental masyarakat rentan.
Kondisi ini tidak bisa lepas dari perspektif pembangunan dominan yang diadposi Jokowi. Jokowinomics, atau pembangunan a la Jokowi yaitu menjunjung tinggi stabilitas politik dalam makna elektoral dan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada komoditas dan bom insfrastruktur (Anugrah: 2020). Komodifikasi lahan produktif serta perlawanan terhadap komodifikasi tersebut merupakan realitas ekonomi politik kita. Dalam rezim pembangunan Jokowi, perlawanan-perlawanan itu harus segera ditundukan dan dijinakan untuk selanjutnya diorientasikan mendukung pembangunan. Hal yang cukup familiar dari parktik politik Orde Baru.
Kesimpulan
Hilangnya variabel konflik agraria dalam analisis kemunduran demokrasi di Indonesia membuat masalah ini sering absen dalam perbincangan demokrasi. Padahal, konflik agraria adalah persoalan yang senantiasa muncul akibat pembangunan yang mengeksklusi hak. Di Sulawesi Utara, konflik agraria memberi pembuktian yang kuat akan kondisi demokrasi lokal yang tidak berjalan baik, terutama pemenuhan hak-hak sosial-ekonomi petani yang terampas akibat pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan. Dengan begitu, konflik agraria juga memperkuat tendensi demokrasi iliberal di Sulawsi Utara yang menutup keran redistribusi sumber daya. Tentu selain juga masalah hak-hak sipil politik yang juga sering tereksklusi.
Daftar Pustaka
Anugrah, Iqra. 2020. The Iliberal Turn in Indonesian Democracy. The Asia-Pacific Journal. Vol. 18, Issue 8, No. 1.
Diprose, Rachael. Dave McRae. Vedi R. Hadiz. 2019. Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn. Jurnal Contemporary Asia, Vol. 49, Issue 5. 691-712.
Hadiz, Vedi R. 2017. Behind Indonesia’s illiberal Turn. https://www.newmandala.org/indonesia-illiberal/
Hall, Derek. Philip Hirsch. Tania Murray Li. 2020. Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di Asia Tenggara. Yogyakarta: INSISTPress.
Mietzner, Marcus. 2018. Fighting Iliberalism with Iliberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia. Pacific Affairs, Vol. 91, No. 2, June. 261-282
Mudhoffir, Abdul Mugis. 2020. Islamic Populism and Indonesia’s Iliberal Democracy. Dalam Thomas Power & Eve Warburton (ed.), 2020. “Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Robison, Richard. Vedi R Hadiz. 2004. “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market”. London: Routledge.
Discussion about this post