Oleh: Iverdixon Tinungki
Ratusan tahun Sangihe Talaud lebih banyak diwarnai sejarah sistem Monarki dari kerajaan-karajaan bahari. Ini sebabnya, menelisik sejarah demokrasi electoral di kepulauan itu bagi saya merupakan sebuah peristiwa menarik. Tulisan berikut ini dipersembahkan untuk meramaikan Sangihe Writers & Riders Festival (SWRF) 2021.
Di benua Eropa sendiri, eksperimen-eksperimen demokrasi pascamonarki baru dimulai pada abad ke-18. Para cendekiawan Barat mulai mengutak-atik ikhtiar Yunani dan Romawi kuno menjadi pranata politik, dan dari sanalah baru transformasi demokrasi modern berjalan menuju abad-abad selanjutnya mencapai masa runtuhnya kekaisaran yang tersisa seusai perang dunia kedua.
Dalam definisinya yang paling sederhana, sebagaimana di tanah-tanah Minahasa, dan Bolaang Mangondow, di Sangihe Talaud dapat ditelusuri jejak yang jelas kehadiran rakyat dalam system pemerintahan masa lampau. Dari perspektif antropologi historis, sistem pemerintahan dan sistem kemasyarakatan serta tata kelola pemerintahan itu dapat ditelusuri pada perangkat-perangkat kerajaan yang pernah ada.
Narasi sejarah negeri para raja ini menyebutkan, keterlibatan suara rakyat dalam menentukan jalannya pemerintahan telah berlaku pada masa pemerintahan Raja Dalero yang berkuasa di kerajaan Tabukan 1892-1898, juga dalam pembentukan Lembaga Dewan Adat, serta tradisi pemilihan langsung “Kapitalau” (Kepala Desa) dalam system Pemerintahan Kampung yang sudah melintasi kurun waktu yang panjang sebagai basis demokrasi dalam lingkup paling bawah.
Bila demokrasi didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang membuka ruang kesetaraan rakyat dalam pengambilan keputusan, maka di Sangihe Talaud di era Dalero telah tersedia ruang dialogia antara rakyat dan raja, bahkan terbukanya ruang kritik atas kekuasaan baik lewat lembaga Dewan Adat maupun secara personal.
Di Kerajaan Siau masa pemerintahan Raja Winsulangi (1591-1639) telah terbentuk Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yang disebutkan Sudirno Kaghoo dalam “Jejak Leluhur, Warisan Budaya di Pulau Siau, PT. Kanisius 2016” sebagai lembaga legislatif, atau lembaga yang menjadi representasi rakyat di masa itu yang terdiri dari utusan kampung atau Bahani Kampung.
Keputusan penting Kumolang Bobatong Datu yang berlangsung secara demokratis di era penjajahan Belanda yang dapat dicatat di antaranya pemilihan Jacob Ponto sebagai raja kerajaan Siau pada 1850, berkuasa hingga 1889. Mengapa disebut demokratis? Sebab, pemilihan Jacob Ponto sebagai raja tidak mendapatkan intervensi pihak pemerintahan kolonial. Bahkan Belanda, menghargai tradisi demokratis kerajaan Siau karena dipandang relevan dengan sistem kerajaan di negerinya.
Saat perbincangan mengenai demokrasi lokal muncul secara dramatis jelang abad 21, desa bahkan menjadi ruang utama dan terutama dalam diskursus dan praktek demokrasi, karena di sanalah berada dasar hakiki dari teori dan praktik demokrasi itu sendiri. Di lain sisi, aktivitas pemilihan kepala desa dipandang sebagai proses demokrasi yang terjadi di desa.
Sangihe Talaud adalah salah satu entitas budaya, di Sulawesi Utara, sebagaimana Minahasa dan Bolaang Mangondow yang memiliki sejarah demokrasi sejak masa lampau. Pada tingkat desa, proses pemilihan Kepala Desa seperti Kapitalau di Sangihe Talaud sejak masa lalu telah dipilih secara demokratis melalui sebuah system demokrasi yang dianut masyarakatnya.
Di era kerajaan Sangihe di pulau Sangihe, sebelum bahkan hingga zaman Belanda, kriteria seorang calon Kapitalau atau Opo Lao (Kepala Desa): Pertama, dinilai dari kekerabatan dengan raja. Kedua calon harus mempunyai pengetahuan tulis baca dan punya kemampuan memimpin, kemudian ditambah dengan pengetahuan yang berdasar pada kearifan lokal semisal, “Puhiase” dan “Papia Naung”.
Keempat, calon sudah punya pengalaman misalnya pernah menjabat hukum mayor. Kelima, disepakati oleh masyarakat kemudian diajukan kepada majelis kerajaan. Kalau ada 3 calon maka majelis kerajaan melakukan musyawarah mufakat siapa yang paling pas menjadi Kapitalau. Sebelum diajukan ke Majelis Kerajaan, proses pemilihan di masyarakat adalah dimulai dari wilayah-wilayah pemukiman (lindongan). Dari tiap- tiap lindongan memberi suara kepada kepala Lindongan (Hukum Mayor) untuk mengusulkan nama mewakili lindongan. Tapi untuk membawa suara ke forum tingkat kerajaan adalah para Hukung Mayor yang disebut juga Hukum Mayore.
Di era Kerajaan Siau di pulau Siau, system pemilihan Kapitalau juga sudah berlangsung secara demokratis di setiap desa. Jupiter Makasangkil, sejarawan dan budayawan kelahiran Siau mencontohkan, proses pemilihan Kapitalau di kampung Bahu pada tahun 1914, seorang calon bukan saja dipilih masyarakat kampung tersebut secara demokratis di tingkat bawah, tapi melibatkan dukungan berupa usulan dari kampung bertetangga. Artinya ada kampung-kapung lain yang bisa mengusulkan satu orang atau menguatkan kandidat di kampung pengusul. Bentuk usulan bukan untuk memilih/dipilih tetapi untuk menguatkan calon yang diajukan oleh kampung pemilihan. Sistem ini dimaksudkan agar Kapitalau yang terpilih merupakan pemimpin yang juga bisa diterima dan berpengaruh di kampung lainnya. Proses pemilihan tersebut baru berakhir saat Jepang masuk di Sangihe Talaud.
Kapitalau di masa Jepang ditunjuk langsung oleh penguasa Jepang, hingga era masuknya tentara NICA yang menjadi masa akhir kerajaan-kerajaan di Sangihe-Talaud. Di zaman NICA, model pemilihan Kapitalau sebelumnya coba dibangun kembali, tetapi suasana demokrasi telah berubah, dan paham kebangsaan menguat lewat masuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) bentukan Soekarno di Siau.
PNI Cabang Siau berdiri pada tahun 1928 dipelopori GE Dauhan berdasarkan surat mandat pendirian cabang yang ditanda tangani Soekarno. PNI Cabang Siau adalah cabang kedua di luar Jawa. Di lain sisi, Residen Smith di Manado melihat gejala tidak sehat di Siau bahkan di Sangihe mulai tahun 1930-an itu, karena raja sudah berpolitik. Ini sebabnya, Raja Tahuna, Raja Tabukan, Raja Siau, dibuang ke pengasingan dengan alasan memakai uang pajak, tetapi sebenarnya mereka justru memberi payung kepada PNI dan gerakan kebangsaan nasionalis. Dari situ dimulai penentuan calon Kapitalau dan pengangkatannya harus ada persetujuan residen di Manado. Pemilihannya diawasi oleh Aspiran Controeleur.
Sistem pemilihan di tingkatan kampung sesudah NICA atau diawal Indonesia merdeka dilakukan dengan cara “Mencabut Lidi”. Misalnya ada 3 kandidat Kapitalau, maka disiapkan untuk masing-masing kandidat 1 kotak. Setiap wajib pilih yang terdaftar harus mengambil Lidi kemudian masuk ke dalam bilik pemilihan untuk memasukan lidi ke kotak calon yang menjadi pilihannya. Sistem pemilihan ini menurut Makasangkil, tidak bertahan lama, karena ketika Kapitalau sudah terpilih dapat diketahui siapa yang memilih atau tidak memilih. Akibatnya membuat kampung tidak aman dan terjadi persekusi. Sistem pemilihan kemudian berubah menggunakan pola coblos pada kertas suara dengan lambang buah-buahan seperti Durian, Mangga, Pisang, Jambu. Saat ini berubah menjadi pemilihan langsung dengan cara coblos gambar kandidat.
Dapat disimpulkan sejak zaman kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud, system pemilihan kepala desa dilakuan secara demokratis pada tingkat awal. Kemudian, pada tingkat akhir menggunakan system perwakilan. Terkait partisipasi pemilih, pemilihan Kapitalau dalam tradisi masyarakat Sangihe Talaud dipandang sebagai kewajiban yang harus dilakukan setiap pemegang hak pilih. Hal terebut dibuktikan dengan adanya frasa “Ko kau meki tekeng apa su kampung, sedang nenengale Lidi Tala”. Frasa itu mengisyaratkan sebuah makna di mana proses pemungutan suara atau pemilihan dipandang sebagai peristiwa berharga. Bahkan tindakan memilih itu adalah sebuah citra diri. Ini sebabnya, tingkat partisipasi pemilih pada pemilihan Kapitalau sejak masa lampau selalu tinggi. Apabila pada hari pemilihan ada pemegang hak pilih tidak datang memiilih, yang berksangkutan akan dijemput Polisi Kampung untuk memilih. Pengecualian hanya diberikan kepada mereka yang berada di luar daerah.
Di Sangihe Talaud ada budaya malu ketika tidak menggunakan hak memilih. Seseorang harus menggunakan hak pilihnya karena itu menunjukan adanya pengakuan dirinya sebagai warga. Seseorang yang tidak hadir dalam pemilihan biasanya menjadi bulan-bulanan.
Nanti di masa pemerintahan Republik Indonesia dengan perberlakuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pertama, sampai di pemerintahan kampung pemilihannya berlaku demokratis di mana kampung menentukan sendiri tata cara pemilihan melalui Komite Pemilihan Kapitalau. Dari situ berkembang hingga dengan Undang-undang pemerintahan terakhir ini keluar yaitu Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan UU Pemdes, pemilihan berjalan sebagaimana bentuknya yang sekarang, yaitu pemilihan langsung. (*)
Discussion about this post