Panggung teater Taman Mini Indonesia Indah ( TMII) Jakarta di tahun 2003 mempertunjukan ” Monondeaga”, sebuah lakon karya Hamri Manoppo. Pentas yang berlangsung pada 6 Agustus itu, selain dibanjiri penonton dalam negeri, ikut disaksikan 14 Duta Besar negara sahabat. Inilah salah satu pertujukan yang tercatat spektakuler dari Grup Teater Kotamobagu, Bolaang Mangondow (Bolmong).
Teater masih mendetak di Bolmong! Meski tak segemuruh di Manado, Minahasa, Bitung dan Sangihe, setidaknya itu simpulan saya saat menelusuri kehidupan seni panggung di negeri para Bogani ini. Dalam catatan terkini, festival teater tahunan Balai Bahasa Sulut di atas tahun 2017 masih diramaikan kehadiran grup-grup teater pelajar dari Bolmong.
Ada tiga teater pelajar yang terbilang eksis di sana yaitu SMA/ SMK Kristen Kotamobagu, MAN 1 Kotamobagu, SMA 3 Kotamobagu. Hingga tahun 2019 –sebelum berhentinya aktivitas festival teater pelajar di masa pendemi Covid-19— grup teater MAN 1 Kotamobagu sempat 2 kali menjuarai festival teater pelajar se provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang digelar di Manado.
Teater MAN 1 Kotamobagu pun sempat mewakili Sulut ke festival teater pelajar tingkat Nasional pada 2017 dengan lakon berjudul ” Klop”, yang disutradarai Mentari Makalunsenge, SPd. Lalu kembali tampil di Jakarta pada 2019 dengan lakon” Dukun-Dukunan”, disutradarai, Atika Mega Jingga, SPd.
Pada era 1990-an, kehadiran dramawan Richard Rhemrev di Kotamobagu, ikut mendenyutkan sejumlah pertunjukan teater panggung penerangan lewat Teater Deppen Bolmong. Selain pertunjukan komedi ala panggung penerangan, Rhemrev juga memanggungkan sejumlah lakon yang digali dari cerita rakyat Bolmong, antaranya “Mokodoludut”.
Dari awal 2000, Jamal Rahman Iroth juga ikut meramaikan panggung teater Kotamobagu dengan beragam pertunjukan puisi dan teater. Bekerjasama dengan LSM Suara Parampuang Sulut, tercatat Jamal sempat mementaskan lakon “Patung” karya Iverdixon Tinungki.
Di Bolaang Mangondow Timur (Boltim) Komunitas Seni dan Sastra (kosesa) yang sempat digawangi dramawan dan ahli filsafat Amato Assagaf, tercatat berkali-kali menggelar pertunjukan. Pada 2008 Kosesa mementaskan “Fajar di Timur” sebuah lakon yang ditulis dan disutradarai Amato dalam menyambut pemekaran Kabupaten Boltim. Lalu pada 2011, bersama Teater gereja St. Franciscus Xaverius, Amato mememantaskan lakon “Passion of Christ”.
Kembali ke pentunjukan “Monondeaga”. Hamri Manoppo, salah satu dari sedikit dramawan yang berasal dari negeri “lumbung pangan” itu yang sepanjang karier berkeseniannya berkali membawa Bolmong ke pentas teater nasional. Selain menulis dan menyutradarai Monondeaga –yang mengisahakan seorang gadis dalam tradisi pernikahan adat Bolmong– yang pementasannya melibatkan 84 aktor, pada 2004 bersama Teater Kotamobagu, ia mementaskan “Mokosambe”, diangkat dari cerita rakyat Bolmong pada Festival Nusa Dua Bali. Lakon Mokosambe melibatkan 62 aktor.
Saya mengenal Hamri, sudah sejak awal 1980 di Teater Alit Muara Manado. Di Alit Muara, Hamri adalah seorang pelatih selain Kamajaya Alkatuuk dan Wenny Liputo. Saya banyak berguru padanya soal elemen-elemen teater semisal seni kria, tata artistik, sastra serta akting tentunya.
Dalam berteater ia bergabung dengan Kamajaya Al Katuuk, Johny Rondonuwu dan Herman Lahamendu mendirikan teater SGM di kampus IKIP Manado, 1979. Pada 1978 hingga 1982 ia membina grup Teater Muda di Kampung Ternate Baru, Manado, dengan melahirkan beberapa aktor antaranya Thalib Hamzah.
Keterlibatannya di dunia teater mendorong Hamri menyelesaikan kuliah dengan skripsi tentang teater di Manado dengan sampel teater Minim Gereja Bethesda Manado tahun 1980. Selepas kuliah, ia mengabdi sebagai PNS di Bolmong sambil terus bergiat di dunia sastra dan teater.
Beberapa drama yang sempat ditulisnya antaranya “Lengkebong”, ( 1985), “Permintaan Terakhir”, (1986), “ Mokodoludut”, ( 1998), “ Bumi dan Manusia”, ( Pemenang Festival Teater Remaja Sulut, 1999), “Monondeaga”, (Pentas Taman Mini Indonesia, 2003), “ Mokosambe”, (Pentas Nusa Dua bali, 2004).
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post