Setidaknya ada dua isu menarik dari Kabupaten Kepulauan Sangihe dalam beberapa pekan terakhir. Keduanya terus menjadi perbincangan publik luas dan berhasil memantik publikasi media-media nasional bahkan internasional.
Pertama, meruahnya semangat sekelompok warga menolak rencana tambang emas yang siap mengaruk separoh luas pulau Sangihe. Kedua, kematian Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe, Helmud Hontong SE, yang diisukan terkait dengan aksinya menolak rencana pertambangan emas oleh PT. Tambang Mas Sangihe (TMS).
Isu pertama masih bergulir, laksana bola salju yang terus menggelinding. Lahan konsesi 42.000 hektare yang dikatongi PT. Tambang Mas Sangihe, dipandang sebagai ‘tangan maut’ yang siap mencekik ruang hidup warga dan aneka hayati pulau kecil di kabupaten seluas 737 km² itu.
Jauh hari sebelum aksi warga menolak tambang meluas, Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana SE, secara terbuka memberikan pernyataan terkait penolakan terhadap rencana penambangan emas di pulau Sangihe.
“Sejak awal saya yang menolak adanya tambang emas di Sangihe. Tetapi tiba-tiba izin sudah dikeluarkan di pusat karena itu memang kewenangan pemerintah pusat,” ungkap Jabes.
Ada alasan mendasar sehingga Gaghana melakukan penolakan terhadap rencana tambang emas di pulau Sangihe. Selain berdampak luas bagi kepulauan berpenduduk 141.950 jiwa ini, penambangan emas bakal merusak lingkungan hidup pulau kecil tersebut.
Untuk isu yang kedua, sudah dijernihkan oleh Tim Forensik Polda Sulut. Dalam konferensi pers hasil sementara Autopsi Jenazah di aula Polres Kepulauan Sangihe Rabu (14/6/21) yang dilakukan dr Faizal Zulkarnaen (Direktur RS Bhayangkara Manado), dr Nola Mallo (Spesialis Forensik) dan dr Elisa Rompas (Spesialis Forensik dari RS Prof Kandow Manado) serta AKBP Gani F Siahaan SIK MH (Direktur Kriminal Umum Polda Sulut) dan Kapolres Kepulauan Sangihe AKBP Toni Budi Susetyo SIK, disebutkan isu-isu yang berkembang adanya indikasi diracun pada saat pemeriksaan tidak ditemukan.
“Indikasi diracun pada saat pemeriksaan kami tidak temukan. Namun kami tetap mengambil sampel untuk pemeriksaan toksikologi dan pemeriksaan jaringan organ. Pemeriksaan toksikologi akan kami kirim ke laboratorium forensik untuk pemeriksaan racun dan bahan-bahan lainnya. Untuk pemeriksaan jaringan akan kami kirimkan ke Rumah Sakit Kandou di Manado. Dari gambaran diotopsi sudah terlihat hasilnya. Tapi lebih memastikan lagi jadi kami kirim ke Laboratorium Forensik,” begitu kata Zulkarnaen.
Lepas dari dua isu di atas, retaknya hubungan pasangan Jabes Ezar Gaghana SE dan Helmut Hontong SE, selaku Bupati dan Wakil Bupati Sangihe, dalam beberapa tahun terakhir nampak telah mendetakan kerunyaman lain selepas duet ini terpilih dalam Pilkada 2017. Terutama bagi jalannya pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Menurut beberapa pihak, konflik hubungan Gaghana-Hontong selaku Bupati dan Wakil Bupati Sangihe sudah menjadi rahasia umum. Kendati, konflik-konflik dalam relasi kekuasaan semacam ini –sebagaimana perspektif ahli politik kekuasaan Paul Michel Foucault— dari sisi tradisionalnya lebih banyak dipicu olah orientasi pada soal legitimasi, namun pada sisi lain akan merusak dimensi dari relasi. Isu-isu tersebut saat ini laksana api yang menjalar dalam berbagai perbincangan masyarakat Sangihe.
Itu sebabnya, kendati Gaghana memerintahkan pemasangan bendera Merah Putih setengah tiang selama sepekan di Sangihe untuk penghormatan atas berpulangnya sosok yang akrab dipanggil Embo tersebut. Retakan kekuasaan tak kasat mata itu menjadi duka lain pasca-meninggalnya sang Wakil Bupati, Helmut Hontong SE.
Sejumlah kalangan di Sangihe meminta Bupati Jabes Ezar Gaghana untuk melakukan klarifikasi terbauka. Permintaan itu diajukan demi keberlangsungan pemerintahan yang lebih adem dan nyaman.
“Rakyat jangan sampai terbakar oleh isu-isu kekuasaan yang menjalar liar. Ini sebabnya Gaghana perlu memberikan klarifikasi agar duduk masalahnya menjadi terang dan jelas,” kata politisi senior PDIP Sangihe, Seunal Tungari, di sela sela kesibukannya saat berakhir pekan pada minggu kedua Juni di Tahuna.
Sebagaimana amatan Tungari, Gaghana dalam jabatannya sebagai Bupati tak sepenuhnya di posisi salah dalam gesekan pasangan itu. Oleh sebab itu nuansa kebencian yang salah arah dan kini merebak di segelintir kalangan masyarakat Sangihe sepatutnya diluruskan. Selaku Bupati, Gaghana harus cepat melakukan hal itu.
Beberapa politisi Partai Golkar Sangihe juga senada dengan Tungari. Menurut mereka isu-isu adanya gesekan pasangan Gaghana-Hontong memerlukan klarifikasi dan dipublis yang terbuka. Sehingga dari klarifikasi itu, masyarakat luas di Sangihe bisa mengerti dan mendapatkan pencerahan.
Maka Bupati Sangihe, Jabes Ezar Gaghana SE, berhasil ditemui wartawan pada Rabu (6/6/2021) pukul 22.30 Wita di pendopo rumah dinas Bupati. Raut wajah Gaghana terlihat kusut saat itu. Meski kelihatan tenang, namun ada pancaran kesedihan di mata lelaki yang pernah menjabat 2 periode Wakil Bupati –dan kini sebagai Bupati Sangihe itu. Bagaimana pun juga, kepergian mendadak Wakil Bupati Helmut Hontong menyelipkan duka yang mendalam pada sanubarinya.
Pada gilirannya, Gaghana bersedia terbuka memberikan klarifikasi kepada pers. Sebab dalam sistem komunikasi pemerintahan, klarifikasi terbuka merupakan hal yang patut.
“Saya sadar telah terzolimi oleh beragam opini liar yang berkembang di masyarakat. Saya memilih diam dalam waktu yang lama,’’ sebutnya dengan mimik sedih.
Alasan apa sehingga Gaghana memilih diam dalam waktu yang lama? Menurutnya, ia tidak mau dirunyamkan oleh isu-isu yang tak jelas.
“Saya tak mau banyak bicara, membangun citra, tapi kurang bekerja. Saya lebih memilih menekuni tugas-tugas membangun kabupaten kepulauan ini,” ujarnya dengan suara terbata-bata.
DUKA MENDALAM
Selanjutnya, Gaghana spontan mengatakan sangat kehilangan dan dirundung duka mendalam atas kepergian sahabat, saudara, dan rekan dalam kepemimpinan Kabupaten Sangihe. Sejak masa pencalonan, punya visi yang sama dengan almarhum Helmut Hontong dalam membangun Sangihe; yakni Sangihe harus mampu keluar dari berbagai belitan bersoalan ekonomi dan pembangunan. Namun Gaghana tak menampik bahwa pasca-terpilih, mulai muncul perbedaan persepsi antara dirinya sebagai Bupati dan Helmut sebagai Wakil Bupati.
“Terus terang saya lebih banyak mengalah dan berusaha mengakomodir berbagai kepentingan aspirasi yang disampaikan Wakil Bupati dalam struktur pemerintahan daerah sejauh yang dapat ditolerir oleh aturan perundang-undangan. Namun isu yang berkembang di luar, seakan saya otoriter dan main sendiri dalam mengatur sistem pemerintahan,” katanya sembari memperbaiki posisi duduk.
Gaghana mengakui sangat mengerti, bahwa isu-isu miring sengaja dihembuskan. Kabar yang tidak objektif dan sifatnya menjatuhkan. Maka ia tidak menanggapinya. Tujuannya, untuk menghindari gesekan dan menimbulkan bias persepsi berlebihan, yang seharusnya biasa dalam sitem kepemimpinan. Tetapi nyatanya, isu-isu itu kemudian menjadi liar dan serampangan. Bahkan berkembang menjadi semacam upaya perebutan kekuasaan yang terselubung.
“Saya punya bukti dan saksi mengenai siapa di balik isu-isu itu. Tetapi sekarang tidak perlu dibahas lagi, saya memaafkan semua yang keliru itu. Saya tidak mau membicarakan kekuarangan orang lain. Khusus saudara saya Helmut, saya mendoakannya agar mendapatkan tempat terindah di sisi Tuhan,” ujar Gaghana, tanpa disadari ada air bening menetes dari matanya.
Disentil soal berbagai anggapan yang mengemuka terkait gesekan antara keduanya, Gaghana bercerita dari titik awalnya dengan lugas. Mulai dari akan dilakukan penetapan penjabat Kapitalaung saat pertemuan petinggi DPRD Sangihe bersama Wakil Bupati, Sekda dan Bupati. Pada rembuk itu disepakati ada ‘jatah’ lima kapitalaung untuk ketua DPRD, dari delapan yang diminta.
Usai pertemuan dan para petinggi DPRD Sangihe pulang, Wabup menyatakan tidak setuju dengan kesepakatan tersebut. Meski sempat bersitegang, akhirnya Sekda dan Bupati mengalah dan membatalkan permintaan tersebut. Esok paginya Wabub menemui petinggi DPRD Sangihe dan menyampaikan bahwa Bupati tidak setuju permintaan tersebut. Nah, dari sinilah hubungan DPRD dan eksekutif mulai renggang, hingga berlanjut terjadinya penolakan atas permohonan pinjaman Rp 170 Miliar dari pemerintah pusat untuk Sangihe.
“Jadi siapa yang merusak Sangihe sebenarnya,” tukas dia.
Kemudian, dalam hal penetapan pejabat-pejabat eselon II, III dan IV, Gahgana selaku Bupati selalu memberikan kesempatan kepada Wabub untuk pelantikan. Hanya saja almarhum Helmut terkesan menghendaki lebih. Jika tidak dituruti langsung marah-marah.
Begitu pula soal pemberian hibah kepada lintas agama yang seharusnya diberikan secara proporsional, Wabub justru berkehendak menghibahkan dana untuk gereja yang hanya punya 15 KK sebesar Rp 450 Juta guna memenuhi nazarnya saat kampanye. Bernazar boleh, tetapi disesuaikan dengan ketersediaan dana yang disiapkan pemerintah pada tahun anggaran yang sedang berjalan.
Permintaan ini tidak dapat dikabulkan 100 persen. Kalau gereja yang jemaatnya hanya 15 KK mendapatkan dana hibah Rp 450 juta, gereja besar atau mesjid lainnya patut juga diberi dalam jumlah yang selaras. ’’Saya setujui dana hibah sebesar Rp 150 juta dan membuat almarhum marah,” tutur Jabes dengan nada datar.
Mulai saat itu, sambung Gaghana, komunikasi keduanya selaku Bupati dan Wakil Bupati mulai tidak lancar. Wakil Bupati melakukan beragam giat, antara lain termasuk melaporkan Bupati kepada Polda Sulut karena memotong dana desa untuk penanganan darurat Covid-19. Padahal pemotongan dana tersebut merupakan kebijakan dari pemerintah pusat.
“Mana mungkin Bupati bisa memotong dana desa. Toh dana desa langsung ditransfer ke rekening pemerintah desa oleh pemerintah pusat,” tutur Gaghana.
Atas laporan itu, pada akhir tahun 2020 petugas Polda Sulut datang di Tahuna untuk melakukan pemeriksaan. Lalu menyeruak informasi di tengah masyarakat, bulan Desember 2020 Bupati akan ditangkap. Sedangkan Almarhum Helmud selaku Wakil Bupati akan dilantik sebagai Bupati pada Januari 2021.
“Itu isu yang sangat liar. Bahkan menyesatkan. Laporan itu tidak mendasar dan hanya merusak reputasi Bupati,” kata Jabes dengan nada sedikit meninggi.
Adanya hubungan yang sudah tidak harmonis, kisah Gaghana, pada momentum Tulude ada inisiatif sejumlah tokoh agar Bupati dan Wakil Bupati kembali solid seperti sedia kala dan saling memaafkan. “Pada momentum budaya itulah kami saling berangkulan,’’ kata Gaghana singkat.
Usai momen itu, Wabup pamit pulang akan istirahat dengan alasan kelelahan. Kendati acara budaya di pendopo yang masih sedang berlangsung. Beberapa saat kemudian terbetik informasi kalau Wabup sedang bayora bersama rakyat di suatu tempat. “Katanya capek dan mau istirahat, ternyata pergi bayora. Akhirnnya rembuk berangkulan ketika itu hanya berlangsung sekejap.”
Hal lain yang tidak disadari bupati adalah tindakan almarhum yang berupaya membangun pencitraan kepada masyarakat melalui dana BPJS. Menurut Gaghana, semua rakyat Sangihe gratis berobat di rumah sakit atau Puskesmas karena Pemkab telah meneken kerjasama dengan BPJS untuk pembayaran iuran. Dengan demikian, semua tindakan medis di rumah sakit dan puskesmas gratis. Namun situasi ini dimanfaatkan Wakil Bupati untuk menyita simpati masyarakat. Petinggi RSU Liung Kendage jadi bagian dari giat tersebut. Setiap ada masyarakat yang sakit, Wakil Bupati selalu dihubungi untuk datang ke rumah sakit. Polanya, Wakil Bupati berbicara dengan keluarga pasien sebelum keluar rumah sakit. Mereka harus membayar biaya Rp 9 juta. BPJS hanya menanggung Rp 5 juta, sisanya ditanggulangi oleh Wakil Bupati.
“Padahal, sebenarnya semua biaya sudah ditanggung pemerintah lewat BPJS. Begitu yang betul,’’ urai Gaghana.
Giat Wakil Bupati bersama petinggi RS Liung Kendage itu berjalan sekitar dua tahun. Begitu terkuak, Gaghana selaku Bupati langsung mengganti Dirut RSUD Liung Kendage. Juga sejumlah pihak yang ikut serta.
“Ya, saya harus melakukannya karena itu sebuah konspirasi. Hal yang tidak berar bagi masyarakat,” kata Jabes seraya mengatakan siapapun jadi Bupati tidak akan menerima hal konspirasitif demikian.
Oleh karena selalu berhendak lain, kisah Gaghana lebih dalam, hubungan Wakil Bupati dengan pejabat di Polres Sangihe dan termasuk pejabat-pejabat eselon II semakin renggang. Situasi yang sebenarnya inilah tidak diketahui masyarakat Sangihe pada umumnya. Sejumlah pihak juga hanya melihat dari satu sisi, bahwa Wakil Bupati merakyat dan peduli pada rakyat.
Lalu bagaimana soal ijin tambang emas di kepulauan Sangihe yang dikeluarkan pemerintah pusat melalui Kementrian ESDM? Justru Bupati yang pertama-tama menolak tambang emas. Selain akan merusak lingkungan, Kepulauan Sangihe itu sangat kecil kalau ada tambang emas. Bahkan dalam kaitan dengan permintaan pembuatan dokumen AMDAL, Gaghana pun tidak memenuhinya.
Maka pada titik inilah Wakil Bupati mendapat simpati masyarakat. Mengatas-namakan Wakil Bupati, ia mengirim surat secara pribadi kepada Kementrian ESDM untuk mencabut ijin yang sudah dikeluarkan pemerintah pusat. Menggunakan kertas berlogo, lalu ada cap pemkab Sangihe. “Hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan Bupati,’’ ungkap Gaghana.
Lebih menyedihkan, beber Gaghana lebih lanjut, ialah soal kematian Wakil Bupati yang dikait-kaitkan dengan penolakan izin tambang PT Tambang Mas Sangihe. Untung saja meninggal saat perjalanan dari Bali ke Makasar. Jika meninggal di Sangihe, bisa jadi ada kecurigaan macam-macam terhadap Bupati.
Gaghana berterima kasih kepada pihak Polda yang melakukan otopsi sebelum mayat dimakamkan. Dengan hasil tidak ditemukan adanya racun dalam tubuh, kematian Wakil Bupati akibat komplikasi penyakit menahun yang diderita sejak lama.
“Bersyukur diotopsi, kalau tidak akan menimbulkan penafsiran macam-macam pada masyarakat,” katanya.
Lebih dari itu, Gaghana membantah adanya isu bahwa hak-hak almarhum Helmud Hotong SE selaku Wakil Bupati diabaikan.
“Cerita itu tidak benar, semua hak almarhum sebagai Wabup diberikan. Tanpa ada potongan. Sehingga leluasa berdinamika sekalipun itu bukan urusan pemerintahan,’’ urai Gaghana.
Sebagai contoh, tutur Gaghana, ada kendaraan roda empat diadakan ketika dua bulan setelah yang bersangkutan menjalankan tugas sebagai Wakil Bupati. ‘’Diadakan kendaraan Inova, diserahkan kepada Wakil Bupati demi kelancaran tugas,” tuturnya lalu mengakui, bahwa sebagai Bupati sekalipun sudah kecewa namun dengan hati besar dan secara persuasif beberapa kali mengajak Wakil Bupati untuk melangkah bersama demi kepentingan daerah.
Selain itu, beber Gaghana, ada juga isu terkait privasi yang dilempar ke masyarakat untuk memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap Bupati. Isu-isu tersebut tidak ia ladeni, termasuk dalam klarifikasi ini. Lepas dari upaya klarifikasi, secara pribadi Gaghana tetap menaruh hormat terhadap almarhum Helmud Hontong SE, selaku Wakil Bupati. Gaghana sangat yakin, ada karya dan pengabdian terbaik yang telah almarhum lakukan bagi daerah dan masyarakat. Mulai saat duduk di kursi legislatif hingga menjabat Wakil Bupati.
Gaghana juga mengajak seluruh elemen masyarakat Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk menghormati almarhum Helmut Hontong SE, Wakil Bupati Sangihe yang telah berpulang.
“Saya ajak semua warga Sangihe tetap menghormati beliau sebagai salah satu putra terbaik daerah yang pernah mengabdi di tanah kelahirannya ini hingga akhir hayatnya,’’ tutup Gaghana. (**)
Editor: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post