Oleh: Amato Assagaf
Kita bisa memulai kisah tentang esoterisisme Barat dari titik mana saja dalam sejarah esoterisisme Barat itu sendiri. Kita bahkan bisa memulainya dari pinggiran sejarah sains, filsafat atau agama-agama yang singgah dan berpijak di bumi Barat, terutama Eropa. Tapi secara pribadi, tak ada bagian dari sejarah dunia Barat yang paling menarik bagi saya seperti kisah tentang Renesans, kembalinya orang-orang Eropa ke haribaan ajaran dan pengetahuan leluhur mereka.
Jarak antara apa yang disebut leluhur dengan para intelektual yang kembali mempelajari ajaran mereka ada sekira satu milenium. Tapi tak ada yang sesungguhnya benar-benar terputus dari garis pewarisan itu. Ada buku-buku yang masih bertahan, termasuk bisik-bisik di ruang pribadi, yang menyebarkan ajaran para leluhur itu.
Bahkan zaman tak bisa menolak apa yang sudah seharusnya lahir. Dan itulah yang terjadi dengan Renesans Barat atau lebih tepat untuk disebut Renesans Eropa. Dan itu bisa menjadi pelajaran bagi siapapun di belahan bumi manapun. Pelajaran bukan semata pada detail historisnya tapi terutama pada semangatnya. Termasuk semangat bagi upaya untuk merujuk kembali ke masa lalu.
Kita boleh menyebut, bersama sekian sejarawan, satu milenium yang memisahkan orang Eropa dari leluhur mereka sebagai zaman kegelapan. Tapi sudut pandang yang lebih serius akan menemukan bahwa dalam seribu tahun kegelapan itu tetap saja ada para pembawa cahaya. Termasuk di dalam kekuasaan Gereja yang oleh sementara pihak dianggap sebagai biang kerok kegelapan.
Makanya tak terlalu mengherankan jika para inteleketual awal Renesans di Italia, misalnya, adalah para intelektual yang memiliki kaitan erat dengan Gereja. Marsilio Ficino, untuk menyebut satu nama yang memberi tanda bagi kebangkitan esoterisisme Barat bersama dengan Renesans, adalah seorang intelektual yang dididik dalam tradisi Gereja.
Lagi pula, apa yang kemudian kita sebut sebagai esoterisisme Barat dan setiap remah yang membawa Eropa memasuki masa Renesans bersamanya sudah menjadi bagian, yang setidaknya pada awalnya tidak disembunyikan, dari dalam Gereja sendiri. Tuduhan terhadap Katolikisme sebagai sebentuk Hermetisisme mestinya adalah pujian bagi sebuah sikap untuk belajar di luar pagar.
Seribu tahun berikutnya setelah Renesans, heresiologi hanyalah gambaran dari dogmatisme relijius yang menggambarkan sikap fundamentalis agama terinstitusi. Dan Gereja Katolik bisa membebaskan dirinya dari tuduhan fundamentalis dengan catatan bahwa mereka telah menyadari itu jauh di masa yang kita sebut sebagai Zaman Kegelapan.
Saya tidak ingin memberi kesan bahwa Gereja tak bertanggungjawab pada kegelapan itu, setidaknya pada keterputusan Eropa dari leluhur mereka yang agung di Yunani dan lain-lain tempat. Saya juga tidak hendak mengisyaratkan bahwa Gereja adalah bagian dari kesadaran Eropa untuk lahir kembali menemui ajaran leluhur mereka.
Saya hanya ingin bilang bahwa esoterisisme Barat, sejauh kita bicara tentang konsep itu sebagai penanda sebuah milieu intelektual, tidak pernah terputus dari sejarah dunia Barat sendiri, terkhusus dunia Eropa Barat. Dan Kristianitas, baik sebagai ajaran para udik Yahudi maupun di dalam kepala saudara-saudara seiman mereka di Magna Graecia dan sekitarnya, adalah bagian utuh dari sejarah esoterisisme Barat itu sendiri.
Apa yang dalam perbendaharaan kaum esoteris Barat disebut dengan ‘Inner Christianity’ adalah Kristen itu sendiri. Perbedaannya hanyalah, pada institusi Gereja, Yesus adalah penubuhan dogma, sedangkan di dalam kepala para esoteris, Yesus adalah sebentuk kesadaran ilahiah. Dan Yesus, sebagai apapun, kita tahu, merupakan Kristianitas itu sendiri, Inner maupun Outer.
Maka kembali pada Renesans adalah kembali pada ‘proses kembali’ itu sendiri. Dan dalam proses itu, kita tahu, Gereja serta keseluruhan Kristianitas merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan dari proses untuk kembali itu. memahami ini secara keliru akan mengaburkan kita dari sejarah esoterisisme Barat.
Antoine Faivre, salah satu otoritas akademis dalam membicarakan esoterisisme Barat, telah mengatakan bahwa “Barat” dalam istilah itu adalah sebuah ruang kultural dengan tradisi Kristen sebagai atmosfirnya. Dan bukan hanya itu, syarat konkordansi dari pengetahuan esoteris yang juga dikemukakan Faivre membuat kita tak perlu heran bahwa kekuatan terbesar esoterisisme Barat kebanyakan justru datang dari dialog para intelektual esoteris dengan Kristianitas.
Marsilio Ficino, nama yang sudah saya singgung di atas, hanya satu dari sekian mereka. Yang terbesar, dalam pertimbangan pribadi saya tapi juga sulit dibantah oleh mereka yang mempelajari sejarah esoterisisme Barat, adalah Jakob Boehme, pemula teosofi Kristen, seorang Lutheran asal Jerman, pembuka jalan bagi pembebasan imajinasi esoteris berhadapan dengan doktrin relijius. Lewat karya-karyanya, yang memang tak mudah untuk dicerna, Boehme menyadarkan kita bukan hanya kelekatan (entah sebagai jebakan maupun sebagai peluang) antara agama dengan esoterisisme tapi juga sifat inheren satu sama lain.
Agama terselamatkan oleh esoterisisme dalam bangun ajarannya, sedangkan esoterisisme sendiri menemukan agama sebagai mata air bagi dahaganya akan kearifan. Di dunia Barat, itu berlangsung dalam cara yang rumit tapi lewat jalan yang tidak terlalu asing.
Jalan itu bernama prisca theologia. Dalam sejarah akademis konvensional, jalan yang berarti ‘teologi kuno’ ini baru disebutkan oleh Marsilio Ficino pada abad ke-15 di Florence. Tapi dalam kisah yang kita pahami sebagai sejarah dari luar historiografi modern, ajaran tentang prisca theologia ini sudah ada sejak pertama kali Sang Sumber Pengetahuan menemukan lidah manusia untuk menyampaikan ajaran tersebut kepada yang lain.
Tapi di atas jalan itulah kita melihat berbagai cara yang begitu rumit untuk menempuh jalan itu. Kerumitan-kerumitan yang datang bukan dari belitan wacana yang menyertainya – kita bisa membaca ratusan bahkan ribuan buku mengenai semua itu – tapi dari kesederhanaan tuntutannya. Persoalannya, manusia, terutama manusia modern saat ini, tak lagi mampu merangkul kesederhanaan.
Kamu akan mencapai pencerahan, konon demikian kata Sang Buddha, jika kamu mampu memperhatikan napasmu dalam, katakanlah, satu jam saja tanpa terputus. Begitu sederhana. Tapi adakah kita mampu melakukan itu? Ketika Logos meniupkan jiwa ke dalam gumpalan daging di rahim ibu kita, dia meniupkan pula seluruh Forma yang memberi kita gambaran akan apa yang bisa kita ketahui. Tapi tampaknya, itu harus kita bayar dengan ketidakmampuan menjadi sederhana.
Bahkan sejumput identitas kita adalah campuran yang begitu rumit dari kenangan dan harapan. Sedemikian rupa sehingga kita tak lagi bisa hidup dalam realitas sejati di sini dan di kini. Sedemikian rupa sehingga kita tak pernah lagi bisa, atau tepatnya mampu, untuk dilahirkan kembali; menjadi manusia baru.
Ketika Eropa Barat memulai perjalanan mencari leluhur mereka, ignorantia atawa ketidaktahuan adalah kata kunci untuk berada di atas jalan itu. dan mereka menemukan lebih banyak pengetahuan, cukup banyak untuk menghancurkan diri lama mereka dan, dengan tuntunan para leluhur, lahir kembali sebagai manusia-manusia baru. Kisah Eropa setelah itu adalah kisah tentang kejayaan para dewa.
Di tingkat pencarian individual, itu berarti upaya yang tidak mengenal lelah untuk meninggalkan ego yang serba tahu dan memulai upaya mengenal diri. Di atas jalan prisca theologia, diri dikenali dengan mengenali leluhur dan mengenali leluhur adalah cara menjadi Diri. Sayangnya, itu terlalu sederhana dan ego selalu punya cara dan argumentasi untuk melalaikan kita dari itu.
Ego telah mengenali diri lewat ketetapan yang diciptakan oleh arus pikiran kita dalam sekian tahun usia yang kita lewati. Di situ ada kenangan kita – termasuk apa-apa yang telah diajarkan pada kita oleh sistem moral dan sosial kita – juga harapan – yang seolah merupakan harapan kita, padahal hanya ilusi tentang masa depan yang kita ciptakan untuk menjaga identitas bentukan ego.
Menjadi diri sendiri dalam skema ini adalah bujukan yang sangat berbahaya untuk berdiam dalam ilusi tentang siapa kita. Apa yang kemudian terjadi? Kita merasa takut untuk berubah, gelisah dengan perubahan yang akan terjadi pada kita, lalu ego kita akan menjadi semakin mengeras dan cara yang sederhana untuk menjadi manusia baru akan tampak sebagai ancaman, jika bukannya kejahatan.
Ubermensch, manusia dengan diri-utuh, adalah musuh besar ideal kawanan yang dibentuk dalam masyarakat kita. Dan setiap ajaran yang akan membawa manusia ke arah itu, seperti yang banyak terdapat dalam esoterisisme Barat juga berbagai bentuk esoterisisme lainnya, akan tampak sebagai subversi – sebentuk kejahatan dan kesesatan – yang harus dihancurkan.
Pada tingkat individual, ketika kau mulai berpikir bahwa jalan itu terlalu rumit dan jahat, kau sesungguhnya sedang menggemakan suara dari masyarakatmu, suara yang telah ditanamkan di dalam benakmu sejak kamu lahir. Suara yang dalam identifikasi Michel Foucault, telah menciptakan tubuhmu menjadi docile body alias tubuh yang patuh.
Kita bisa bicara tentang esoterisisme Barat dari titik manapun dalam sejarah, dalam konsepsi, dalam keanggunannya menemukan Sang Sumber. Kita hanya tak siap untuk menjadi sederhana dalam pencarian itu. seperti dalam hakikat filsafat ketika kita mempelajarinya. Ribuan konsep dan teori hanyalah kerumitan diskursif yang mengarah pada satu tujuan, kehidupan praktis yang harus terus diuji.
Persoalannya, membicarakan ujian kehidupan jauh lebih nyaman bagi ego yang telah mengeras daripada menjalani hidup dalam ujian. Kenapa? Karena mengutip ungkapan Sokrates itu “hidup yang tak diuji tak layak dijalani” dan menjadikannya status Facebook, serumit apapun artinya, masih jauh lebih nyaman daripada menjalani hidup yang selalu diuji.
Dan itulah alasannya kenapa esoterisisme Barat, seperti juga berbagai esoterisisme lainnya, dalam jalan prisca theologia, menjadi harta terpendam umat manusia.; neraka bagi manusia normal, surga bagi orang-orang gila. Dan saya sedang bicara tentang Nietzsche dalam kerangka Kabbalah-Hermetik.
Manado, Februari 2021
Discussion about this post