Merambah kesenian Bitung, tak ada yang lebih menarik dari membincangkan Axsel dan Sanggar Tangkasi. Mereka adalah sebuah magnitude dan sebuah fenomena, menarik ditelusuri dalam jagat perbincangan jejak teater modern di Manado.
Kiprah dramawan Leonardo Axsel Galatang sejak 37 tahun silam, kini menjelma menjadi “mantra” dalam alur sejarah sastra dan teater di atas lanskap berjuluk kota Cakalang. 37 tahun bukanlah usia pendek untuk sebuah sanggar seni di Indonesia. Dalam carut-marut kultur pembinaan seni di negeri ini, banyak sanggar seni punah dalam waktu hidup yang sangat singkat. Tapi di Bitung, Tangkasi bisa bertahan sejauh itu dan terus menyerbu dan mengisi semarak perkembangan teater modern di Manado.
Kesempatan pertama, saya harus menyebutkan, sanggar ini tak saja dibangun di atas semangat, namun juga lewat tetesan darah dan pesan perih yang luar biasa dan panjang.
Tahun 2011, kepada saya, Axsel menuturkan falsafah hidupnya: “Kemiskinan adalah satu-satunya hartaku, dan tidak akan (pernah) aku jual, sampai kapan pun. Aku bukan malaikat, tapi aku selalu berusaha untuk tidak jadi iblis. Aku selalu melawan arus, sebab yang ikut arus hanyalah sampah, dan aku tidak ingin jadi sampah”.
Senin, 6 April 2011, pukul 14.30 WITA. Hari itu bau ikan kaleng menyeruak dari pabrik pengalangen yang berjejer di gerbang Kota industri Bitung. Kota yang dibangun di atas dataran pasir di lembah gunung Dua Saudara yang langsung menghadap lautan pasifik.
Udara di sini begitu panas dipantul pasir tanah dan uap hangat yang dihembus lautan khatulistiwa. Selalu di atas 30 derajat celcius. Panas yang menggurat karakter manusia; dimana senyum dan amarah pias dalam waktu yang sama.
Masih tentang Bitung! Kapal-kapal niaga berbobot muat ribuan ton berbaris seperti antrian ikan palagis yang tiba di pusat pengalengan dan pengemasan ikan ekspor, yang sejak bayi menyusuri laut benua dingin dan menikmati kedewasaanya di laut hangat khatulistiwa.
Seperti itulah kapal-kapal ini, datang dari berbagai benua dan jazirah, dan tiba menunggu giliran membongkar muatan di pelabuhan samudera internasional yang terletak di selat yang terapit sebuah pulau bernama Lembeh.
Ini sebuah kota laut yang indah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terdinamis di jazirah provinsi Sulawesi Utara. Dan, Tangkasi, seperti sebuah Negara Kesenian. Sang presiden dibantu para menteri yang membawahi departemen. Sebuah sistem pembinaan yang terorganisir dan unik. Ribuan anak binaan sanggar ini setiap 2 bulan akan menggelar pekan Seni dan Teater. Dan setiap 1 tahun, pada Bulan November di gelar puncak festival seni dan teater.
Di Bitung, teater seperti wabah. Seperti Covid-19, selalu ada di mana-mana, dan terorganisir apik. Teater menjadi semacam kekuatan politik yang punya bargaining terhadap kekuasaan dan kebijakan publik. Di tahun-tahun itu, suara Sang Presiden di dengar Walikota bahkan mempengaruhi kebijakan DPRD.
Ketika Tangkasi lewat presidennya menyeruhkan pemerintah agar membangun sebuah gedung kesenian, Pemerintah Bitung dan dewan langsung bergegas mengetuk palu APBD, dan kini sebuah gedung kesenian dibangun dengan anggaran Rp 23 miliar untuk tahap satu berdiri megah di sana. Dan sudah dipugar dalam tahap II sejak tahun 2019. Gedung ini merupakan pusat kesenian termegah di Indonesia Timur.
Mengapa Tangkasi bisa mempengaruhi political will penguasa? Kisahnya sederhana. Dalam kurun 37 tahun, anak-anak didik Sanggar Tangkasi kini sudah menguasai lebih dari separoh kursi parlemen di kota itu. Yang lainnya menjadi kepala-kepala dinas instansi pemerintah. Bahkan ada yang pernah jadi Wakil Walikota. Pimpinan partai politik, pimpinan organisasi keagamaan seperti pendeta di gereja. Guru. Pimpinan LSM dan perusahaan swasta serta BUMN.
Uniknya, Kota Bitung terdiri dari 8 wilayah kecamatan, dan pernah semua Camatnya adalah anggota Sanggar Tangkasi. Dapat dibayangkan bagaimana suasana Musrembang dalam memberi masukan bagi penetapan dan implementasi program pembangunan dalam APBD tahunan, bila suara Sang Presiden tidak terakomodir? Yang pasti kacau balaulah kejadiannya.
Tapi Axsel bukanlah seorang politisi meski latar belakang pendidikan tingginya dari fakultas sosial politik. Ia seniman sejati. Ia berjuang untuk kebenaran. Ia berpihak pada kepentingan rakyat. Ia patuh pada aturan baku pemerintah. Tapi juga ia hidup dengan kemerdekaan penuh, dan menolak pembatasan yang membunuh eksistensi dan martabat seorang manusia. Karena ia menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Ia hidup di rumahnya yang sederhana, karena menolak bantuan siapa pun yang menurutnya itu membuat ia lemah. Ia makan dari buat keringatnya sebagai seorang jurnalis sebuah koran harian. Ketika para jurnalis menjadi kaya karena bargaining kepentingan dengan penguasa, Axsel memilih miskin, kerena kemiskinan adalah kekayaannya.
Ia mengidap penyakit persendian dan maag akut. Kini, jantungnya terpasang 3 ring. Namun ia tak meminta belas kasihan, meski ia telah membina puluhan ribu anak binaan Tangkasi yang kini telah menjadi orang sukses. Siuran senyum anak-anak didiknya cukup membuat ia puas dan bahagia. Ia memilih tak menikah. Karena pernikahan baginya adalah sebuah pemborgolan kemerdekaan individu. Tapi ia punya beberapa anak angkat dan anak pelihara.
Ketika saya menemuinya waktu itu, ia mengajak saya menggunjungi 3 grup teater binaannya yang lagi latihan menjelang pekan teater 2 bulanan yang akan digelar. “Inilah aku!” serunya kepada penulis dengan suara gagapnya yang kental, saat kami akan berpisah. Dalam perjalanan pulang ke Manado, membersit tafsiran: Ia memang seorang nabi kesenian, “Sang Penyulam Peradaban”. Ia dilahirkan dalam berbagai tragika yang sejatinya miris namun menakjubkan.
Pengalaman lain, di suatu sore, saat matahari masih terik, di tahun 1981, di bilangan jalan Sam Ratulangi, Manado, di antara lapar dan haus yang terkadang membuat limbung, saya pertama kali bertemu Leonardo Axsel Galatang. Kami bersua tepatnya di kantor Koran Harian Obor Pancasila saat mengambil honor dari puisi-puisi kami yang diterbitkan koran tersebut, lalu beranjak ke rumah es Rivera di Shopping Centre yang terletak di pusat kota.
Sebagai pelajar SMA, ketika itu, ia sosok lelaki belasan tahun dengan ekspresi yang lebih matang ketimbang usianya yang remaja. Rambutnya ikal, tubuhnya kering dan cada, namun senyumannya lugu dan surga. Dan barangkali, ia juga belum punya pengalaman sepotong pun tentang berciuman dengan seorang gadis –saya pun demikian—karena kami hidup di era ketika tata krama masih sangat lekat terjaga, dan kesenian dipandang sebagai musuh penguasa.
Sejak SMA, saya dan Axel memang gemar mengirimkan puisi dan cerpen kami ke berbagai media massa yang terbit di Manado. Dari aktivitas bersastra itulah kami sering mendapatkan segepok uang honorarium, seperti yang kami jemput hari itu sebagai karunia yang patut dinikmati dengan kebanggan lebih.
Sebagaimana Oscar Wilde, menutup cerpennya “The Happy Prince” dengan epilog paling mengguncang, siapa menyangka, menjelang 40 tahun kemudian Axsel menjelma raksasa susastra dan drama di kota Bitung, yang merupakan tempat tinggalnya sejak kecil. Sanggar Seni Tangkasi yang dibinanya, yang disebutnya sebagai sekolah peradaban berhasil menuntun ribuan generasi berikut ke puncak-puncak sukses.
Di Hamburg, Jerman, Marsel Rakinaung, seorang anak binaannya kini menjadi ahli di bidang konstruksi pesawat terbang dengan gelar doktor yang menjadi tenaga ahli dalam industri pesawat terbang Boeing Commercial Airplanes. Juga ada DR Rizal Marcos Lumombo (sekarang akademisi) dan DR Fitri Mamonto.
Tangkasi juga berhasil mengantar 1000 lebih anak-anak binaannya menyandang S1, S2 sebanyak 107 orang, dokter 27 orang, pengusaha sukses kurang lebih 60 orang baik di Bitung (Sulut) maupun di luar daerah, TNI – Polri kurang lebih 100 orang, ASN lebih dari 1000 orang dan pendeta 42 orang.
Siapa sejatinya Axsel? Siapa sejatinya ia yang kubayang sebagai seorang lelaki yang percaya bahwa dirinya sebuah gasing sebagaimana tokoh yang digambarkan Edgar Allan Poe dalam karyanya tentang sebuah rumah sakit jiwa Maison de Sante?
Ia lahir di Bitung, 27 Maret 1963. Pendidikan terakhir Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STIPOL) Merdeka Manado. Bekerja sebagai wartawan di Harian Manado Post hingga pensiun. Mulai menulis puisi sejak di bangku SMP. Saat di bangku SMA Negeri Bitung (1980 -1983), puisi-puisinya, menghiasi Majalah Dinding sekolah, dan berbagai media cetak.
Selain aktif menulis puisi, Axsel juga menulis naskah drama, cerpen dan esei. Ratusan puisi dan seratusan naskah drama telah ditulisnya.
Tahun 1983 Axsel mendirikan Teater Repsas. Namun grup teater yang didirikannya ini hanya berumur setahun. Setelah menggelar dua kali pementasan musikalisasi puisi, Axsel ditangkap aparat Orde Baru dengan dalih pementasannya tak berizin dan puisinya dianggap ‘menghasut’ dan ‘merongrong’ penguasa. Lepas dari tahanan aparat, Axsel mengganti nama sanggar teaternya menjadi Sanggar Tangkasi sampai sekarang.
Bersama Tangkasi Axsel produktif menggelar pembacaan Puisi dan pementasan Teater. Tahun 1986 Axsel lagi-lagi ditangkap karena menggelar pementasan tanpa izin di Balai Pertemuan Umum Bitung. Kali ini ia bukan sekadar diinterogasi, tetapi ‘’dibina’’ hingga babak belur. Bahkan dalam kondisi sekarat ia dibuang ke bak penampungan air hujan dan disuruh ‘menghabiskan satu balok sabun cap tangan.
Ayahnya dan ibunya dijemput paksa dan diinterogasi selama dua hari. Ratusan puisi dan teks drama karyanya disita dan dibakar. Beruntung, ada seorang tokoh pendidikan: Jacob Hendrik Bororing, yang berani pasang badan sehingga Axsel dan orang tuanya dilepaskan dari tahanan.
Akibat ‘’pembinaan’’ ala aparat tersebut, Axsel mengalami cacat permanen: betis kanannya harus disambung dengan platina dan dia menjadi gagap karena sarafnya terganggu.
Kapok? Tidak. Karena, sejak peristiwa tragis itu, semangatnya makin membara. Apalagi, ketika rezim Orde Baru ‘’tumbang’’, Axsel dan Tangkasinya makin produktif menggelar pementasan drama dan pembacaan puisi. Bahkan, sejak 2001, Tangkasi telah melebarkan ‘sayap’’nya dengan mendirikan Sanggar binaan di seluruh SMP dan SMA/SMK di kota Bitung. Tiap tahun, sanggar binaan itu ‘diadu’ lewat panggung Festival Kesenian Tangkasi. Sanggar Tangkasi kini memiliki ribuan anggota. Axsel sendiri dibaptis anak- anak binaanya jadi Presiden Tangkasi Kota Bitung.
Sejak 1989, Axsel berteriak menuntut pemerintah kotanya membangun gedung kesenian. Pemerintah akhirnya mendengar teriakan pengagum Gabriel Garcia Marquez dan Nelson Mandela ini. Kini, gedung kesenian berbanderol 23 miliar berdiri anggun di Bitung. Masyarakat, pemerintah dan DPRD Kota Bitung berniat ‘’mematenkan’’ nama Leonardo Axsel Galatang sebagai nama resmi Gedung Kesenian itu. Tapi, dia tegas menolaknya. “Saya bukan pahlawan. Saya hanya budak kesenian yang menjalankan tugas sebagai murid abdi kehidupan.’’
Karya-karyanya yang telah diterbitkan: Riak Utara, Antologi Puisi 1987 diterbitkan Pusat Pengabdian Pada Masyarakat IKIP Negeri Manado. Enam Penyair Sasambo, Antologi Puisi 1991 diterbitkan Forum Komunikasi Seni Budaya Sangihe Talaud. Nyanyian Dari Tingkungan, Kumpulan Drama 2007 diterbitkanSanggar Tangkasi Bitung. Dendang Bocah Gelombang, Kumpulan Drama 2013 diterbitkan Yayasan Istitut Seni Budaya Sulawesi Utara. Selendang Sutra Jingga, Kumpulan Drama 2017 diterbitkanYayasan Serat Manado dan Balai pelestarian Nilai Budaya Manado. Album Musikalisasi Puisi: Lagu Patriotisme 2016, Tangkasi Project. Album Musikalisasi Puisi: Episode Cinta 2017,Tangkasi Project. Ia juga penerima sejumlah penghargaan dari berbagai lembaga dan pemerintah Indonesia. (*)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post