Sefirot bukanlah jawaban akhir bagi problem penciptaan yang telah mengusik keingintahuan purbawi umat manusia. Tapi kita boleh menganggapnya sebagai jawaban utama; tentu dengan catatan bahwa apa yang kita sebut “jawaban” itu adalah rangkaian mitis-simbolis dengan bunyi berbeda bagi setiap orang yang mempelajarinya.
Kisah tentang Sefirot yang bermakna “emanasi” adalah kelanjutan sempurna dari kehadiran ketiga status ilahiah yang menjadi muasal penciptaan kabbalistik. Adalah Kehendak Ein Sof dalam status cahaya ketakterhinggaan Ein Sof Aur yang menjelma sesuatu di samping Adanya. Literatur Kabbalah menyebutnya Keter atau mahkota.
Kehendak tersebut kemudian menjadi Rancangan, sebuah program bagi masa depan yang disebut Hokmah atau kearifan. Tapi Kehendak dan Rancangan ini hanyalah potensialitas. Apa yang membayangkan suatu ‘sebelumnya’ dan suatu ‘sesudahnya’ di luar batas ruang dan waktu serta, tentu saja, pemahaman kita.
Keduanya tak bisa memulai kehadiran semesta terbatas dari ketakterbatasan. Adalah ruang dan waktu yang menjadi pembatasnya dan adalah ruang dan waktu yang tak dikenali dalam kehadiran keduanya. Tapi ketakterbatasan keduanya sudah dengan sendirinya merupakan mula bagi keterbatasan itu sendiri.
Kita boleh membayangkan kesulitan penjelasan ini dengan membacanya dari kerangka dialektika. Karenanya tidak mengherankan jika kita temukan bahwa “dialektika” adalah bahasa logika kabbalistik yang kemudian dipopulerkan oleh para idealis Jerman, terutama Fichte dan Hegel.
Dalam kerangka dialektika, potensialitas Keter dan Hokmah, Kehendak dan Rancangan, sebelum dan sesudah, dalam ketakterbatasan, sudah mengandung pada dirinya segala yang mungkin bagi Ada dan, meminjam bahasa kaum Platonis, segala sesuatu yang mengambil bagian di dalam Ada. Kandungan inilah yang disebut Binah atau pemahaman.
Baca tulisan lainnya bertema Esoterisisme di sini
Dengan imajinasi puitis kita boleh membayangkan Binah sebagai mata air agung yang darinya memancar keberadaan ilahiah. Sebab bagi munculnya segala sesuatu yang menjadi sebab bagi keberadaan semesta. Konsepsi semacam ini tidak akan terlalu sulit untuk kita pahami jika kita sadari bahwa membicarakan Sefirot adalah membicarakan “sumber keberadaan” di dalam namanya.
Ontologi Kekosongan
Tajalli (emanasi) pertama Zat Mutlak dalam Arabi adalah “Allah” sebagai nama agung bagi segala nama-sifat ilahiah. Sefirot, dalam tafsiran saya, adalah uraian mistis-esoteris bagi pengenalan pertama ini. Artinya, membicarakan Sefirot dalam kerangka penciptaan, masih sangat jauh dari membicarakan keberadaan semesta material atau segala yang kita kenali sebagai semata adaan.
Membicarakan Sefirot dalam wawasan ontologis adalah membicarakan mula bagi Ada sebagai yang mungkin bagi pengenalan (recognition). Dalam pembicaraan ini, konstelasi Keter-Hokmah sebagai potensialitas Ada yang mengandung Binah harus dipahami sebagai kandungan bagi sebab Ada.
Secara sederhana, pikiran ontologis memang hanya akan mengakui segala yang dikenali sebagai Ada. Tapi kontradiksi pertama ajaran Kabbalah, sebagaimana setiap ajaran esoteris lainnya tentang penciptaan, adalah pengenalan kita terhadap Ketiadaan sebagai mula Ada yang dengannya kita akan menjelaskan adaan.
Itulah kenapa Arabi menjadi tampak berbeda dari sesama rekan Islamnya dan Boehme tampak menyimpang dari sesama rekan Kristennya. Mereka berbicara tentang Ada sebagai yang bermula dalam Tiada. Saya lebih suka menyebutnya sebagai “ontologi kekosongan” dengan meminjam konsepsi Buddhis dan Kejawen mengenai Suwung a.k.a. Sunyata sebagai sumber dan tujuan segala sesuatu.
Dan adalah “Allah” sebagai nama agung Zat Mutlak, yakni kekosongan agung yang tak terkenali dan tak terpahami, merupakan potensialitas sumber dan tujuan dari segala sesuatu, bahkan dirinya sendiri. Kita mengenali kekosongan agung di dalam nama agung ini, seperti peringatan teosofis Boehme bahwa Tuhan yang tak dikenali adalah Tuhan yang “Tiada.”
Itulah kenapa seorang Muslim menyembah Allah dan seorang Kristen mengimani ketuhanan Yesus. Khusus bagi Yesus, menarik untuk memahami wawasan teosofis Boehmean akan sensualitas kedagingan Tuhan; radikalitas pengenalan akan Tuhan dalam sentuhan inderawi, sebentuk ajaran tak-dua (advaita) yang mengingatkan kita akan eksistensialitas daging sebagai bait Allah.
Kembali pada Sefirot sebagai penjelasan mitis-simbolis mengenai “Allah” dalam tajalli penciptaan kosmos, kini mestinya menjadi jelas bahwa kita bukan hanya tidak sedang berbicara tentang emanasi dari semesta terinderai tapi juga dari segala yang mungkin terdefinisikan dalam rasio identitas kita. Sefirot bicara dalam bahasa logos sebagai “kata” bagi segala yang mungkin untuk kita kenali di luar pembatasan (definition).
Dua kekuatan yang muncul dari Binah sebagai mata air agung emanasi Kehendak dan Rancangan adalah mode yang dengannya keberadaan ditata. Di sisi kanan adalah Hesed atau cinta yang mengekspresikan sifat ‘Allah’ sebagai pengasih dan penyayang dan, di sisi kiri, Gevurah atau kekuatan yang mewakili hukum dan keadilan ilahiah.
Bisa kita lihat bahwa Hesed dan Gevurah adalah dua atribut emotif dari rangkaian Sefirot. Kualitas yang dengannya kita bisa memahami Kehendak sebagai yang sebelum dari ketakterbatasan – idiom sumber sebagai sebab Ada – dan Rancangan sebagai yang sesudah – idiom tujuan sebagai akibat Ada – dalam formasi wacana darinya dengan cinta dan kekuatan serta kembali padanya pun dengan keduanya.
Secara dialektis, keduanya kemudian bergabung dalam emanasi berikutnya, nama keenam dari Pohon Kehidupan kabbalistik, yakni Tiferet alias keindahan. Tak ada keberadaan yang bisa bertahan hanya dalam cinta atau kekuatan semata. Tak ada ciptaan yang bisa berada dalam sumber tanpa kembali kepadanya.
Tiferet adalah penciptaan campuran atas keduanya, cinta dan kekuatan, Jalan dan Kebenaran untuk menemu Hidup dalam identifikasi Yesus mengenai dirinya. Tidak ada yang terlalu unik dari kombinasi dialektis Hesed-Gevurah dalam Tiferet bagi pengetahuan esoteris agama-agama serta berbagai bentuk spiritualitas lainnya dalam ekspresi kebudayaan yang pernah ada dalam sejarah manusia.
Orang Jawa mengenal prosesi Eling dan Sajen sebagai penyembahan dan persembahan yang dilakukan dalam bahasa cinta dan kekuatan sebagai proses “dari dan kembali.” Seperti juga kaum Buddhis menemukan keindahan hidup meditatif dalam cinta atas semua makhluk sebagai kekuatan itu sendiri. Dan saya sendiri begitu takjub menemukan model trinitas Hindu dalam keindahan Brahman sebagai ejawantah dialektika kabbalistik cinta Wisnu dan kekuatan Siwa.
Tiga rangkaian emanasi selanjutnya adalah penjelasan yang rumit namun indah mengenai Kehendak dan Rancangan yang melahirkan mata air agung penciptaan. Netzah atau keabadian adalah nama ketujuh dari sepuluh nama dalam Sefirot yang menunjuk pada daya tahan dan kemenangan dalam kesatuan “pilar kerahiman” yang juga terdiri dari Hokmah (kearifan) dan Hesed (cinta).
Dalam formasi ‘pilar kerahiman’ ini Kearifan melahirkan Cinta yang membawa pada Keabadian sebagai kemenangan. Dalam formasi ini pula kita bisa memahami bagaimana segala sesuatu yang mengambil bagian dalam Ada – Allah – memuat pada adanya keabadian sebagai percik ilahiah yang menjadikannya ada.
Dalam kerangka gagasan ini, kita harus kembali pada ketiadaan sebagai sumber. Di sini, keabadian yang memercik dalam keberadaan kita baru akan kita peroleh setelah mencapai sunyata, kekosongan. Kita baru mencapai keabadiaan setelah kita menjadi “tiada” dalam pengertian yang paling tidak mudah dipahami dari kata itu.
Selama kita masih ada, dalam arti hanya berganti tubuh atau hadir dalam alam yang lain, selama itu pula kita akan mengenal “derita ketidakabadian” yang terus menerus. Mati sebagai dukkha, misalnya, bukan keterputusan kita dari hidup tapi merupakan “hukuman” untuk kembali hidup. Mati sebagai dukkha adalah status sekaligus proses bagi kefanaan yang terus menerus.
Realitas tak-dua
Jika Netzah adalah forma yang lebih rendah dari Hesed dalam ‘pilar kerahiman’ maka nama kedelapan Hod atau kemuliaan adalah forma yang lebih rendah dari Gevurah. Keduanya, Netzah dan Hod, adalah analogi kiri dan kanan dari realitas dualistis semesta, terutama diri kita sebagai manusia. Di dalamnya, kita menemui segala pengertian kita akan dualitas dunia inderawi sebagai rentang “halangan” yang mesti kita tembusi dengan Pengetahuan Absolut.
Sefirot tidak dibuat sebagai aparat pengetahuan untuk memahami semesta dan diri kita dalam cara kerja dualistis dunia inderawi. Tapi lewat Sefirot kita akan menemukan banyak wawasan mengenai dualitas itu dan realitas keterbatasannya. Hakikat Pengetahuan Absolut dalam Sefirot adalah yang tak-dua sebagai muasal sekaligus status absolut ontologi. Kebenaran yang sesungguhnya dari dualitas dunia inderawi dalam status ini adalah terketahuinya pertentangan sebagai realitas adaan yang harus kita lampaui.
Melampaui pertentangan itu adalah memahami Netzah dan Hod sebagai bagian dari dua sumbu Sefirot. Sumbu kanan sebagai gambaran dari kekuatan ekspansi dan sumbu kiri sebagai gambaran dari kekuatan restriksi. Sehingga, jika dengan Netzah kita melihat upaya untuk melepaskan diri, maka dengan Hod kita melihat upaya untuk menyerahkan diri.
Melampaui keduanya adalah proses untuk kembali pada kesatuan lewat beberapa tingkat pemahaman. Dari dualitas Hesed-Gevurah sebagai atribusi emotif ke dualitas Hokmah-Binah sebagai atribusi intelektual untuk menemui sumber tertingginya yakni percik pertama cahaya ketakterhinggaan, Keter.
Dalam Arabi, semua itu adalah realitas keagungan Sang Nama; Allah, al-ilah, “tuhan itu” sebagai tuhan yang ada karena bisa dikenali. Sekaligus pernyataan yang pahit bahwa batas pengetahuan kita memang hanya sampai di situ. Melampaui itu adalah kemustahilan pengetahuan manusia karena ketiadaan nama adalah kemutlakan yang bukan merupakan realitas kita tapi sekaligus jawaban kenapa ada Sefirot dan kenapa kita harus mempelajarinya.
Adanya sumbu ketiga dalam Sefirot, yakni sumbu tengah yang merupakan sublasi ke bawah dari kedua sumbu kanan-kiri, dalam proses balik ke atas untuk menemui sumber yang satu merupakan jawaban mitis-simbolis yang bisa diajukan bagi kemustahilan dualitas dalam emanasi teogonis. Yang agung dan tak terbatas tidak mengenal dualitas. Adalah rancangannya bagi kita untuk mengenali dualitas itu sebagai cara menemui yang tak-dua.
Pengetahuan, dalam hal ini, adalah titik pijak bagi pengalaman kita. Sefirot adalah jawaban bagi kehendak kita untuk mengetahui sekaligus petunjuk bahwa pengetahuan itu hanya akan tinggal sebagai informasi yang sia-sia jika kita tidak memulai proses untuk mengalaminya. Itulah yang dalam khasanah esoterisisme Barat disebut dengan gnosis, pengetahuan yang teralami.
Dalam gerak emanatif penciptaan, pertemuan Netzah-Hod memunculkan Yesod atau fondasi. Tahap kesembilan dalam emanasi ini dapat diimajinasikan sebagai kendaraan untuk membawa kuasa ilahiah ke alam yang lebih rendah. Kita boleh saja membayangkan alam yang lebih rendah itu sebagai dunia material-inderawi tapi saya memahaminya sebagai alam tindakan ilahiah yang berada pada tingkat yang lebih rendah dari alam nama-sifat dalam struktur emanasi Arabi.
Representasi kehadiran yang-ilahiah di dunia material-inderawi adalah hukum alam material yang dilatari oleh tindakan ilahiah. Rab dalam bahasa Arabi atau Wisnu dalam imajinasi kreatif Vedik. Pemelihara yang karenanya kita menemukan bukan hanya kosmos sebagai tatanan tapi juga sebagai keindahan. Dan Yesod menjadi fondasi bagi tatanan keindahan semesta material itu.
Itulah kenapa Abu Bakr al-Razi, seorang filsuf Muslim Platonis, mengumumkan kekekalan materi seperti juga Tuhan, jiwa, waktu dan ruang. Dalam narasi al-Razi, pertemuan jiwa dan materi melahirkan kekacauan pada semesta yang hanya bisa ditertibkan oleh peran Tuhan, tentunya, lewat daya ilahiah yang memelihara.
Kebaikan Ein Sof adalah Sefirot sebagai pengetahuan akan penciptaan yang memberi manusia jalan untuk kembali kepada sumber yang merupakan mula adanya. Tentu itu bukan hadiah yang mudah untuk dipelajari karena Kebenaran tidak pernah bermakna tunggal dalam dunia yang dilimbur oleh keberbagaian dan serba kemungkinan.
Hanya kesanggupan untuk membuka mata yang akan mempertemukan kita dengan Logos, kata sebagai Firman, wujud dari Jalan, Kebenaran dan Hidup. Kita, setelah itu, akan mengenali kesatuan dalam segala. Dan dengan cara seperti itulah juga kita menemui Malkuth atau kerajaan sebagai nama terakhir dari sepuluh nama dalam Pohon Kehidupan kabbalistik ini. (bersambung)
Manado, 8 September 2020
Rabbi Behmen
Discussion about this post