Jika benar-benar kita pelajari, Platonisme –dan dengannya saya maksudkan juga Neoplatonisme– sesungguhnya merupakan ajaran filosofis yang paling berbahaya yang pernah ada di muka bumi ini. Bukan karena mazhab filsafat ini mengajarkan sebentuk gagasan politik yang dianggap anti-demokrasi, tapi karena ia muncul, selalu, untuk menggoyahkan kemapanan dan dogmatisme dari ajaran yang paling pervasif sekaligus paling posesif dalam sejarah umat manusia, yakni agama. Platonisme, dalam skema pendapat ini, adalah energi intelektual bagi kreativitas filosofis (atau lebih tepatnya teosofis) dari para pemikir keagamaan (atau lebih tepatnya spiritual) di berbagai belahan bumi.
Sejarah agama Kristen di dunia Barat adalah salah satu petunjuk terbaik untuk menjelaskan hal itu. Ketika agama Kristen menemukan Aristotelianisme, darinya lahir teologi Kristen. Tapi ketika agama Kristen menemukan Platonisme, darinya lahir teosofi Kristen. Yang pertama adalah penjelasan dogmatik dengan argumen filosofis yang sedemikian canggih mengenai paham ketuhanan Kristen yang kepadanya segala sesuatu terkait. Yang kedua adalah penggunaan imajinasi kreatif untuk mencapai pengetahuan ilahiah yang bersifat pribadi dan eksperiensial atas apa yang coba dijelaskan oleh dogma Kristiani. Yang pertama membentuk ortodoksi, yang kedua melahirkan heterodoksi.
Jika saya mempercayai ketuhanan Kristus, Anda tidak bisa dengan seenaknya menuduh saya seorang Kristen jika dengan itu Anda maksudkan sebuah identitas relijius yang bersandar pada dogma-dogma mendasar Kristianitas dari model denominasi teologis manapun. Karena saya bisa jadi adalah seorang teosof. Sebagaimana Anda akan menjadi terlalu konservatif dan keras kepala untuk mengambil satu dari kedua posisi ini dalam membaca Ibn Arabi, seorang Platonis Islam yang membentuk bangunan megah teosofi Islam dengan arsitektur gagasan yang begitu menakjubkan bahkan jika dibandingkan dengan model teosofi agama manapun.
Baca Tulisan Amato Assagaf bertema Esoterisisme di sini
Posisi pertama adalah begitu saja mengeluarkan Ibn Arabi dari kerangka ajaran Islam, umumnya dengan menganggapnya kafir. Posisi kedua adalah dengan begitu saja menganggap Ibn Arabi sepenuhnya bersesuaian dengan dogma-dogma Islam dan membayangkannya sebagai seorang Muslim seperti umat beragama lainnya. Tidak Ibn Arabi, tidak pula Maulana Rumi atau Suhrawardi al-maqtul bisa begitu saja dianggap Muslim dalam standar dogmatik-institusional seperti yang kita ketahui. Tapi menganggap mereka bukan Muslim pun lebih tampak sebagai kekurangtahuan jika bukannya ketololan. Posisi yang barangkali paling aman adalah memandang mereka sebagai para heretik. Artinya, orang-orang jenius yang akan selalu ada dalam setiap agama pada setiap zaman manakala agama membatu baik dalam dogma atau sebagai institusi.
Dan menarik untuk diperhatikan bahwa sebangun sekesadaran dengan kompatriot mereka para jenius heretik Kristen seperti Ficino, Pico, Agrippa, Paracelsus, Boehme dan Baader, para teosof Islam inipun adalah “korban” yang diberkati dari ajaran Platonisme. Bagaimana bisa? Rahasianya ada pada apa yang dalam dunia esoteris disebut sebagai “tradisi” sebagaimana yang dipahami oleh Gemistos Plethon – yang mungkin merupakan orang pertama yang membawa pengetahuan ini di dunia Renesans Barat. Maha guru sejarah esoterisisme Barat di Universitas Amsterdam, Wouter Jacobus Hanegraaff menyebut gagasan Plethon, bersama Ficino dan banyak pemikir sezaman sebagai Platonisme Orientalis. Saya tidak berkepentingan dengan nama itu, tapi menarik untuk melihat alasan penamaannya.
Plethon, dalam catatan Hanegraaff, menunjuk Platonisme sebagai satu arus pemikiran dalam silsilah panjang filsafat esoteris sejak dari dunia Timur. Menurut Plethon, seperti Pythagoras sebelumnya, Plato adalah turunan pemikiran dari magi Persia Zoroaster, nabi Yahudi Musa, dan nabi-magi Mesir Hermes Trismegistus. Saya tertarik untuk meneliti posisi Adi Shankara, Buddha dan Lao Tze dalam silsilah imajinal – bukan imajiner! – ini. Dan dengan keyakinan logis maupun intuitif saya berani katakan bahwa Arabi, Rumi dan Suhrawardi, untuk menyebut segelintir pemikir Islam di samping sejumlah besar lainnya, pula berada di dalam “tradisi” yang sama. Adapun Platonisme pada masing-masing mereka, baik secara teknis filosofis maupun sebagai percikan kearifan, adalah penanda utamanya.
Esoterisisme, seperti yang sudah saya singgung dalam seri tulisan ini sebelumnya, beririsan adanya dengan filsafat, sains dan agama. Sedangkan Platonisme, baik dalam arti sempitnya sebagai suatu mazhab filsafat tertentu maupun dalam arti luasnya sebagai bagian penting dari sebuah tradisi esoteris, juga menandai irisan ini. Tak heran jika Hanegraaff menyebutnya sebagai sumber dari gagasan paling dominan dalam esoterisisme Barat, yaitu Hermetisisme, atau bahkan keseluruhan esoterisisme Barat itu sendiri. Sedemikian sehingga menulis sejarah esoterisisme Barat sejak zaman Hellenis hingga di era kapitalisme tua ini seakan sedang menulis mengenai sejarah Platonisme, dengan atau tanpa menyebut nama itu.
Plato adalah titik tumpu bagi kelahiran Platonisme, tapi Platonisme sebagai suatu arus pemikiran yang bersifat radikal, baru memperoleh bentuknya dalam gagasan Plotinus serta, setidaknya, dua orang penerusnya Porphyry dan Iamblichus. Apa yang disebut Neoplatonisme adalah cara bagi sejarawan filsafat untuk mendeteksi keberadaan pemikiran gerombolan Plotinus ini sebagai sebentuk Platonisme yang tidak sepenuhnya setia pada model spekulasi rasional yang diandaikan sebagai titik tumpu filsafat. Logos, oleh Plotinus dan gerombolannya, telah digunakan dalam maknanya yang lebih simbolis sebagai ‘firman’ atau ‘kata’ yang justru melampaui wacana; sebentuk pemahaman akan ‘kata’ sebagai muasal, seperti dalam Yohannes 1:1, “In principio erat verbum” di mana ‘verbum’ adalah kata bermakna tunggal, logos sebagai ejawantah ilahiah.
Filsafat strictu sensu yang muncul kemudian tentu saja tidak akan merasa nyaman dengan pengertian logos yang seperti ini. Ada yang telah terlampaui, keluar dari definisi dan, dengan demikian, cara kerja rasio. Sebagaimana ‘ada’ tidak lagi “realitas” dihadapan ketelanjangan rasio, begitu juga pengetahuan bukan lagi soal rasio yang menjejaki tegangan antara subyek dengan obyek, antara kehadiran yang mencukupi dengan kemungkinan yang diperlukan. Filsafat lato sensu, sebagai filsafat pada mulanya, tak pernah bermasalah dengan spekulasi seperti ini hingga iapun tersingkirkan. Pada saat ini, kita bisa dengan nyaman membacanya sebagai mistisisme, esoterisisme atau okultisme. Saya tak ingin bicara tentang sejarah filsafat Barat dalam tulisan ini, tapi perlu saya sampaikan bahwa perjuangan untuk kembali pada pengertian filsafat yang lebih luas ini merupakan bagian dari sejarah filsafat Barat sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Lalu Platonisme – dan dengannya saya maksudkan terutama Neoplatonisme – dalam kemunculannya yang terserap di berbagai rangka filosofis pada berbagai ikhtiar pengetahuan, menjadi energi di belakang setiap spekulasi yang menggetarkan rangka ortodoksi keagamaan. Platonisme, misalnya, tidak hanya mengilhami kejutan bagi konsep penciptaan tapi juga pengertian kita akan Sang Pencipta dan hubungannya dengan segala ciptaan. Penemuan kearifan Timur dalam wacana esoterisisme Barat adalah jalan kembali kepada pengetahuan yang dituturkan Gemistos Plethon kepada Cosimo de Medici, serta sedulur dan kolega intelektualnya di Florensia yang menjadi basis politis Humanisme Renesans. Jalan kembali kepada “tradisi” yang didasari oleh keyakinan akan adanya kebenaran yang kuno dan kekal. Sebentuk ‘prisca theologia’ dan ‘philosophia perennis’ yang sejak akhir abad 19 telah dibahasakan oleh para esoterisis dan okultis Barat dalam berbagai ujaran dengan dua ciri yang kentara. Pertama, kritik yang serius terhadap ortodoksi agama-agama Abrahamik dan, kedua, penemuan kembali kearifan Timur lewat ajaran para saga seperti Adi Shankara, Buddha dan Lao Tze.
Men-timur-kan kembali agama-agama Abrahamik adalah upaya yang bisa mendatangkan bahaya oleh pengertian kita akan Timur, baik sebagai keberagaman kuantitatif dari pencapaian spiritual maupun sebagai satu kesatuan pengetahuan imajinal akan “tradisi” itu sendiri. Yang sesungguhnya dibutuhkan hanyalah pemahaman atas ‘kebenaran’ dalam, misalnya, jargon Theosophical Society, “No religion higher than truth.” Selanjutnya, sejumlah tertentu pengetahuan akan pencapaian intelektual dan spiritual pada pinggiran yang paling menakjubkan dari khazanah pengetahuan dalam masing-masing agama Abrahamik, seperti Kabbalah Yahudi, Teosofi Kristen dan Irfan Islam. Terakhir tapi tak bisa tidak, energi kreatif imajinasi Platonis.
Sedikit tentang perjalanan ke Timur. Ada yang tidak bisa dihentikan dari perjalanan yang telah dilakukan oleh para spiritualis, mistikus, esoterisis, dan okultis Barat itu. Dalam catatan sejumlah akademisi sejarah esoterisisme Barat, perjalanan itu adalah salah satu langkah yang menandai kemunculan dari apa yang kita kenali sebagai Gerakan Era Baru a.k.a. New Age Movement lewat ‘pasar bebas spiritual’ yang menggugat monopoli pasar spiritual oleh agama-agama terlembaga, terutama Kristen. Tapi jika kita memahaminya sebagai perjalanan menuju “Na-Koja-Abad” atau “land of No-where” alias “negeri-tanpa-mana” dalam mitologi Suhrawardi seperti yang dituturkan Henri Corbin, maka harus kita sadari bahwa tidak ada yang baru dari New Age. Di akhir “kegelapan” Abad Pertengahan, perjalanan itu telah mulai dilakukan saat dunia Barat menemukan kembali Platonisme. (*)
Manado, 16 Oktober 2020
Rabbi Behmen
Discussion about this post