Judul: Bencana Dan Wabah Tak Pernah Datang Sendiri
Wahai sahabat pelajar, wahai generasi pewaris peradaban dunia! Siapa sejatinya manusia? Siapa sejatinya kita? Inilah pertanyaan yang tak pernah terjawab tuntas. Ketika pandemi virus corona menerpa, sadarlah kita bahwa pertanyaan itu telah diabai sepanjang sejarah.
Sebagai makhluk yang berpikir, bukankah sepanjang hidup manusia harus menjawab pertanyaan sederhana dan mulia itu? Bahwa manusia adalah makhluk yang tak dapat hidup di tengah lingkungan alam tak seimbang.
Tapi di luar sana, di angkasa tak terkira, buah pikiran manusia pecah menjadi sampah. Menjadi onggokan satelit tua, menjadi roket-roket mengambang, kian lama kian menegaskan betapa bernafsunya kita menganggu keseimbangan alam, bahkan mencipta bencana bagi kehidupan.
Di luar sana, di tengah lingkungan hidup kita yang berseri, buah pikiran manusia pecah dalam wujud senjata-senjata pemusnah, dalam nuklir hingga senjata biologis. Semua itu kian lama kian menegaskan, betapa bernafsunya kita menghacurkan bumi tempat hidup bersama. Hutan-hutan digergaji, tanah dan laut disampahi. Teknologi yang harusnya menjadi sarana penunjang daya hidup, kini menjelma pemusnah makhluk hidup.
Hahahahaha… dramatis bukan! Ketika pandemi virus corona meyerbu kita, imunitas tubuh menjadi faktor penangkal utama. Tapi kita semua terlanjur bersalah, merusak alam dengan semena-mena. Padahal, bencana dan wabah tak pernah mengenal kata ramah.
Ketika sampah datang menusuk, ombak melontarkan bau membusuk dalam selebrasi kematian ganggang, plankton, ikan-ikan dan nyanyian nelayan sumbang di laut kosong, bukankah itu gambaran bahwa kita telah menuang racun ke tubuh? Lewat pangan yang tercemar, lewat udara yang terpolusi. Begitulah bencana bukan cerita bisu, tapi wujud dari cara hidup kita yang lusuh.
Sahabat pelajar, bicara kualitas udara yang menjadi faktor penting dalam memperkuat imunitas tubuh, marilah kita mulai dari sebuah pertanyaan: Tahukah kamu perjalanan kematian sebuah kantong plastik?
Sebuah kantong plastik kita buang di pinggir jalan suatu ketika akan sampai di laut, mengambang, menipu ikan-ikan, seakan ubur-ubur, seakan plankton, seakan ikan-ikan kecil mengkilap.
Sebuah kantong plastik kita buang di pinggir jalan suatu ketika akan dilahap ikan-ikan, dan kita melahap ikan-ikan yang melahap kantong plastik yang kita buang di pinggir jalan. Sejak itu perjalanan kematian sebuah kantong plastik merambah tubuh kita, mematikan sel-sel, merusak pencernaan.
Lewat kotoran kita, lewat mayat-mayat kita yang dikonsumsi mahkluk lainnya, perjalanan kematian itu terus berulang mengedari rantai makanan dalam lima ratus tahun menuju titik urainya.
Sahabat pelajar, selain pohon, plankton adalah penyumbang 80 persen oksigen di bumi. Ini sebabnya, menjaga keseimbangan hutan dan alam laut menjadi hal terpenting di abad ini. Karena bencana dan wabah itu tak pernah datang sendiri. Tapi lebih banyak disebabkan lalai manusia menjaga bumi.
Sementara dari empat samudera dunia 50 miliar botol plastik setiap tahunnya menghujam bumi dengan polusi, dengan racun kimiawi. 50 miliar botol plastik mematikan jutaan mamalia, ikan, burung, dan reptil. 50 miliar botol plastik mengotori wajah bumi dan planet ini seakan kuburan untuk mati. Laut dan sungai teraniaya. Plastik telah jadi bencana bahkan plankton tak bisa hidup karenanya. 50 miliar botol plastik, 500 milyard kantong plastik meneror bumi lewat gaya hidup kita setiap hari.
Lalu, di satu sisi Covid 19 adalah tragedy dan bencana kemanusian terbesar di abad ini, di lain sisi pandemi ini mendorong manusia untuk kembali merenungi diri: Siapa sejatinya manusia? Siapa sejatinya kita?
Wahai sahabat pelajar, wahai generasi pewaris peradaban dunia! Di tangan kitalah semua ini harus dibenah. Karena manusia adalah makhluk yang tak dapat hidup di tengah lingkungan alam tak seimbang. Di tangan kitalah fajar peradaban ini harus tetap bersinar dan terang benderang.
Sekian terima kasih.
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post