Siapa tak tahu Kamasutra, teks India dari abad ke-3 yang berisi pedoman seksualitas, erotisme dan pemenuhan emosi dalam kehidupan. Di masa kekinian teks itu telah ditranspos dalam berbagai tips posisi bercinta bagi pasangan suami istri (pasutri), meski konon tidaklah demikian pada teks aslinya.
Kamasutra kemudian semakin terkenal di milenium pertama, karena dipercayai bila mengikuti pedomannya akan mengalirkan kepuasan tak terhingga pada sepasang manusia. Di lain waktu cukup banyak petunjuk sejenis yang muncul dari berbagai belahan bumi, mulai dari Tantra yang juga dari India hingga Serat Chentini dari Jawa Kuno. Namun tak banyak yang pernah mendengar Tunta Tantu.
Tunta Tantu sejatinya adalah ritual bercinta untuk pasangan suami istri dari kebudayaan tertua Tontemboan, salah satu sub etnis di Minahasa, Sulawesi Utara. Namun dalam praktiknya Tunta Tantu tak sekadar jalan pencarian kepuasan semata. Ini adalah proses untuk mendapatkan keturunan, kendati hasilnya kemudian sepatutnya diserahkan kepada Sang Pencipta Kehidupan.
Ritual ini tak muncul dalam banyak literatur. Tapi disentil Remy Sylado dalam novelnya “Perempuan Bernama Arjuna 5: Minasanologi Dalam Fiksi”. Lewat novel itu Remy yang memang berdarah Tontemboan membuka tentang ragam budaya orang Minahasa. Selain Tunta Tantu, dia juga membicarakan asal-usul, prosesi jenazah sebelum masuk waruga dan nilai-nilai Keminahasaan lainnya.
Lantas apakah Tunta Tantu adalah fiksi sesuai judul novelnya? Bila menyimak tulisan Remy Sylado, ia mampu menulis banyak detil tentang Etnis Minahasa yang biasanya hanya didapatkan setelah melewati berbagai proses riset untuk penyusunan buku.
Dalam novel tersebut, Remy membicarakan Tunta Tantu lewat percakapan antara Arjuna, seorang perempuan dari luar daerah, dengan oma Sarce —pakar Tunta Tantu di salah satu desa dekat Tomohon. Arjuna penasaran dengan ritus purba itu karena sekian lama menikah, ia dan pasangannya seorang lelaki dari Eropa, belum juga dikaruniai keturunan. Jadi alasan untuk belajar pada oma Sarce karena alasan terakhir itu.
Oma Sarce awalnya menutur bahwa dalam hubungan berbeda jenis, kaum lelaki di Minahasa sangat menghormati perempuan. Keduanya adalah sahabat dalam suka maupun duka, karapi mapatondongan i lenggey wo ma’aruy istilahnya dalam bahasa sub etnis Tontemboan. Selanjutnya, percintaan atau masuru dalam ritus Tunta Tantu terdiri dari 10 posisi. Sebelum membukanya pada Arjuna. Oma Sarce pun lebih dulu meminta petunjuk dari Tuhan, agar suami-istri yang mempelajari ini bisa mendapatkan hasil baik dan berguna dalam mengarungi biduk rumah tangga.
“Saya harus berdialog dengan Apo Wana Natas (Tuhan yang Maha Tinggi) agar pengetahuan ini tidak melulu hanya bersandar pada nafsu birahi dan kurang kemuliaannya,” ujar oma Sarce.
Remy Sylado mengambarkan 10 bagian Tunta Tantu dalam ilustrasi kecil. Setidaknya ada 3 bagian dalam pedoman percintaan ini, foreplay, bagian utama dan terakhir relaksasi. Tahap foreplay sambil berdiri dibuka dengan mombo temulung an kuntung atau merpati hinggap di gunung yang meminta pasangan suami istri memulai hubungan dengan ciuman. Tahap kedua, peret ti’im am kawiley atau kelelawar mengulum mangga memperlihatkan lelaki dengan gerakan yang lebih aktif. Ketiga adalah sumila’ walang sangawiwi atau menjilat semangka terbelah.
Masih foreplay, proses keempat dinamai su’mesep punti ma’dowas atau mengisap pisang kepok. Kelima, pasangan sudah berada di atas ranjang dengan gerakan pute ‘n namam pute ‘n patar yang diterhemahkan sama rata sama rasa. Proses keenam sudah masuk ke bagian utamanya, dinamakan siendo kompolen siserap atau matahari memangku bulan. Ketujuh, mombo tumelew sumoysoy artinya merpati terbang mundur.
Kedelapan adalah tumo’tol na’an tata’ar atau pada awalnya adalah sabda —mirip posisi ‘misionaris’ pada seni bercinta Kamasutra. Kesembilan bernama mombo maengket andangka kekelung atau merpati menari di atas perisai. Kesepuluh, yang terakhir, mapatoro metokol wo male’osan berarti menuju perang dan damai.
Kendati Tunta Tantu disebut dalam novel sebagai petunjuk untuk menghadirkan buah hati sebagai kebahagiaan sebuah pernikahan, namun atas hasilnya pasutri tetap perlu mendekatkan diri pada Tuhan.
“Urusan hamil atau tidak, itu karunia yang di atas, harus berdoa juga,” jawab oma Sarce pada Arjuna. (*)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post