Sangihe, Barta1.com – Lelaki berinisial JR atau Ance (62) di Kabupaten Kepulauan Sangihe tega melakukan pelecehan seksual kepada enam orang anak Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Tahuna Timur.
Kejadian ini terkuak melalui keterangan guru-guru sekolah tempat enam orang anak tersebut menimba ilmu. Salah seorang guru, P. Makapedua, menuturkan, tak hanya dirinya, ada juga teman guru yang sudah diceritakan oleh anak-anak tersebut, bahwa mereka dicium serta dipegang di bagian tubuh yang tak wajar.
“Meski kejadian ini terjadi di luar sekolah, saya mengimbau kepada salah satu orang tua karena mereka telah melaporkannya ke Polisi untuk bersabar, jangan bermain hakim sendiri, karena kalau itu terjadi nanti kebenaran akan tertutup. Jadi serahkan proses ke Kepolisian,” imbau Makapedua kepada orang tua korban.
Lanjut Makapedua, anak-anak tersebut ada yang kelas 3 dan kelas 5. Untuk mendapatkan keterangan lebih jelasnya dari anak-anak yang terduga korban, dirinya dan guru-guru lainnya melakukan pendekatan khusus sehingga kasus tersebut telah sampai di tangan kepolisian.
“Jadi pada waktu itu saya lebih mengutamakan ketenangan anak-anak karena anak-anak ba curhat. Entahlah, tapi tidak mungkin anak-anak berdusta, ini anak-anak kan polos. Saya hanya menyampaikan kepada orang tua untuk bersabar, yang penting kasus ini sudah di tangan kepolisian,” tutur Makapedua ketika ditemui di rumahnya, Kamis (4/3/2020).
Ironisnya proses hukum kasus tersebut berujung damai. Kondisi itu membuat Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Utara, melalui ketuanya Jull Takaliuang, angkat bicara mengecam keras kejadian itu dan prosesnya. Takaliuang meminta adanya tindakan hukum sesuai undang-undang, sebab menurut dia dengan pelakunya orang dewasa berpotensi tidak jera dan rawan melakukannya lagi. Apalagi tidak diproses hukum.
“Tidak boleh ada perdamaian kalau kasus delik seperti ini, korbannya anak-anak. Harus ada efek jera buat pelaku,” ungkap Takaliuang.
Oleh karena itu dirinya meminta kepada orang tua korban untuk bisa memahami bahwa proses hukum tidak akan memberatkan mereka, tapi menghukum pelaku supaya tidak melakukan hal yang sama, baik kepada korban yang sama, maupun kepada anak-anak lainnya.
Takaliuang juga mengherankan sikap kepolisian dalam penanganan kasus itu yang berujung dengan damai.
“Yang mengherankan kenapa ada penegak hukum yang tidak clear perspektifnya tentang penegakan hukum perlindungan anak. Harusnya polisi tidak memediasi kasus seperti ini, Polisi harus tegas sesuai koridor hukum,” ungkap Takaliuang, aktivis perempuan yang telah diakui PBB kiprahnya di bidang kemanusiaan.
Sementara itu menurut Bripka Rolyns T. Kansil selaku piket SPKT Polres Sangihe, pada Rabu, (4/3/2020) para orang tua korban meminta untuk dimediasi secara kekeluargaan, karena merasa kasihan kepada pelaku yang sudah berumur tua.
“Kami tanyakan kepada pihak orang tua bagaimana masalah ini, mereka memilih untuk mediasi, karena mereka masih rasa kasihan kepada itu bapak pelaku, karena bapak berumur 62 tahun. Proses ini diselesaikan secara kekeluargaan dengan surat pernyataan. Jadi sudah diselesaikan oleh orang tua dari anak-anak tersebut. Ada enam orang tua dengan pelakunya. Surat pernyataannya ada di sini dan yang mewakili dua orang ibu, pelakunya sebagai pihak pertama,” ujar Kansil.
Berdasarkan keterangan Bripka Rolyns T. Kansil, pengakuan dari pelaku kepada orang tua dari anak-anak tersebut, dirinya hanya memegang-megang tubuh korban lalu mencium-cium. Aksinya itu dilakukannya di saat anak-anak itu belanja ke warung miliknya.
“Jadi saat belanja, di situlah dia melakukan, dia memegang, dia cium-cium,” Jelas Kansil di ruang SPKT Mapolres Kepulauan Sangihe, siang tadi.(*)
Peliput : Rendy Saselah
Discussion about this post