Benarkah sifat dan karakter manusia terkait erat dengan hari kelahirannya? Tentang hal itu, sosok pahlawan nasional Robert Wolter Mongisidi menjadi menarik diperbicangkan.
Valentine’s Day atau disebut juga Hari Kasih Sayang, kini diperingati umat manusia di seluruh dunia pada setiap tanggal 14 Februari. Pada perayaannya, para pecinta atau para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya lewat bertukar notisi-notisi dalam bentuk “valentines” terutama kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido dan kue coklat.
Dengan bertukar notisi-notisi tersebut mereka sesungguhnya sedang mengungkap secara simbolik pentingnya menjaga perasaan kasih sayang di tengah keberlangsungan peradaban hidup umat manusia.
Selain sebagai hari sacral bagi para pencinta dan pengasih, di Sulawesi Utara, 14 Februari juga diperingati sebagai hari Merah Putih. Hari Merah Putih adalah hari peringatan peristiwa ‘Perjuangan Merah Putih’ 14 Februari 1946. Sebuah peristiwa heroik yang oleh media massa Amerika Serikat, Australia, dan Inggris disebut sebagai satu-satunya gerakan perlawanan nasional Indonesia terhadap kolonialisme yang berhasil, sampai bisa mengambil alih kekuasaan resmi.
Para pejuang berhasil menahan pucuk pimpinan militer dan pemerintahan Belanda. Mereka lalu menurunkan bendera Belanda di seluruh wilayah Sulawesi Utara, menggunting bagian warna birunya, dan mengibarkan kembali bagian sisanya yakni merah-putih.
Hal lain yang patut dicatat di Sulawesi Utara terkait Tanggal 14 Februari adalah “Hari Jadi” sang Pahlawan Nasional asal Sulawesi Utara Robert Wolter Mongisidi. Bote, panggilan akrab lelaki yang dalam hidupnya dikenal sebagai sosok penuh kasih sayang dan pemberani.
Bote, anak ke-4 dari 11 bersaudara pasangan orang tua Petrus Mongisidi dan Lina Suawa, berdarah Bantik, Minahasa. Lahir pada 14 Februari 1925, di pesisir Desa Malalayang, Manado, Sulawesi Utara.
Tak seperti Valentine’s Day atau hari Merah Putih, hari lahir pahlawan Nasional Robert Wolter Mongisidi tak banyak diperingati, kecuali oleh keluarga besar Mongisidi, kerabat dekat, dan sahabat-sahabatnya yang masih hidup.
“Dibanding hari kelahirannya, peringatan hari pahlawan nasional Robert Wolter Mongisidi di Manado dilaksanakan menurut hari gugurnya pada 5 September 1949,” ujar Letkol (Purn) Robby H. Mongisidi, adik bungsu Wolter.
Saat ditemui di rumahnya di kompleks perumahan tentara jln. Siswa, Manado (13/2/2020), Robby mengatakan, sifat dan karakter yang paling kuat dikenang dari kakak kadungnya Wolter adalah sosok penuh kasih sayang dan pemberani.
“Dalam ilmu astrologi sifat dan karakter manusia disebut terkait erat dengan hari kelahirannya. Ini sebabnya barangkali bukan kebetulan bila Wolter lahir pada 14 Februari, yang di Manado dikenal sebagai Hari Kasih Sayang dan Hari Merah Putih.” kata dia.
Apabila menurut astrologi, tanggal dan waktu kelahiran termasuk hal yang penting untuk memprediksi masa depan seseorang, serta berpengaruh besar pada kehidupan dan kepribadian seseorang, maka Wolter boleh dikata dilahirkan sebagai pecinta dan sekaligus pejuang.
Perasaan halus penuh cinta Robert Wolter Mongisidi selain dapat dikenang lewat sifat dan kepribadiannya semasa hidup, juga dapat ditelusuri melalui sajak-sajak yang ditulisnya.
Semboyan “Setia hingga terachir di dalam kejakinan” adalah sebuah kutipan dari buku kumpulan sajak-sajak Robert Wolter Mongisidi. Frasa puitis yang sangat terkenal ini ditulis pada 5 September 1949.
“Saya dulu berhasil mengumpulkan sekitar 60-an sajak karya Wolter. Sayang karya-karya itu hilang diterjang banjir Manado beberapa waktu lalu. Yang bisa diselamatkan tinggal 18 sajak yang sudah saya bukukan secara terbatas,” ungkap Robby.
Dikatakan, lewat sajak-sajaknya kita bisa melihat betapa halus dan penuh kasih sayang sesungguhnya sosok sang pahlawan yang dikenal tak takut mati itu.
Sebagai sosok pemberani, Wolter berjuang di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia melakukan perlawanan kepada Belanda yang datang lagi dengan wujud Netherlands Indies Civil Administration alias NICA. Belanda bertujuan berkuasa kembali di Indonesia. Dan Bote tak ingin kemerdekaan yang baru dinikmati sesaat tiba-tiba terancam.
Kemerdekaan yang direngkuh pada 1945 bagi dia adalah harga mati, sebagaimana juga kedaulatan negara bernama Indonesia. Karena itu, dia menolak meminta pengampunan pada Belanda saat tertangkap dan dipenjara. Bagi Wolter meminta grasi artinya mengakui kekuasaan penjajah.
Senin dini hari, 5 September 1949 berlokasi di wilayah Pacinang, Mongisidi dibawa ke hadapan regu tembak. Mata dan hatinya terbuka menghadapi eksekusi. Mongisidi ingin menikmati saat-saat terakhirnya dengan kebanggaan, “Saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta.”
Mongisidi gugur pada waktu subuh di usia yang juga masih terbilang dini, 24 tahun. Sejarah mencatat hanya sedikit orang yang menghadapi sakratul dengan ketenangan karena meyakini apa yang diperjuangkan.
Berikut ini sebuah sajak yang ditulis oleh Robert Wolter Mongisidi:
KANDAS
Saat kini khayalkan terpaut dilurah
Menebal tirai gelap menekan
Hati seakan letih diremuknya
Khayal dilusuhi dalam tirai gelap
Tubuh letih seakan remuk
Ditekan sayu beban memarah
Maka aku bersabaku madah selalu
Karena disinilah
Kudapati taman istirahat
Bertambah sunyi jauh malam
Angin sejuk bertiup perlahan
Sg’nap suara mendesir sungai
Mengalir terus mengalir kelautnya
Dan bintang bersinar lembut bercahaya
Ada waktunya bila aku berziarah
Ketaman sajak, penuh seri
Segar, tenang- segar
Diripun diliputi…
Lembut perlahan
Mengalir anak sungai
Air jatuh
Lupakan hidup
Tergenang dalam lembah duka (*)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post