Tanggal 2 September 1854, Raja Lucas Philips Jacobz Tuwonbange naik tahta di Kerajaan Tagulandang. Di Manado, bersama mantrinya ia meneken kontrak baru dengan Belanda diwakili Residen Casparus Bosscher 12 November 1860.
Kontrak yang ditandatangani Raja Lucas Philips Jacobz Tuwonbange itu, catat sejarawan Adrianus Kojongian, terdiri 27 artikel (pasal) mengatur hubungan dan kewajiban raja serta mantrinya.
Klausal utama dari kontrak tersebut adalah Tagulandang sebagai milik Belanda dan dengan demikian mengakui Raja Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda sebagai penguasa tertinggi.
Karena itu, di era raja ini, pemerintah Hindia-Belanda berhak untuk memecat raja Tagulandang dan menunjuk penggantinya setelah berkonsultasi mantri (rijksgrooten) yang terdiri president raja, jogugu dan kapitein laut.
Dalam hal kematian raja, Residen Manado harus segera diberitahu, dan pemerintahan sementara dipegang president raja menunggu penunjukan raja baru oleh gubernemen (pemerintah).
Mengutip sumber-sumber tertulis Eropa disebutkan, penduduk Tagulandang pun terhitung sejak Januari 1861 harus membayar pajak sebesar 1 gulden tiap rumah tangga per tahun, yang dapat dibayar tunai atau diganti minyak, tripang, karet, kakao, kopi dan lain-lain.
Untuk sementara waktu, besaran pajak Tagulandang ditetapkan seratus gulden yang harus dibawa raja secara pribadi ke Manado. Sepersepuluh total pajak tersebut jadi insentif raja dan mantrinya. Dengan pembagian untuk raja 3/10, president raja 2/10, jogugu 1/10 dan kapitein laut 4/10.
Para mantri yang ikut bertanda catat Kojongian, adalah President Raja Dirk Jacobsz, President Jogugu K.S.Matheous, Kapitein Laut Ernst Mongonto, Hukum Majoor J.S.Jadoding dan Kapitein Bicara S.L. Ohonanmeng. Dua pejabat tidak terbaca namanya yakni jogugu dan kapitein laut lain.
Raja Lucas Jacobsz masih pula meneken kontrak pada 21 Juli 1864 dengan Residen Willem Christiaan Happe.
D. Brilman dalam bukunya “onze zendingsvelden de zending op de Sangi en Talaud (Wilayah-Wilayah Zending Kita, Zending di Kepulauan Sangi dan Talaud) mengungkap, di masa pemerintahan Raja Lucas Philips Jacobz, tenaga Zendeling dari Gossnersch Zendingvereeniging (kemudian Sangi en Talauer-comite) Johann Friedrich Kelling, asal Brandenburg Jerman tiba di Siau 15 Juli 1856, lalu mulai bekerja di Tagulandang. Ia bertugas hingga meninggal dunia di Tagulandang 13 Agustus 1900.
Pada tahun 1856 di Tagulandang terdapat tiga sekolah. Sekolah Gubernemen di negeri Tagulandang dengan 42 murid (tahun 1854 77 murid) dipimpin guru A. Mattheus.
Sekolah Negeri di Haas dengan 19 murid dipimpin guru F. Mattheus (tahun 1854 70 murid), dan Sekolah Negeri (tweede school) di Minanga dengan 24 murid, dipimpin guru J.M. Lalongkang (tahun 1854 60 murid).
Di tahun 1871, Sekolah Gubernemen di Tagulandang telah dipimpin guru J. Sondag (lalu J. Bawole). Sondag sendiri menggantikan S. Bawole. Sekolah Gubernemen Haas dengan guru J. Makasihi sejak 1866, dan Sekolah Gubernemen Minanga dipimpin guru S. Ponto sejak 1861.
Residen Manado Albert Jacques Frederic Jansen dalam raport 12 Agustus 1857 mencatat wilayah Tagulandang di Pulau Karakelang, yakni Pulutan terdiri atas negeri Dahan, Kalumu dan Bohonbaru.
Yang unik, para kepalanya memakai gelar raja. Negeri Pulutan bahkan dengan dua raja bernama Welembuntu dan Selehan, di bawah kuasa kerajaan Tagulandang. Sementara Siau juga mengangkat kepala di Pulutan dengan nama Raja Bohanbitu.
Negeri lain yang diklaim kerajaan Tagulandang, yakni Dahan dengan raja bernama Sengade, dan negeri Nunu dengan raja bernama Paleto atau Papalapu. Sementara negeri Kalumu dipimpin seorang bergelar Kassielieratu.
Raja Lucas Jacobsz meninggal 3 Maret 1871 dengan tubuh tidak ditemukan ketika terjadi bencana alam berupa letusan gunung api di Pulau Ruang, yang menimbulkan terpaan ombak dahsyat (tsunami setinggi 14 depa); menyapu dan menghanyutkan seisi ibukotanya yang berlangsung malam hari sekitar pukul delapan.
Tanda pertama dari aktivitas gunung tersebut dari pantauan Zendeling Kelling, sudah terdeteksi paruh akhir bulan Februari, meski kemudian tenang selama 14 hari.
Penduduk Tagulandang ketika kejadian sekitar 3.000 jiwa (tahun 1862 berjumlah 3.114), bermukim di tiga negeri besar Haas, Minanga dan Tagulandang, serta dua negeri kecil Mulingan dan Bulangan.
Negeri Tagulandang, ibukota, dengan sekitar 1.000 jiwa yang terdiri atas tiga kampung: Tagulandang, Bakulaihi dan Balahumara hancur. Selain raja dan beberapa kepala penting, total 416 orang meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Korban terbanyak terjadi di kampung Tagulandang. Dari sekitar 500 penduduk, 277 orang tewas akibat tersapu tsunami.
Perkebunan dan tanaman penduduk pun rusak parah, termasuk banyak rumah penduduk. Bangunan gereja, juga sekolah dan rumah Zendeling Kelling ikut rusak, meski tidak sampai hancur karena berada di tempat ketinggian di ujung utara kampung. Zendeling Kelling berjasa memimpin banyak upaya pertolongan ketika kejadian dengan dibantu 30 orang lainnya.
Mengisi kekosongan pemerintahan, setelah musyawarah, pada tanggal 1 April 1871 Jogugu Christijan (Christiaan) Mattheosz yang selamat dari bencana, ditunjuk menjadi pemangku fungsi raja. Musyawarah tersebut dihadiri Kontrolir F.S.A.de Clercq yang dikirim khusus oleh Residen Manado untuk melakukan inspeksi akibat kerusakan letusan Gunung Ruang.
Christijan Mattheosz kemudian dipilih sebagai raja 23 Januari 1875, dan dilantik Residen Manado Mr.Samuel Corneille Jan Wilhelm van Musschenbroek di Manado sebagai Raja Tagulandang dengan meneken acte van verband dan bevestiging tanggal 6 Agustus 1875.
Beslitnya dari Residen Manado 7 Oktober 1874 nomor 154, dan peneguhan dari Gubernur Jenderal J.W.van Lansberge 24 Oktober 1876 bernomor 54.
Kesaksian Paul Kelling
Rumah penginjil tukang F. Kelling di Tagulandang boleh dikata luput dari terjangan tsunami. Misionaris D. Brilman meyakini, secara ajaib Tuhan telah menyelamatkan seluruh keluarga Penginjil F. Kelling dari ancaman maut pada peristiwa yang menimpa Pulau Taghulandang itu.
Dalam kesaksian Paul Kelling, putra F. Kelling, Peristiwa itu terjadi pada 1871, hanya setahun setelah ibunya meninggal dalam perjalanan menuju tanah Belanda dan dikuburkan di Saint-Helena.
“Suara bunyi yang tiba-tiba kedengaran dan aneh menarik perhatian ayah saya (F. Kelling), yang kebetulan ada di serambi depan rumah, yang terletak hanya 40 meter dari pantai dan hampir sama tinggi dengan pantai,” kisah Paul dalam buku “onze zendingsvelden de zending op de Sangi en Talaud”.
Waktu dia melayangkan matanya ke gunung berapi Ruang yang hanya 770 meter tingginya dan jaraknya dari Tagulandang hanya sejam berperahu, dia melihat ombak pasang berbuih-buih, mendidih, seperti dinding putih sementara datang dengan kekuatannya yang sangat dahsyat.
“Kepada penghuni rumah, yang dengan cepatnya terkumpul, ayah hanya sempat berkata “mari kita berdoa”, kemudian kami bersama-sama berlutut,” kata Paul.
Doa minta tolong ini belum habis diucapkan waktu ombak pasang itu dalam waktu yang singkat sekali telah melewati rumah zendeling itu dari sebelah menyebelah, dan merusakkan seluruh negeri Tagulandang.
Karena perlindungan Tuhan hanya rumah zendeling yang masih berdiri, ya di tengah-tengah pemusnahan tidak seorangpun di dalam rumah itu mengalami cedera sedikitpun, walaupun ombak pasang itu melewati rumah dari sebelah menyebelah dengan segala kedahsyatan, sehingga kemudian tumbuh-tumbuhan laut kedapatan di kiri-kanan puncak pohon-pohon kelapa yang paling tinggi. Seakan-akan ombak itu dibelah oleh tangan Tuhan di depan rumah zendeling.
Syukurlah malapetaka ini terjadi di siang hari, sedangkan banyak penduduk ada di kebunnya di pegunungan. Namun kira-kira 450 jiwa tergilas air bah. Seluruh negeri itu penuh dengan orang yang putus asa dan rumah Kelling segera berubah menjadi rumah sakit untuk orang banyak yang menderita luka berat. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post