Manado, Barta1.com – Ekspresi puluhan mahasiswa dan pegiat lingkungan Manado, Sulawesi Utara, tiba-tiba hening. Mereka seolah-olah tak percaya dengan keterlibatan sejumlah politisi penting negeri ini dan para jenderal TNI-Polri dalam gurita bisnis tambang batubara Indonesia. Mirisnya lagi, ikut menyeret nama calon pemimpin Indonesia, Joko Widodo-Ma’aruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang sedang bertarung dalam Pemilu Presiden 2019.
Itu terlihat saat mahasiswa dan pegiat lingkungan Manado menyaksikan Film Sexy Killers diproduksi Watchdoc diputar di Sekretariat AJI Manado, Jumat (12/4/2019) sore hingga malam. Mayoritas anak-anak muda dari komunitas Seasolider North Sulawesi, Sekolah Jurnalistik Lingkungan Manado, KMPA Tansa, BEM Fakultas Ilmu Kelautan Unsrat Manado, dan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unsrat Manado dibikin terperangah dengan munculnya nama-nama orang penting Indonesia lewat film dokumenter itu. Setelah nonton bareng (nobar) dilanjutkan diskusi dengan tiga orang pemantik: Jull Takaliuang (pegiat lingkungan), Theo Runtuwene (WALHI Sulut) dan Fernando Lumowa (Sekretaris AJI Manado) dengan moderator Efraim Bulele dari Sekolah Jurnalistik Lingkungan Manado.
Film Sexy Killers merupakan film ke-12 dari rangkaian perjalanan keliling Indonesia, Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Ars lewat ekspedisi Indonesia Biru, menguak jaringan bisnis batubara di Indonesia. Dan meski berseberangan baik kubu 01 dan 02, ternyata mereka memiliki keterkaitan dalam menguasai sektor batubara. Sementara banyak warga di Kalimatan Timur kesulitan mendapatkan air bersih.
Ada saham perusahaan tambang batubara bernama Toba Bara yang dimiliki Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. PT Toba Bara kemudian membeli perusahaan Sandiaga Uno yang mengoperasikan PLTU Paiton di Jawa Timur.
Ikut disebutkan dalam film dari tim sukses kubu 01 Joko Widodo juga dilaporkan memiliki jabatan strategis di sejumlah perusahaan pertambangan, termasuk Osman Sapta Oedang, Dewan penasihat Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf yang memiliki kaitan dengan perusahaan PT Total Orbit, serta Haji Isam yang pernah menjadi Wakil Bendahara TKN Jokowi-Maruf, yang juga dikenal sebagai salah satu pengusaha batubara yang sukses dan disegani di Indonesia.
Di kubu 02, Prabowo Subianto tercatat sebagai pemilik Nusantara Energy Resources yang menaungi tujuh anak perusahaan. Sandiaga Uno tercatat sebagai pemilik PT Saratoga Investama Sedaya yang memiliki perusahaan tambang yang pernah merengut korban jiwa dan PT Adaro Energy yang memiliki saham di PLTU Batang.
Ternyata banyak juga politisi dan purnawirawan yang masuk Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi memiliki perusahaan yang bergerak di bisnis pertambangan.
Lalu bagaimana dengan kondisi di Sulut? Jull Takaliuang, pegiat lingkungan, mengatakan terlalu jauh melihat kasus pencemaran lingkungan akibat beroperasinya perusahan tambang di Kalimantan atau Jawa. “Lihatlah di depan kita hari ini. Di Sulut kita punya kasus tambang milik PT Meares Soputan Mining (PT MSM) di Likupang dan perusahan bijih besi PT Mikro Metal Perdana (MMP) yang sampai hari ini masih eksis,” katanya.
Dulu, di era Gubernur Sulut, Sinjo Harry Sarundajang awalnya menolak ijin tambang, herannya jelang pilkada mengeluarkan sejumlah ijin perusahan tambang. “Begitulah perkawinan pengusaha (pemodal) dan penguasa (pemerintah). Meski banyak merugikan masyarakat, toh sampai hari ini PT MSM dan PT MMP masih beraktifitas. PT MSM harusnya sejak 2018 sudah selesai. Lalu kita diam, tidak berbuat apa-apa dengan penderitaan masyarakat. Harusnya kita bergerak bersama-sama. Saatnya orang-orang muda tampil dan kami sebagai kaum tua mensupport perjuangan kalian,” ujar Jull yang pernah jadi tahanan rumah gara-gara membela warga akibat kasus tambang.
Film Sexy Killers menceritakan kondisi Indonesia hari ini. “Sehingga upaya kita harus tetap solid. Menggalang kekuatan untuk melawan kelaliman yang dibuat pengusaha dan penguasa,” katanya.
Dia juga mengusulkan ke depan Sulut baiknya memiliki Komisi Penilai Analisis Dampal Lingkungan (AMDAL). “Komisi ini nantinya diisi orang-orang independen dan dibiayai negara. Sehingga keputusan yang diambil bisa dipertanggungjawabkan ke publik. Bukan seperti sekarang pembuat AMDAL bergelar doktor tapi pesanan semua. Memang harus ada sesuatu radikal dilakukan sehingga bisa mempengaruhi. Komisi Penilai AMDAL tidak boleh dipengaruhi oleh pengusaha. Ke depan anak-anak muda di Sulut bisa bikin film sendiri mengingat banyak kasus-kasus lingkungan,” beber Jull.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulut, Theo Runtuwene juga menyinggung kentalnya hubungan penguasa dan pengusaha menguasai Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia dalam Film Sexy Killers. “Di daerah kita punya contoh konkrit yakni kapal pembangkit listrik milik PLN yang ada di Amurang, Minahasa Selatan. Kapal pembangkit listrik atau Marine Vessel Power Plant (MVPP) Zeynep Sultan yang diresmikan pada 2015 sejatinya menyuplai 120 MW untuk masyarakat Sulut. Ternyata kapal dengan operator PT Karpowership Indonesia memiliki persoalan serius. Pertama, limbah kapal yang menggunakan batubara itu dibuang ke mana? Cerobong asap juga membahayakan warga yang tinggal di sekitar situ,” katanya sembari menambahkan kapal itu dikelolah Luhut Panjaitan.
Apa yang bisa kita lakukan setelah nonton film Sexy Killers? “Apakah hanya diam? Kita harus bergerak bersama. Ingat kapal listrik itu kontraknya selama 25 tahun, artinya masih cukup lama beroperasi di Amurang,” ucap Theo.
Pemantik lainnya, Fernando Lumowa dari AJI Manado menyampaikan beberapa poin dan catatan penting dari film itu. Pertama, film ini secara langsung sebagai potret buruk persoalan di negara kita. “Ini merupakan ironi dari kemajuan investasi. Ada pihak-pihak yang salah mempratekan bisnisnya. Contohnya, itu tadi PT MMP. Ada pertalian antara pengusaha dan pemerintah, plus aktor penting lain adalah aparat. Di Pulau Bangka, secara hukum formal PT MMP kalah tapi sampai sekarang ada orang Tiongkok masih bekerja. Itu potret investasi kita yang sangat miris. Satu sisi kita butuh listrik tapi ada rakyat kecil yang jadi korban,” ujar jurnalis Tribun Manado ini.
Dimana-mana, kata dia, ada konflik agraria. “Tahun lalu banyak korban di lokasi tambang rakyat Bakan, Bolmong. Di lokasi itu tahun lalu sempat banjir, padahal selama ini tidak pernah. Para pemodal yang dibekingi aparat dan pemerintah membatasi masyarakat. Perlu upaya lebih keras untuk mendobrak dan melawan. Kemudian, kita jangan mudah terpengaruh balutan investasi yang memberikan keuntungan padahal ada kerugian besar. Kita harus membuka mata dan telinga,” katanya.
Terakhir, meminta masyarakat dan LSM membantu jurnalis dalam menelusuri kongkalikong pengusaha dan penguasa dalam kasus tambang. “Seperti panas bumi Lahendong misalnya, mari kita telusuri bersama untuk kebaikan masyarakat,” pungkas Nando, sapaan akrabnya.
Bathin Razak, seorang jurnalis ikut menyampaikan perihal PLTU Amurang mengunakan batubara. “Di situ ada 2 unit mesin berukuran 2×20 mw dan 2×30 mw. Asalnya dari Kalimantan, tapi saya tak siapa yang pasok. Saya pernah menelusuri asap cerobong di situ. Ada kerusakan penangkap abu. Bukan soal asapnya saja tapi hasil pembakaran, itu yang sempat rusak dulu. Perlu lagi kita cari tahu,” katanya.
Penulis : Agustinus Hari
Discussion about this post