Jakarta, Barta1.com – Tidak bijak dan tidak rasional jika kita memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilih dalam situasi politik saat ini. Selain itu, hak pilih yang tidak digunakan rawan untuk disalahgunakan.
Demikian disampaikan Prof Syamsudin Haris dari LIPI, dalam diskusi “Legitimasi Pemilu dan Peningkatan Pertisipasi Pemilih”, Kamis (28/3/2019), di Jakarta.
Acara yang digagas Kantor Staf Presiden (KSP) Afifudin (Badan Pengawas Pemilu, Bawaslu), Very Junaedi (KoDe Inisiatif), dan Khoirunnisa (Perludem)
Potensi turunnya partisipasi pemilih menjadi alasan diskusi ini digelar. Jika menengok fakta, partisipasi pemilih sejak Pemilu 2004 terus menurun. Tahun 2004 jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilih sebesar 23,30 persen, meningkat menjadi 27,45 persen pada pemilu berikutnya. Angak ini membesar pada 2014 menjadi 30,42 persen.
“Menjaga kualitas demokrasi, termasuk di dalamnya menyelenggarakan pemilu yang sukses, adalah tugas bersama,” ujar Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V KSP. Sehingga kolaborasi pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan swasta menjadi penting bagi suksesnya pesta demokrasi.
Pada diskusi tersebut, disingung peran sentral KPU dan Bawaslu memastikan penyelenggaraan Pemilu memiliki legitimasi kuat. Juga mencegah pihak-pihak yang ingin merusak demokrasi di Indonesia.
KPU dan Bawaslu akan memastikan pemilu berjalan baik dan lancar. “Pemilu adalah pesta demokrasi yang menyenangkan. Berita bohong dan fitnah merusak kegembiraaan demokrasi,” tambah Afifudin dari Bawaslu.
Dalam diskusi juga disinggung bahwa memobilisasi masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilih merupakan ancaman demokrasi. Apalagi jika itu sengaja dilakukan untuk mempengaruhi hasil elektoral kandidat tertentu.
Sekalipun tidak datang ke TPS merupakan hak individu. Namun sengaja mempengaruhi orang lain agar tidak menggunakan hak pilihnya, merupakan tindakan yang melanggar undang-undang. Pelanggaran itu bisa dikenakan hukuman pidana hingga dua tahun penjara.
Editor : Agustinus Hari
Discussion about this post