Di dunia ini tak sedikit kisah-kisah inspiratif yang dapat kita petik dari pengalaman hidup dan historiografi seseorang. Pemahaman akan hal itu melampaui apapun. Selalu ada seseorang dipersiapkanNya menginspirasi yang lainnya. Banyak orang menjadi kuat, lainnya menemukan jalan menuju apa yang ia harapkan. Dan kita tahu bahwa Tuhan tak pernah lelah berbagi kebaikan.
Sri Wahyumi Maria Manalip setidaknya memiliki dua karakter yang diwarisi dari edukasi keluarganya sejak masa kecil. Pertama, sifat lembut dan penuh empati, suka bergaul, dan suka membantu sesama, diwarisi dari ibunya. Kedua, sikap disiplin, teguh, dan suka dengan tantangan, diwarisi dari ayahnya. Dua karakter ini sangat kentara dalam kepemimpinannya sebagai Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud sejak dilantik pada 20 Juli 2014.
Dan orang pertama yang paling berbahagia ketika anaknya mencapai sukses dalam hidup adalah ibu. Ini kesan pertama yang ditangkap tim penulis outorized biography saat bersua Kasih Talengkera, sosok ibu kandung Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip, SE.
“Saya tak menyangka Sri bisa Jadi Bupati,” ungkap perempuan 69 tahun itu saat ditemui tim penulis di akhir Februari 2019, di rumahnya, di kota kecamatan Beo, Talaud. Ada rona kebahagiaan di wajahnya saat menceritakan masa kecil Sri Wahyumi.
“Sri itu tipe anak pendiam tapi suka bergaul, dan gemar olah raga. Ia mudah tersentuh bila melihat sahabat-sahabatnya dalam kesulitan atau masalah, apalagi sakit. Ia selalu punya cara berbagi dengan teman-temannya,” kisah perempuan yang oleh masyarakat Beo disapa dengan nama Bidan Kasih.
Kadang, kata ibunya, Sri suka menceritakan kondisi hidup sahabatnya padanya, apalagi kalau sahabatnya lagi sakit. “Saat ia bercerita seperti itu, saya tahu, dia tengah membujuk saya untuk datang membantu temannya itu.”
Tapi, lanjut ibunya, Sri punya watak yang keras dan disiplin. “Itu didikan ayahnya. Sejak kecil Sri dan adiknya Janet, mendapatkan didikan disiplin dari ayah mereka. Mereka dididik mengutamakan waktu untuk belajar. Mereka dilarang terlalu lama berada di luar rumah,” tutur Bidan Kasih.
Dikisahkannya, suatu kali Sri dan Janet pernah dihukum ayahnya karena mereka bermain di pantai.
“Mereka berdua dikurung dalam kamar dan dilarang diberikan makan. Tapi saya diam-diam memberi mereka berdua makan lewat jendela,” kenang Bidan Kasih sambil tersipu.
Namun didikan keras dari ayah mereka itu, kata Bidan Kasih, semata-mata karena ayah mereka sangat menyayangi mereka. Ayah mereka selalu takut terjadi sesuatu pada kedua putrinya.
“Kedua anak saya itu memang anak pulau, sangat menyukai pantai. Mereka senang dengan laut. Menyenangi tantangan alam. Hingga kini adiknya Janet, masih gemar pergi memancing ikan sendirian dengan perahu kendati di malam hari,” ungkap Bidan Kasih.
Kasih Talengkera, ibu kandung Sri Wahyumi, adalah seorang tenaga medis kebidanan sejak era 1970-an. Di kawasan kepulauan Talaud, dan terutama di Pulau Karakelang, pulau terbesar dari semua klaster kepulauan itu, perempuan dusun ini, dikenal masyarakat dengan nama Bidan Kasih. Sekitar 70 persen anak-anak yang lahir di atas tahun 1970 di kepulauan Talaud, dan terutama di pulau Karakelang, melewati proses persalinan yang ditangani ibu kandung Bupati Sri Wahyumi ini.
Dari beberapa tuturan orang-orang tua di Kota Beo, Bidan Kasih tak saja dikenal sebagai tenaga medis yang handal, namun disebut juga sebagai sosok wanita yang berhati baik dan berparas cantik di masanya. Dan Sri Wahyumi mewarisi kecantikan ibunya itu.
Pekerjaan menjadi Bidan di dusun terpencil, di kepulauan Talaud, adalah profesi mulia, apalagi di era ketika pembangunan Indonesia, –terutama ketersediaan fasilitas medis dan persalinan– belum benar-benar menyentuh kawasan perbatasan itu. Dan siapa menyangka dari rahim seorang bidanlah, lahir sosok yang kelak menjadi Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud pertama dari kalangan kaum perempuan.
Bidan Kasih Talengkera, berasal dari Essang, sebuah lanskap exotic yang dulunya bernama “Nusanangin”. Di Essang masa kini, ada tulisan dari sastra tua orang-orang setempat di pintu gerbang, di kompleks pemerintahan Kecamatan: “Sangkundimang Suparamaian” bermakna “Satu harapan dalam kesentosaan”.
Sepelempar batu dari pesisir, selalu saja ada beberapa perahu kecil melaut, sebagai penanda lekatnya kultur maritim di daerah itu. Para nelayan ini berani melaut kendati ombak mendebum. Uap asin tertiup angin agak kencang langsung dari lautan Pasifik membaun hingga ke daratan.
Setiap orang yang hidup di pulau pada akhirnya akan melewati laut, ungkap mereka. Setiap orang mengikhlaskan semua hal, dan setiap orang akan punya opini tentang segala hal yang baru dilihatnya, termasuk menjalani kehidupan yang tidak benar-benar aman. Karena menyusuri pesisir lanskap ini, tak mungkin meluputkan seorang pun tanpa meninggalkan bekas mendalam pada dirinya.
Ketika orang-orang yang hidup di kota membicarakan Essang atau pulau-pulau terpencil dengan cara dan pikiran masing-masing, bisa jadi orang-orang di pulau jauh ini sedang menakik hujan untuk ditanak sebagai air hangat, diolah menjadi segelas teh, atau kopi. Bisa jadi mereka sedang menatap dengan putus asa ombak yang garang sedang menghempas. Bisa jadi pula mereka sedang menggali umbi-umbian di ladang bertanah keras dengan pengungkit linggis pada musim terik yang panjang. Bisa jadi ada bocah kecil baru saja meninggal oleh karena gizi buruk atau malaria.
Di Essang, tak ada yang gegap gempita, termasuk air mata punya caranya sendiri untuk menetes. Dan bisa jadi, merekalah yang paling paham tentang apa yang disebut kitab suci; “Hidup itu anugerah Tuhan.” Ada 1659 orang perempuan, dan 1811 orang lekaki mukim di Essang, salah satu kecamatan dari 19 kecamatan di Kabupaten Kepulauan Talaud, dengan luas wilayah 94,76 km2.
Essang, seperti di tempat lain di pulau-pulau perbatasan Indonesia-Filipina ini, hari-hari mereka tak lebih dari musim perayaan golongan kaya, para pemilik modal yang mampu membangun usaha perikanan dan menikmati kekayaan laut di sana. Menguasai perkebunan pala, kelapa, dan semua usaha sektor pertanian, dan perdagangan. Rakyat kecil adalah petani, buruh dan nelayan tradisional yang hanya bermodal perahu kecil tak bisa meraih lebih selain sekadar mengais hidup untuk sehari.
Di dusun yang kini menjelma kota kecamatan itulah kata Bidan Kasih, anaknya Sri Wahyumi menjalani masa kecil.
“Kami sering membawa Sri Wahyumi dan adiknya ke Essang. Itu sebabnya ia tidak asing dengan kehidupan keseharian masyarakat dusun di sini,” tutur Bidan Kasih.
Ayah Sri Wahyumi bernama Juutrianto Manalip (70), berasal dari Siau-Sangihe. Akrabnya disapa Ko Uce. Nama akrab ayah Sri Wahyumi ini menadahkan ada garis keturunan Cina dalam darah lelaki yang dikenal sebagai pengusaha di bidang perkebunan. Sri Wahyumi anak tertua dari dua bersaudara. Adiknya bernama Jumiyati Janet Manalip, akrab disapa Janet.
Sri Wahyumi lahir di Beo. Kata “Beo” memiliki arti Pohon buah Kemiri dalam bahasa setempat, karena memang berdasarkan cerita orang Tua Kampung, pada zaman dahulu desa Beo ditumbuhi banyak pohon Kemiri.
Ketika Sri Wahyumi lahir pada 8 Mei 1977, Beo, ketika itu masih sebuah kota kecamatan yang kecil, lebih mirip perkampungan biasa. Menurut kisah orang-orang tua di Beo, serbuan hama sexava lagi melanda kepulauan ini saat itu. Menatap daratan Karekelang dari laut pada masa itu, akan terlihat pohon-pohon kelapa menjulang bak lelaki lansia tanpa rambut. Angin laut samudra Fasifik yang menyaput hanya menggetarkan lidi-lidi yang menghitam dengan bunyi gerisik yang resik. Kecuali cengkih dan pohon-pohon cocao yang tampak subur, tapi harganya jatuh di pasaran akibat sistem monopoli pasar.
Tak ada dermaga untuk kapal-kapal yang merapat ke Beo ketika itu, padahal lalu lintas yang menghubungkan kota ini hanya paling bisa dilakukan dari laut. Kapal yang merapat di sini hanya kapal-kapal tua milik Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia “Pelni”. Kapal-kapal tua yang bentuknya seperti kotak rongsokan. Dan juga ada beberapa kapal kayu buatan lokal yang bermesinkan Yanmar enam silinder.
Untuk ke tempat ini, sebuah kapal harus berlayar dua sampai tiga hari, kalau musim tenang. Jika cuaca sedang musim angin Selatan, perjalanan bisa memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu karena kapal harus mencari perlindungan dari badai dan ombak besar yang langsung menerjang dari lautan Fasifik. Di tanjung Ambora, ombak di sana bahkan menjadi ombak abadi. Maklumlah, kepulauan ini merupakan negeri di lingkaran ombak. Tapi kondisi alam ini mengajarkan keperkasaan lain bagi anak-anak pulau, berupa kearifan kultur maritim.
Apabila kapal merapat, perahu-perahu penjemput tampak berbaris menunggu jangkar kapal meluncur seiring bunyi stom yang memanjang. Buruh pemikul orang dan barang dari perahu pamo akan terdengar riuh bercakap dalam bahasa Talaud. Wajah mereka keras dengan tulang-tulang yang kuat. Mereka melakukan pekerjaan itu demi sesuap nasi buat keluarga mereka.
Sepanjang pantai hingga kira-kira limaratusan meter ke laut, hamparan karang membuat pesisir ini begitu dangkal pada masa air pasang sekalipun. Beo, bagaimana pun kecilnya, harus disebut sebagai kota karena menurut legenda masyarakat setempat, pernah menjadi pusat kerajaan Makatara dimasa Hindu. Konon, sejak lama mereka sudah menjalin hubungan dengan kerajaan Kutai dan Samudera Pasai.
Dataran pemukiman penduduknya—yang menjadi jantung kota– tidak begitu luas. Hanya sekitar puluhan hektar. Gunung-gunung yang tidak begitu tinggi, mengepung dari arah utara dan memanjang keselatan. Di utara ada gunung Wowon Duata. Dari namanya, gunung ini dikenal agak keramat. Ada semacam mite yang berkembang sejak masa purba dinamisme, dimana gunung ini merupakan tempat persemayaman arwah-arwah leluhur yang sakti. Kekuatan sakti yang ikut berdinamika dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan menjadi sistem nilai masyarakat.
Di Selatan ada gunung Piapi. Bentangan yang kurang lebih enam puluh kilometer ini masih diselingi beberapa gunung seperti Wowon Warawan, Wowon Mandeeta, yang puncaknya sekitar 1300 meter di atas permukaan laut.
Di mana-mana mengalir Andaraa (Sungai). Sungai-sungai itu mengalirkan air cukup bening, hingga menjadi sumber air minum masyarakat. Di sungai-sungai itu hidup banyak buaya. Buaya-buaya ini dimitoskan kadang merupakan bentuk dari mahkluk gaib dan mistik.
Sejak abad 16, harta dan tanaman-tanaman mereka selalu dirampok, oleh para perompak Mangindano dari kepulauan Sulu, di Filipina. Pada masa penjajahan Belanda, mereka hampir-hampir kehilangan hak mereka atas tanah dan harta-harta mereka lainnya. Di masa pendudukan Jepang, mereka menjadi para pekerja paksa dan banyak yang terbunuh.
Ketertinggalan atau lebih layak disebut keterasingan kawasan tersebut adalah potret kebanyakan dusun-dusun di wilayah Timur Indonesia ketika itu. Namun kondisi tersebut telah banyak berubah pasca-Kepulauan Talaud dimekarkan menjadi kabupaten, dari kabupaten induk Sangihe Talaud pada 2 Juli 2002. (Bersambung)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post