Oleh : Rendy Saselah
Nama lengkapnya Jan Engelbert Tatengkeng, lahir dari pasangan Hambali Tatengkeng seorang guru injil dan Lijdia Bangonan pada 19 Oktober 1907 di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara.
Tahun 1915 JE Tatengkeng masuk pendidikan awal di Zendingsvolkschool sekolah rakyat yang dinaungi gereja Kristen di Kolongan Mitung. Setamat dari Zendingsvolkschool, Tatengkeng ditawarkan ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di HIS (Hollands Inlandsche School) sekolah yang dikelolah oleh Zending di Manganitu pada tahun 1918. Hollands Inlandsche School (HIS) yang mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia semenjak 1914 itu benar-benar mengasah bakat kemahiran mengarang Tatengkeng karena pembelajaran pidato dan mengarang pada sekolah tersebut diberikan dengan sangat teratur.
Selanjutnya pada tahun 1925 ia melanjutkan pendidikannya di Christelijke Middagkweekschool Bandung dan setelah itu ia melanjutkan sekolahnya di Christelijk Hogere Kweekschool atau Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru Kristen di Solo sampai selesai. Berbekal pendidikan sekolah guru Kristen, mengantarkannya menjadi pengajar bahasa melayu (Indonesia) di tahuna pada tahun 1932 yang sekaligus tahun tersebut menjadi tahun mengakhiri masa lajangnya.
Sebagai seorang yang gemar menulis ia menjadi mempimpin surat kabar pemuda Kristen Sangihe yang bernama surat kabar Tuwo Kona (Tahuna), kemudian Soeara Oemoem (Surabaya), dan Pemimpin Zaman (Tomohon). Dan di tahun yang sama pula, ia pindah ke Waingapu Sumba bekerja pada Gereforeerde Zending menjadi kepala sekolah dan guru bahasa melayu di Zendingstandaardschool yang terdapat di Payati.
Di sanalah kehidupan sastranya mulai menyebar luas melalui saling berkirim surat dengan sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana yang memasukan karangannya ke Majalah Poedjangga Baroe. Dari sanalah kumpulan sajak Rindu Dendam terbit pertama kali oleh Christelijke Drukkerij “Djawi”di Surakarta.
Pada 1940 ia kembali ke Sangihe bersama dengan keluarganya, dan dipanggil menjadi kepala sekolah di Schakelschool Ulu Siau. Namun demikian pada 1941 ia harus kembali ke Sangihe lagi untuk mengepalai HIS (Hollands Inlandsche School).
Tahun 1943 merupakan saman peralihan kekuasaan wilayah jajahan dari Belanda ke Jepang sebagai penguasa Asia yang baru. Tentu tantangan kehidupan baru telah datang menggerogoti segenap rakyat pribumi waktu itu. Oleh pemerintah Jepang, J.E. Tatengkeng dipanggil ke Siau untuk mengajar bahasa Jepang karena kemampuan bahasa Jepangnya sangat baik pada waktu itu. Namun demikian pada 30 Maret 1944 Tatengkeng dan beberapa temannya ditangkap dan ditahan selama setahun lebih hingga bebas pada 17 Agustus 1945 ketika proklamasi kemerdekaan menyebar keseluruh pelosok bangsa Indonesia.
Tak hanya sebagai seorang guru dan sastrawan, Jan Engelber Tatengkeng juga terlibat aktif dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat mendirikan organisasi badan perjuangan yang disebut dengan Barisan Nasional Indonesia. Sebagai seorang yang mempunyai pengaruh di bidang sosial politik, J.E. Tatengkeng dipilih Belanda untuk mewakili Partai Rakyat Sangihe-Talaud untuk mengikuti konfrensi Denpasar 1946.
Dan pada tahun 1947 ia menjadi direktur Normaalschool di Tahuna sampai sekolah tersebut berubah menjadi Sekolah Menengah. Ditahun yang sama ia diangkat menjadi Menteri Muda Pengajaran NIT dan hingga pada 1949 ia diangkat menjadi Menteri Pengajaran NIT. Di tahun itu pula (1949) ia diangkat menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pengajaran NIT.
Dimulai dari pengalaman politiknya dan kecerdasannya yang luar biasa, sehingga sampai Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan menjelma menjadi Negara Kesatuan, nama J.E.Tatengkeng tetap diperhitungkan. Dipercayakan menjadi Kepala Perwakilan Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P dan K Sulawesi di Ujung Pandang. Sementara itu ia juga merupakan ketua komisariat PGRI, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Sosialis Indonesia.
Tercatat Jan Engelber Tatengkeng turut berperan terahadap berdirinya perguruan tinggi Universitas Hasanudin bersama-sama dengan sahabat-sahabatnya seperti Nurudin, Mr. Tjia Kok Tjiang mendirikan Balai Perguruan Tinggi Sawerigading yang hari ini tercatat sebagai bagian dari rangkaian perjalanan sejarah terbentuknya Universitas Hasanudin di Makasar yang kemudian diresmikan pada 10 November 1956. Setelah lulus mendapat gelar sastra, ia diangkat menjadi dosen kesusastraan Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Hasanudin.
Tahun 1960-an merupakan tahun dimana Tatengkeng bergelut dengan penyakit tekanan darah tinggi. Hingga pada 6 Maret 1968, Guru, Penyair, Pejuang Jan Engelbert Tatengkeng menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Angkatan Darat “Pelamonia” Ujung Pandang.
LOKALITAS SASTRA DALAM RINDU DENDAM “J.E. TATENGKENG”
Rindu Dendam adalah perasaan yang mengakar kuat mendesak kalbu. Demikian setiap penyair peka dan jujur mengekspresikan bahasa-bahasa rasa yang jauh terpendam di dasar jiwa.
Sepantun Laut
Dua bait pertama pada puisi “Sepantun Laut” J.E. Tatengkeng;
Duduk di pantai waktu senja,
Naik di rakit buaian ombak,
Sambil bercermin di air kaca,
Lagi diayunkan lagu ombak.
Lautan besar bagai bermimpi,
Tidak gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi,
Di sana ombak memecah nyaring.
Menjelaskan kehidupan penyair yang berlatar budaya bahari, penyair yang dekat dengan laut maka ia mendekatkan dirinya sebagai laut. Dan laut juga yang senantiasa menjadi tempat perenungan diri. Penyair mengimajikan (Feeling Imagery) kehidupan itu sepeti irama pantun yang selaras dengan laguan ombak.
Laut merupakan penggambaran kehidupan yang adakalanya tenang tetapi jika diarungi maka kita akan senantiasa bertemu dengan badai. Dengan demikian tepatlah yang dikatakan Thomas Carlye bahwa sebuah puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Dan puisi adalah rekaman dan interpretasi pengalaman manusia digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Barangkali tak hanya kesan yang merupakan sebuah jejak pengalaman tetapi nilai dari kesan yang tertera melalui rangkaian imajinantifnya yang ia gali memalalui puisi ini. Penyair yang akrab dengan kehidupan religius ini menggali nilai filsafat kehidupan yang ia akumulasikan pada dua bait terakhir berikut ini ;
Gerak dalam diam,
Diam dalam gerak,
Menangis dalam gelak,
Gelak dalam bermuram,
Demikian sukma menerima alam,
Bercinta, meratap, merindu dendam.
Tentu ia mengalami berbagai pasang surut kehidupan. Dimulai dari meninggalkan kampung halaman sampai meninggal di tanah rantau. Gerak dalam diam, diam dalam gerak, menangis dalam gelak dan gelak dalam bermuram, merupakan rangkaian dualisasi yang menghampiri siapa saja diolahnya menjadi rangkaian sajak dengan satuan irama dan rasa menggugah. Pertanyaan sederhana adalah siapa yang tak pernah menangis dalam tawa dan siapa yang tak pernah mengalami situasi dimana dia menyembunyikan kesedihan melalui sebuah senyuman. Namun pada akhirnya kita hanya mampu sejauh menerima dan menjalani kehendak, yaitu cinta, ratapan dan kerinduan yang mendalam.
Nelayan Sangihe
Kurang lebih sembilan puluh tiga persen luas wilayah kepulauan Sangihe adalah laut dari luas wilayah keseluruhan 20.245,67 km2. Hal ini dibuktikan dengan tradisi kepulauan yang sangat kental ditandai dengan beragam warisan budaya kebahariannya, tanpa menampik kekayaan budaya lainnya yang beragam-ragam. Dengan fakta kehidupan inilah barangkali puisi “Nelayan Sangihe” lahir mealui pengimajiannya akan latar belakang profesi dan budaya tempat kelahirannya.
Namun demikian bisa saja, nelayan yang dimaksud oleh penyair adalah perjalanan kehidupan manusia itu sendiri. Seseorang yang memutuskan pergi mencari nafkah, suatu saat pasti merindukan kampung halamannya. Seperti halnya kebanyakan orang-orang sangihe yang merantau di awal tahun dan akan kembali merayakan natal di kampung halamannya. Begitu juga kehidupan seorang nelayan, selepas melaut pasti akan kembali ke tepi membawa hasil tangkapannya.
Dilengkungi langit berhias bintang,
Caya bulan di ombak menitik,
Embun berdikit turun merintik,
Engkau menantikan ikan datang.
Mengapa termenung,
Apakah direnung?
Mengapa lagumu tersayup-sayup,
Mengapa mata sesekali kaututup?
Ah, mengapa termenung
Mengapa kau pandang ke kaki gunung?
Dua bait pertama menegaskan ini adalah tulisan kerinduan dan ketabahan. Bahkan siapakah yang dapat menyangkali ketabahan seorang nelayan. Siapakah nelayan sangihe sesungguhnya? Nelayan sangihe adalah citra manusia yang hidup di daerah kepulauan, khususnya nusa utara. nelayan yang sentiasa kehidupannya mengabdi kepada laut. laut yang memberi kehidupan dari kerja yang harus didasari dengan ketabahan, dan mempunyai kerinduan yang begitu dalam untuk kembali membawa hasil yang diharapkan.
O, kumengerti,
Kulihat di sana setitik api!
Itukah menarik matamu ke tepi,
Mengharu hati?
O, kulihat tali,
Yang tak terpandang oleh mata,
Menghubung hati,
Kalbu nelayan di laut bercinta
Pada dua bait terakhir ini, penyair Tatengkeng mengekspresikan fakta tradisi nelayan kepulauan Sangihe dimana setiap kali melaut, mereka menyalakan api dipantai guna menjadi tanda untuk dapat kembali menemukan tepi. Hal ini kemudian juga terdapat dalam ungkapan bahasa sastra Sasahara “dala putung su selaeng, tialang pamunakeng”.
Hal demikian tak dapat disangkali sebab kurang lebih tujuh meter, di belakang rumah tempat kelahiran penyair adalah pantai. Jadi sangat jelas bahwa penyair sangat tahu tradisi bahari kepulauan Sangihe karena ia adalah bagian dari tradisi itu sendiri.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬
Panggilan Pagi Minggu
Jan Engelbert Tatengkeng, adalah penyair yang tak kehilangan identitas budayanya meskipun hidup di dua era penjajahan jepang dan belanda yang masing-masing mempunyai jejak budaya yang berbeda. Dan jika bertanya makna relegius sebuah lonceng gereja orang kristen maka penyair angkatan pujanga baru J. E. Tatengkeng telah mengartikannya pada puisi “Panggilan Pagi ¬¬Minggu”. Simbol religiusitas tersebut dimaknainya sebagai penggilan kehidupan manusia untuk menyembah sang Khalik sekaligus menandai bahwa kehidupan ragawi mempunyai batas-batas yang ditentukan Ilahi sehingga patut dan harus diterima sebagai perjalanan ritual iman mahluk yang percaya kepada kemahakuasaan Tuhan, meski diiringi dengan tangis sekalipun.
“Kukui apang biahe
Lulungkang u apang nate”
Memanggil yang hidup dan menangisi yang mati. Ditegaskannya di sini keterwakilan identitas ke-Sangir-annya yang berlatar belakang agama Kristen. Sebagaimana ia dididik dalam lingkungan kehidupan penganut Kristen yang taat dan budaya lokal yang kokoh.
Penulis, alumni FBS UNIMA Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, jurnalis Barta1.com
Discussion about this post