Sepatu bot berwarna coklat susu buram, jaket kulit berusia puluhan tahun, rambut panjang yang diikat seakan style gadis 60-an, dan sebatang rokok yang tak pernah absen tersulut di bibirnya, begitulah Fredy dengan segala keesentrikannya. Selebihnya, ia seniman tulen yang dipunyai Sulawesi Utara.
Jalanan kota Manado, Minahasa, Sangihe, Bitung, di tahun awal 2000-an, tak asing dengan aksi teateral lelaki yang oleh rekannya dipanggil “Cupes”. Saya tidak tahu muasal nama itu, dan sebaiknya saya jangan tahu. Namun Cupes sudah menjelma symbol unik dalam memahami kegilaan ekspresi seniman yang selalu tampil mendobrak batas-batas kelaziman teater konvensional ini.
Nomor-nomor happening art yang dipertunjukannya bersama kelompok Kontra, berkali-kali menghadirkan Cupes sebagai sosok telanjang yang hanya mengenakan cawat. Sebagai sebuah seni pertunjukan perlawanan, ia lebih banyak mentas di jalanan. Cupes dan kelompoknya boleh dikata sebagai pelopor teater tubuh di Sulawesi Utara.
Garang di atas pentas, namun lembut dalam tampilan keseharian sudah menjadi bagian unik dari sosok yang lengkapnya Fredy Sreudeman Benyamin Marny Wowor ini.
Ia penyair, dramawan dan dosen. Di panggung puisi ia selalu tampil dengan gaya blues.
Lahir di Tomohon, 4 Maret 1977. Sejak masa kanak-kanak menetap di Sonder, sebuah pemukiman yang terletak pada wilayah Pegunungan Lengkoan di Minahasa.
Selepas SMA Negeri Tomohon, pada 1994 melanjutkan ke Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado. Selesai 2001 dengan skripsi berjudul, “Revolusi Tumapel dalam roman Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta Toer “. Kini melanjutkan kuliah pada Program Pasca Sarjana Teologi dengan konsentrasi Agama, Budaya, Masyarakat di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) YPTK.
Menulis puisi secara intens sejak 1994 bersama dengan kegiatan pertunjukan drama masa SMA dan pada masa perkuliahan. Menjelang akhir 1994, seiring dengan bangkitnya gerakan mahasiswa menentang dominasi dan hegemoni kekuasaan orde baru, mulai membaca puisi dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa di kampus dan dalam demonstrasi-demonstrasi serta aksi-aksi budaya bersama rakyat di Sulawesi Utara. Pada 1996 setelah peristiwa 27 Juli mulai mengelolah Bengkel Seni di Sastra dan mengorganisir pembangunan komunitas sastrawan, pemusik dan peteater.
Pada masa ini pula mulai memusikalisasi puisi dalam konser-konser rock pada festival musik kampus dan menjadi penulis naskah drama serta sutradara Teater Kronis. Sejumlah karya drama telah dihasilkannya.
Pada 2003 diundang bersama Teater Kronis ke Festival Kesenian Yogyakarta untuk Pembacaan Puisi dan Pentas Teater di Gelaran Budaya Yogyakarta. Memusikalisasi puisi di Studio Tanah Liat Ugo Untoro. Baca Puisi dan Pentas Teater di Rumah Seni Muara (Komunitas Seni Palembang) dalam kegiatan Pentas Silaturahmi Seniman Manado dan Yogyakarta. Mengikuti Temu Teater Se-Indonesia di Teater Garasi Yogyakarta.
Pada 2004 mulai mengajar teater, kritik teks dan penulisan kreatif sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra UNSRAT dan bersama para sastrawan seangkatan di periode ini mulai aksi kultural menulis sastra dengan bahasa Manado kemudian ditampilkan dalam pementasan keliling Sulawesi Utara-Gorontalo. Aksi kultural ini adalah titik berangkat dari sebuah gerakan sastra dan budaya yang kemudian dikenal sebagai Mawale Movement yakni gerakan membangun tanpa tinggal atau gerakan kembali ke rumah.
Pada 2007 diundang oleh Majelis Sastra Asia Tenggara mengikuti Bengkel Sastra Mastera di Samarinda, Kalimantan Timur. Pada periode 2011-2017 bersama para sastrawan yang berjaringan dalam Mawale Movement melalui program Skola Mawale melakukan kegiatan pendidikan menulis sastra dan seni pertunjukan serta mengadakan festival budaya berbasis kampung di wilayah Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Minahasa Utara, Manado dan Tomohon. Pada bulan Agustus 2016 diundang Aliansi Masyarakat Adat Nasional dan membaca puisi dalam pagelaran seni masyarakat adat di museum nasional Jakarta. Pada saat ini mengolah Wale Papendangan Sonder yakni sebuah pusat pendidikan alternative berbasis sastra dan menjadi dosen tetap di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado.
Karya-karyanya yang telah diterbitkan: TIRANI AKAN TUMBANG (Kumpulan Puisi Tunggal, 2000), KOMA (Antologi Puisi Penyair Muda Sulawesi Utara, 2001), DEMIKIAN SABDA MESSIAH (Kumpulan Puisi Tunggal, 2003), JEJAK (Antologi Puisi 4 Penyair Sulawesi Utara, 2004), 999 (Antologi Puisi Penyair Minahasa Bahasa Malayu Manado, 2005), RAGAM JEJAK SUNYI TSUNAMI (Antologi Puisi Penyair Indonesia, 2005), MINAHASAN HAIKU (Kumpulan Puisi Tunggal, 2007), MAESA RONDOR MAKAARUYEN (Kumpulan Puisi Tunggal Bahasa Malayu Manado, 2007), WAJAH DEPORTAN (Antologi Puisi Penulis Muda Lintas Provinsi 2009) diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, ALANG-ALANG BULAN (Antologi Puisi MASTERA, 2010,) diterbitkan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, PERCAKAPAN LINGUA FRANCA (Antologi Puisi Temu Sastrawan Indonesia III, 2010) diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang, SONG OF THE ROAD (Kumpulan Puisi Tunggal, 2013) diterbitkan oleh Mawale Cultural Center.
Penulis : Iverdixon Tinungki)
Discussion about this post