JE Jellesma, menduduki kursi Residen Manado sejak 4 November 1892. Dalam catatan Adrianus Kojongian di situs Jelajah sejarah Manado, Jellesma dikenal sebagai seorang pejabat Belanda yang mengeluarkan kontrak penyatuan kerajaan-kerajaan di Sangihe Talaud ke dalam enam daerah politik otonom (Swapraja).
Pada masa dia, raja yang dulunya dipilih rakyat, diganti dengan penguasa yang di angkat pemerintah Belanda. Jellesma menerapkan pajak yang berat, antaranya, pajak potong babi sebesar 2 gulden per ekor atau 25 persen dari harga seekor babi ketika itu.
Selain itu, Jellesma, menerapkan pajak perorangan, pajak rumah dan harta benda, pajak pendapatan, serta kerja tanpa upah sebanyak 42 hari setiap tahunnya untuk kepentingan proyek pemerintah, berlaku bagi semua orang yang berusia 18-45 tahun, kecuali keluarga raja dan aparat pemerintah.
Kebijakannya ini, menimbulkan perlawanan orang-orang Sangihe Talaud yang disambut dengan tekanan bersenjata, pembunuhan, pembakaran desa, penangkapan dan pengasingan.
Dalam buku “Aku Laut, Aku Ombak” terbitan Kutub Jogyakarta, disebutkan, pemerintah Belanda berkuasa di Sangihe Talaud sudah sejak 1677.
Kekuasaan Belanda dan bangsa Eropa lainnya (terutama: Spanyol dan Portugis), bagi penduduk setempat, dipandang sebagai “pekerjaan setan” (peralatan setang) yang mendatangkan bala dan malapetaka.
Kedatangan bala seiring tibanya sebuah perahu besar bangsa penjajah itu, mendapatkan simbol yang tepat dalam tradisi masyarakat Sangihe Talaud yang dilambangkan dengan perahu ukuran mini memuat pendayung dari boneka kayu dalam sebuah upacara menolak bala.
Dalam upacara penolak bala Sangihe Talaud purba, bila sebuah desa mengalami kesusahan atau kemiskinan, maka mereka membuat ritual menghanyutkan perahu besar dalam ukuran mini yang memuat pendayung boneka-boneka kayu ke laut lepas agar bala itu hilang. Tapi, menjadi celaka bagi desa lain dimana perahu mini itu terdampar, karena kutuk segera berpindah ke tempat itu.
Untuk menolaknya lagi ke laut, mereka harus menyembeli banyak binatang sebagai korban darah, dan melepas lagi perahu mini itu lagi ke laut. Perahu lagi-lagi terbawa arus menuju pantai yang baru untuk menebar kutuk yang sama.
Puisi berikut ini adalah sebuah refleksi dari era kekuasaan Residen Jellesma yang cukup menarik. Dikutip dari buku “Aku Laut. Aku Ombak” Iverdixon Tinungki.
Residen Jellesma
sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1677
dikirim ratu*) Belanda jadi hantu
sejak itu, negeriku dilanda banjir peperangan
seakan kutuk menjelma dongeng darah
penolak bala
hanyut dari Eropa
bersengketa karena rempah
paderipaderimu berkata: kami tak punya Tuhan
lalu berkhotbah seperti dewa
dan Tuhan yang sama
diajar spanyol, portugis dan gujarat
dilarang disembah
tuan residen Jellesma…
cerita ini sudah lama
tapi kau tak lupa berapa gulden pajak babi potong
kami menyetor dua puluh lima persen
ke kas kerajaan Belanda
lalu kau ambil lagi empat gulden dari setiap wajib pajak
moga kau pun tak lupa berapa gulden pajak pendapatan
berapa hari kami jalani kerja paksa, untuk tuan,
untuk kakikaki tangan tuan
tuan Residen…
apakah kau tahu berapa harga saudara kami
yang terjual di pasar budak Madagaskar dan Brasillia?
berapa kerugian kami dalam kebijakan pemotongan cengkeh
berapa nilai budaya kami yang kau larang
berapa desa yang kau bakar
berapa rakyat yang kau tembak
berapa pahlawan dan raja kau bunuh dan mati di pengasingan
untuk membangun kemegahan Belanda di milenia kedua
di mana benderamu berkibar di atas sejarah busuk
di atas tanahtanah jajahan Hindia Belanda
tuan Residen Jellesma…
kau tak usah merasa dosa
puisi ini kutulis sekadar refleksi sejarah lama
karena setelah kami enam puluh empat tahun merdeka
sejarah itu kurang lebih sama:
sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1945
di kirim dari Jawa jadi hantu
lalu sangsaka mengibar kemegahan jakarta
di atas sejarah tangis dusundusun miskin merana
tapi tuan residen Jellesma…
bedanya… aku tak berani bertanya ke istana
berapa harga darah para pahlawan yang gugur
untuk merebut kata: Indonesia Merdeka
bila merdeka hanya untuk segelintir wilayah
segelintir orang
tuan residen…
di sini, saat ini, bicara tak dilarang
di masa ordelama antara dilarang dan tidak dilarang
di masa ordebaru dilarang
di masa ordereformasi tidak dilarang
yang jadi persoalan saat ini
apapun kita bicara tak didengar pemerintah
begitu ceritanya… Indonesia Merdeka!
2009
*) Penyebutan kata “Ratu” bagi orang-orang Sangihe-Talaud bermakna “Penguasa”.
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post